ABC Dialektika Materialis

Leon Trotsky (1937)


Ditulis: 15 Desember, 1937

Petikan dari A Petty-Bourgeois Opposition in the Socialist Workers Party.

Penerjemah: Ted Sprague (27 Juni 2024)

Sumber: ABC of Materialist Dialectics. Trotsky Internet Archive.


Pengantar ABC Dialektika Materialis

oleh Rob Sewell

Belakangan ini, terutama sejak runtuhnya Tembok Berlin, ada serangan yang sistematis dan keji terhadap gagasan-gagasan Marxisme. Dari istana-istana universitas yang megah hingga mimbar gereja, dari lembaga-lembaga pasar bebas hingga media massa sensasional, ada arus deras yang memekakkan telinga untuk menyerang Marxisme. Untuk membingungkan para buruh yang sadar-kelas, tidak ada yang luput dari para pembela kapitalisme untuk mendiskreditkan sosialisme ilmiah. Namun, karena kapitalisme berarti kembalinya pengangguran massal dan problem-problem sosial, selapisan buruh dan kaum muda tengah mencari jawaban atas problem mereka. Mereka semakin terdorong oleh realitas kehidupan yang pahit di bawah kapitalisme untuk mencari jalan keluar.

Marxisme menawarkan kepada para buruh dan pemuda yang ingin berpikir sebuah pemahaman yang terang tentang masyarakat dan tempat mereka di dalamnya. Marxisme menawarkan kepada mereka sebuah pandangan dunia yang baru. Marxisme menawarkan mereka sebuah masa depan. Dalam kata-kata Lenin, “Doktrin Marxian itu mahakuasa karena ia benar. Doktrin ini lengkap dan harmonis, dan memberikan manusia sebuah konsepsi dunia yang integral yang tidak dapat didamaikan dengan segala bentuk takhayul, reaksi, atau pembelaan terhadap penindasan borjuis.” (Lenin. Tiga Sumber dan Tiga Bagian Komponen Marxisme) Teori Marxisme menyediakan pemahaman yang jelas bagi kaum buruh – sebuah benang merah yang mampu memandunya melewati labirin peristiwa, gejolak perjuangan kelas dan kompleksitas masyarakat kapitalis yang membingungkan.

Marxisme bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja dari kepala Marx. Teori-teorinya merupakan perkembangan besar dari pemikiran-pemikiran terbesar filsafat, ekonomi, dan sosialisme. Secara esensi, Marxisme adalah perpaduan antara filsafat Jerman, teori ekonomi klasik Inggris, dan pemikiran sosialisme Prancis yang terbaik. Kombinasi ini menjadi landasan bagi sebuah revolusi dalam pemikiran. Ini adalah kelahiran sebuah pandangan dunia yang baru, yang diperkaya dan diperdalam oleh pengalaman historis kelas buruh. Ini mentransformasi berbagai kecenderungan sosialisme utopis menjadi sosialisme ilmiah yang berakar pada masyarakat dan perjuangan kelas.

ABC Dialektika Materialis karya Trotsky adalah sebuah pemaparan singkat yang brilian tentang filsafat Marxis. Karya ini ditulis untuk membela Marxisme dari tendensi revisionis kelas-menengah dalam gerakan Trotskis Amerika pada akhir 1930-an, yang mencoba menggulingkan prinsip-prinsip dasar Marxisme (Baca In Defence of Marxism oleh Trotsky). Berlawanan dengan pragmatisme dan empirisme, Trotsky membela materialisme dialektis sebagai sebuah pandangan yang lebih kaya, lebih lengkap, dan lebih komprehensif mengenai masyarakat dan kehidupan secara umum.

Dia menjelaskan bahwa dialektika “adalah logika evolusi. Seperti halnya bengkel mesin di pabrik yang memasok instrumen untuk semua departemen, demikian juga logika sangat diperlukan untuk semua bidang pengetahuan manusia. ... Saya mengenal dua sistem logika yang layak untuk diperhatikan: logika Aristoteles (logika formal) dan logika Hegel (dialektika).”

Bangsa Yunani kuno, lebih dari 2.000 tahun yang lalu, telah memberikan kontribusi yang luar biasa bagi perkembangan pemikiran manusia. Mereka berusaha memahami alam semesta, masyarakat, dan tempat manusia di dalamnya. Seperti yang dijelaskan Engels, “Para filsuf Yunani kuno sedari awal adalah kaum dialektikus dan Aristoteles, pemikir yang paling ensiklopedis di antara mereka, bahkan telah menganalisis bentuk-bentuk pemikiran dialektis yang paling esensial.” (Engels, Anti-Duhring) Mereka mulai memandang segala sesuatu bukan sebagai sesuatu yang statis dan tidak bernyawa, tetapi dalam perkembangan dan pergerakannya yang nyata. Dalam kata-kata Heraclitus: “Segala sesuatu ada dan tidak ada, karena segala sesuatu mengalir, terus berubah, terus-menerus muncul dan lenyap.” Gambaran grafis ini adalah inti dasar dari dialektika. Ini sesuai dengan pandangan Engels: “Bagi filsafat dialektika, tidak ada yang final, absolut, suci. Dialektika mengungkapkan karakter fana dari segala sesuatu dan dalam segala sesuatu: tidak ada abadi kecuali proses menjadi dan lenyap yang tidak terinterupsi, proses kenaikan tanpa akhir dari yang lebih rendah ke yang lebih tinggi.” (Engels, Anti-Duhring).

Namun, bagi para filsuf Yunani, pemikiran dialektis hanyalah sebuah antisipasi. Kontribusi utama mereka, terutama Aristoteles, adalah pengembangan logika formal, yang telah bertahan selama lebih dari dua ribu tahun. Tiga hukum dasarnya adalah: hukum identitas (sesuatu selalu sama dengan dirinya sendiri, atau A sama dengan A); hukum kontradiksi (jika sesuatu selalu identik dengan dirinya sendiri, maka ia tidak mungkin berbeda dengan dirinya sendiri, atau jika A sama dengan A, maka A tidak mungkin sama dengan non-A); hukum tiada-jalan-tengah (segala sesuatu haruslah salah satu dari dua hal; ketika dua pernyataan yang berlawanan berhadapan satu sama lain, keduanya tidak mungkin benar atau salah; kebenaran yang satu mengimplikasikan ketidakbenaran yang lainnya). Hukum-hukum yang tak terpisahkan ini, yang disimpulkan dari argumen, merupakan aksioma dari sistem pemikiran Aristoteles.

Konsepsi penalaran ini merupakan lompatan besar bagi pemikiran dan pemahaman manusia dan menjadi basis bagi persepsi kita sehari-hari. Dalam aktivitas sehari-hari, kita menganggap segala sesuatu itu statis dan tidak bergerak. Dan dari sudut pandang ini, logika formal melayani kita dengan baik. Pemahaman dialektis, di sisi lain, “tidak terbatas pada masalah kehidupan sehari-hari, tetapi berupaya untuk memahami proses yang lebih rumit dan lebih bersifat jangka-panjang.” (Trotsky)

Untuk keperluan sehari-hari dan perhitungan sederhana, logika formal, atau “akal sehat” sudah mencukupi. Namun logika formal memiliki batasnya, dan di luar batas ini, penerapan “akal sehat” mengubah kebenaran menjadi kebalikannya. Pada dasarnya, logika formal tidak mampu memahami perubahan dan mencoba menyingkirkan semua kontradiksi (yang inheren dalam perubahan). Jika kita mencoba untuk memahami lebih dari “masalah kehidupan sehari-hari”, maka logika formal (atau vulgar) menjadi sama sekali tidak memadai. Trotsky menjelaskan, “kecacatan fundamental dari pemikiran vulgar terletak pada fakta bahwa ia melihat realitas sebagai sesuatu yang tidak-bergerak. Namun, pada kenyataannya realitas mengandung gerak yang abadi.” Untuk keperluan sehari-hari, kita dapat mengatakan apakah sesuatu itu hidup atau mati. Namun pada kenyataannya tidak sesederhana itu. Pada titik manakah benda itu mati? Pada titik manakah kehidupan dimulai? Kehidupan dan kematian bukanlah sebuah “peristiwa” tunggal, tetapi sebuah proses yang berkepanjangan.

Ini tidak berarti bahwa logika formal tidak berguna. Sebaliknya, secara historis logika formal itu progresif dan diperlukan. Metode ini memungkinkan kemajuan besar dalam sains dan pengetahuan. Namun metode ini telah mencapai limitnya. Meskipun logika formal subordinat pada pemikiran dialektis, dialektika muncul dari logika formal. Trotsky menjelaskan: “Hubungan antara pemikiran dialektis dengan pemikiran vulgar sama dengan hubungan antara film (gambar bergerak) dengan foto (gambar diam). Film tidak menafikan foto, tetapi menggabungkan serangkaian foto seturut hukum gerak.” Namun, aproksimasi realitas yang lebih benar dan lebih sempurna terkandung dalam film.

Hukum-hukum logika dan pemikiran ini, meskipun digunakan oleh miliaran orang, belum tentu dipahami oleh mereka. Semisal, semua orang makan sesuai dengan hukum fisiologi yang definit, tetapi tidak semua orang memahami hukum ini atau bagaimana hukum tersebut beroperasi. Demikian juga, dalam salah satu drama Moliere, ada seorang pria yang baru pertama kali belajar tentang prosa. Ketika mereka menjelaskan kepadanya apa itu prosa, dia berseru: “Ternyata saya telah berbicara prosa sepanjang hidup saya!”

Namun, keterbatasan logika formal terlihat dengan jelas dalam kaitannya dengan evolusi. Menurut hukum identitas, manusia pada dasarnya adalah manusia dan tidak yang lain. Namun kita tahu bahwa tidak demikian. Menurut evolusi alam, manusia adalah binatang. Namun, ini harus diperluas dengan mengatakan bahwa manusia lebih dari sekadar binatang; manusia adalah spesies yang berbeda dari semua binatang lainnya. Pada kenyataannya, kita adalah dua hal yang berbeda secara eksklusif pada saat yang sama. Ini adalah kontradiksi yang tidak dapat dipahami oleh logika vulgar. Hanya dialektika yang dapat menjelaskan fenomena ini.

Kontribusi Hegel, seorang filsuf Jerman yang luar biasa, di bawah pengaruh Revolusi Besar Prancis, adalah pengembangan sistem logika baru yang lebih tinggi yang dikenal sebagai dialektika. Seperti yang telah disebutkan, pemikir dialektika awal adalah orang-orang Yunani kuno yang berusaha memahami alam semesta dan tempat manusia di dalamnya. Namun, karena sains dan teknik pada masa itu masih sangatlah rendah, filsafat mereka lebih bersifat perkiraan yang terinspirasi, atau antisipasi untuk perkembangan selanjutnya. Hegel mempelajari para pemikir besar Yunani ini dan menarik serta mengembangkan metode dialektika mereka, menggabungkannya dengan pengetahuan yang lebih baru, dan menghasilkan analisis hukum dialektika yang lebih komprehensif.

Kelemahan fundamental dialektika Hegelian adalah bahwa Hegel memadukannya dengan pandangan idealis yang mistis. Kontribusi besar dari Marx dan Engels-lah yang membebaskan metode dialektika dari cangkang mistiknya. Dialektika Hegel berdiri di atas kepalanya, percaya bahwa dunia material adalah cerminan dari 'Ide Universal' atau Tuhan. Marx menjelaskan, sebaliknya, pikiran dan ide hanyalah refleksi dari dunia material. Jadi, dialektika Hegelian dipadukan dengan materialisme modern untuk menghasilkan pemahaman materialisme dialektis yang lebih tinggi.

Hukum-hukum materialisme dialektis ini mampu menjelaskan segala sesuatu dalam perkembangan dan gerakannya. Jika logika formal pada dasarnya adalah logika hubungan yang tidak-bernyawa, kaku dan statis, dialektika justru merupakan pemahaman tentang proses gerak, kontradiksi dan perubahan dalam kehidupan nyata.

Segala sesuatu, menurut Engels, “memiliki keberadaannya dalam kemunculan dan kemusnahan yang kekal, mengalir tak henti-hentinya, dalam gerak dan perubahan yang tak pernah berhenti.” (Engels, Dialektika Alam) Dialektika adalah logika evolusi, pergerakan, dan perubahan. Titik tolaknya adalah realitas itu sendiri. Serangkaian hukum umum dialektika, yang diuraikan oleh Hegel, berpusat di sekitar hukum kuantitas menjadi kualitas (dan kualitas menjadi kuantitas), kesatuan dari yang berlawanan (unity of the opposites), dan negasi dari negasi, yang beroperasi di seluruh dunia material. Masing-masing hukum tersebut secara organik berkait kelindan satu sama lain.

Akan tetapi, hukum-hukum ini tidak mencakup semua hal-ihwal dan bersifat abadi. Seperti yang dijelaskan Trotsky: “Materialisme dialektis tentu saja bukan filsafat yang abadi dan tidak berubah. Bila kita berpikir demikian, ini berarti bertentangan dengan semangat dialektika. Perkembangan pemikiran ilmiah yang lebih lanjut niscaya akan menciptakan sebuah doktrin yang lebih mendalam di mana materialisme dialektis hanya akan menjadi material struktural untuk doktrin baru tersebut.” (Trotsky, In Defence of Marxism) Kita telah mengetahui bahwa pemikiran dialektis awalnya lahir 2.000 tahun yang lalu, dikembangkan secara sistematis oleh Hegel, dan kemudian diperdalam lebih lanjut oleh Marx dan Engels. Pada saat ini, dialektika materialis modern adalah pemahaman dan aproksimasi realitas yang paling dekat, yang sepenuhnya mempertimbangkan semua kontradiksi internalnya.

“Dialektika memberikan ekspresi pada hukum yang dirasakan di semua tingkat kesadaran dan pengalaman umum,” kata Hegel. “Segala sesuatu yang ada di sekitar kita dapat dipandang sebagai kejadian dialektika. Kita sadar bahwa segala sesuatu yang finit, alih-alih infleksibel, dapat berubah dan fana; dan inilah yang kita maksud dengan dialektika untuk hal-hal yang finit, di mana yang finit, yang secara implisit berbeda dari yang lain, dipaksa untuk melepaskan keberadaannya yang langsung atau alamiah, dan tiba-tiba berubah menjadi kebalikannya.” (Hegel. Encyclopaedia)

Pergerakan dan perubahan terjadi karena sebab-sebab yang inheren dalam proses dan benda, dari kontradiksi internal. Kecenderungan kontradiktif dalam fenomena ini mewakili, pada kenyataannya, sebuah kesatuan dari yang berlawanan (unity of opposites). Hal-hal yang berlawanan ini terikat bersama dalam sebuah hubungan saling ketergantungan, di mana masing-masing merupakan syarat bagi keberadaan yang lain. Dalam masyarakat kelas, misalnya, antagonisme kelas antara yang mengeksploitasi dan yang dieksploitasi merupakan aspek yang fundamental. Yang satu tidak dapat eksis tanpa yang lain. Kontradiksi ini adalah kekuatan pendorong perubahan. Namun, kontradiksi-kontradiksi ini tidaklah statis, tetapi dalam proses penyelesaian. Penggulingan masyarakat kelas akan mengarah pada penghapusan kelas-kelas itu sendiri. Kontradiksi-kontradiksi baru pasti akan muncul, namun dengan karakter yang berbeda secara fundamental, pada tingkat yang lebih tinggi. Seperti yang dikatakan oleh Lenin bahwa “antagonisme dan kontradiksi sama sekali berbeda. Di bawah sosialisme, antagonisme lenyap, tetapi kontradiksi tetap ada.” (Lenin. Critical Notes on Bukharin’s Economics of the Transition Period) Elemen-elemen antagonisme dan konflik antara manusia menghilang dan memberi jalan bagi perencanaan masyarakat yang sadar dan harmonis. Kontradiksi tetap ada, tetapi karena tidak lagi berbentuk antagonisme kelas, kontradiksi tersebut tidak membutuhkan dominasi paksa dari satu set kepentingan material atas yang lain.

Perubahan tidak berlangsung dalam garis lurus dan secara mulus serta perlahan, tetapi dalam lompatan dan revolusi. Semua perubahan memiliki elemen kuantitatif, tetapi ini mencapai titik tertentu, ketika perubahan gradual membuka jalan ke lompatan kualitatif. Sesuatu yang baru lahir, yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Untuk menjelaskan perkembangan, kita perlu mempelajari fakta. “Dialektika bukanlah kunci master ajaib untuk semua pertanyaan,” jelas Trotsky. “Dialektika tidak menggantikan analisis ilmiah yang konkret. Tetapi ia mengarahkan analisis ini di sepanjang jalan yang benar, menjaganya agar tidak tersesat di padang gurun subjektivisme dan skolastik.”

Perubahan bukan sekadar pengulangan masa lalu. Penyelesaian kontradiksi tidak berarti bahwa tahap-tahap perkembangan sebelumnya diulangi dengan cara yang persis sama, melainkan berkembang pada tingkat yang lebih tinggi. Ini adalah salah satu hukum dialektika yang paling umum, negasi dari negasi, sebuah “hukum yang sangat luas dan penting” kata Engels. Gerak, perubahan dan perkembangan bergerak melalui serangkaian negasi yang tak-terputus. Namun masa lalu tidak sepenuhnya dilenyapkan, tetapi dilampaui dan dilestarikan pada saat yang sama. Fitur-fitur masa lalu dapat muncul kembali, tetapi dalam bentuk yang baru dan diperkaya. Seperti yang dijelaskan Marx, kapitalisme muncul dengan menghancurkan kaum produsen individual pra-kapitalis (negasinya). Penghapusan kapitalisme (negasinya) terus berlanjut, kepemilikan individu para produsen dipulihkan, tetapi pada tingkat yang lebih tinggi. Produsen, sebagai peserta dalam sistem produksi yang disosialisasikan, kemudian menikmati, sebagai milik individunya, bagian dari produk sosial.

Tugas Marxisme adalah untuk mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi dan proses-proses nyata yang bergulir di dalam masyarakat, ekonomi, dan politik; untuk secara jelas membedakan antara penampilan luar dan esensi dari segala sesuatu; untuk mengungkap kebenaran. Hanya dengan melakukan ini maka kelas buruh, dan khususnya lapisan-lapisan termajunya, dapat melihat dengan jelas tugas dan misi historisnya.

Namun, seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, ada rintangan di jalan perjuangan kaum buruh untuk menguasai teori Marxisme. Buruh yang harus bekerja berjam-jam di pabrik, yang tidak mengenyam pendidikan yang baik dan sebagai akibatnya tidak memiliki kebiasaan membaca, akan mengalami kesulitan besar dalam menyerap ide-ide yang lebih kompleks, terutama pada awalnya. Namun, Marx dan Engels menulis untuk buruh, dan bukan untuk mahasiswa dan orang kelas menengah. Setiap permulaan itu sulit, tidak peduli ilmu pengetahuan apa yang sedang kita bicarakan. Marxisme adalah sains dan oleh karena itu menuntut kerja keras dari mereka yang baru saja mulai mempelajarinya. Tetapi setiap buruh yang aktif di serikat buruh atau Partai Buruh tahu bahwa semua yang berharga harus diperoleh lewat perjuangan dan pengorbanan. Kepada lapisan maju Gerakan Buruhlah pamflet ini ditulis; kepada lapisan buruh aktif yang siap berkorban dan bekerja dengan gigih. Kami dapat memberi satu janji: setelah seorang menempuh upaya awal yang sulit untuk memahami ide-ide yang asing dan baru, maka teori-teori Marxisme nantinya akan tampak lebih sederhana dan mudah dipahami olehnya. Selain itu – dan ini harus ditekankan – buruh yang memperoleh pemahaman Marxisme dengan usaha yang sabar akan menjadi teoretikus yang lebih baik daripada kebanyakan mahasiswa, karena dia dapat memahami ide-ide tidak hanya secara abstrak, tetapi secara konkret, seperti yang diterapkan pada kehidupan dan pekerjaannya.

Pada analisis terakhir, filsafat Marxis adalah sebuah panduan untuk bertindak. “Para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara; namun intinya adalah mengubahnya.” (Karl Marx, Tesis tentang Feuerbach).

18 April 1994.

 


ABC Dialektika Materialis

Leon Trotsky

 

Dialektika bukanlah fiksi dan bukan pula mistisisme, melainkan sebuah ilmu pengetahuan tentang bentuk-bentuk pemikiran kita sejauh itu tidak terbatas pada masalah kehidupan sehari-hari, tetapi berupaya untuk memahami proses yang lebih rumit dan lebih bersifat jangka-panjang. Dialektika dan logika formal memiliki hubungan yang serupa dengan hubungan antara matematika tingkat tinggi dan tingkat rendah.

Di sini saya akan mencoba menguraikan substansi problem ini dalam bentuk yang sangat konkret. Logika Aristoteles tentang silogisme sederhana dimulai dari proposisi bahwa ‘A’ sama dengan ‘A’. Postulat ini diterima sebagai aksioma untuk banyak sekali aktivitas praktis manusia dan generalisasi dasar. Namun pada kenyataannya, ‘A’ tidaklah sama dengan ‘A’. Hal ini mudah dibuktikan jika kita mengamati kedua huruf ini di bawah lensa – mereka cukup berbeda satu sama lain. Namun, orang bisa saja mengajukan keberatan: persoalannya bukan pada ukuran atau bentuk huruf-hurufnya, karena mereka hanyalah simbol untuk jumlah yang sama, misalnya, satu pon gula. Keberatan tersebut tidak mengena; pada kenyataannya, satu pon gula tidak pernah sama dengan satu pon gula – sebuah timbangan yang lebih sensitif akan selalu menunjukkan adanya perbedaan. Sekali lagi, seorang dapat mengajukan keberatan: tetapi satu pon gula sama dengan dirinya sendiri. Ini juga tidak benar – semua benda terus berubah dalam ukuran, berat, warna, dll. Mereka tidak pernah sama dengan dirinya sendiri. Seorang sofis akan menjawab bahwa satu pon gula sama dengan dirinya sendiri “pada momen tertentu”.

“Aksioma” ini memiliki nilai praktis yang sangatlah meragukan. Selain itu, “aksioma” ini runtuh seketika saat dihadapkan dengan kritik teoritis. Bagaimana seharusnya kita memahami kata “momen”? Jika itu adalah interval waktu yang teramat kecil (infinitesimal), maka satu pon gula mengalami perubahan yang tak-terelakkan selama “momen” tersebut. Atau apakah “momen” adalah sebuah abstraksi matematika murni, yaitu, titik nol waktu? Tetapi segala sesuatu eksis dalam waktu; dan eksistensi itu sendiri adalah proses transformasi tanpa-henti; oleh karenanya, waktu merupakan elemen fundamental dari eksistensi. Dengan demikian, aksioma ‘A’ sama dengan ‘A’ menandakan bahwa sesuatu sama dengan dirinya sendiri jika ia tidak berubah, yaitu jika ia tidak eksis.

Sepintas, tampaknya “nuansa” ini tidak berguna. Pada kenyataannya, mereka sangatlah menentukan. Aksioma ‘A’ sama dengan ‘A’ tampak di satu sisi sebagai titik tolak dari semua pengetahuan kita, dan di sisi lain sebagai titik tolak dari semua kekeliruan dalam pengetahuan kita. Aksioma ‘A’ sama dengan ‘A’ hanya dapat digunakan secara benar dalam batas-batas tertentu. Ketika perubahan kuantitatif dalam ‘A’ dapat diabaikan untuk tugas yang sedang dikerjakan, maka kita dapat menganggap ‘A’ sama dengan ‘A’. Misalnya, demikianlah cara seorang pembeli dan penjual mengukur satu pon gula. Kita mengukur suhu matahari dengan cara yang sama. Kita juga mengukur daya beli dolar dengan cara yang sama. Tetapi perubahan kuantitatif di luar batas tertentu berubah menjadi perubahan kualitatif. Satu pon gula yang kena siram air atau minyak tanah sudah bukan lagi satu pon gula. Satu dolar di tangan seorang presiden sudah bukan lagi satu dolar. Untuk menentukan titik kritis di mana kuantitas berubah menjadi kualitas adalah salah satu tugas yang paling penting dan paling sulit dalam semua bidang pengetahuan, termasuk sosiologi.

Setiap buruh tahu bahwa mustahil membuat dua benda yang sama persis. Dalam membuatbantalan gelinding (bearing), deviasi tertentu diperbolehkan, namun ini tidak boleh melampaui batas tertentu (batas ini disebut toleransi). Dengan mengamati norma toleransi tertentu, bantalan gelinding ini dianggap sama. (‘A’ sama dengan ‘A’). Ketika toleransi terlampaui, kuantitas berubah menjadi kualitas; dengan kata lain, bantalan gelinding menjadi inferior atau sama sekali tidak berguna.

Pemikiran ilmiah kita hanyalah bagian dari praktik umum kita, termasuk teknik. Kita dapat temui konsep “toleransi” yang ditentukan bukan oleh logika formal yang berasal dari aksioma ‘A’ sama dengan ‘A’, tetapi oleh logika dialektis yang berasal dari aksioma bahwa segala sesuatu selalu berubah. “Akal sehat” dicirikan oleh fakta bahwa ia secara sistematis melampaui “toleransi” dialektis.

Pemikiran vulgar memandang konsep-konsep seperti kapitalisme, moral, kebebasan, negara buruh, dsb., sebagai abstraksi yang ajek, dengan asumsi bahwa kapitalisme sama dengan kapitalisme, moral sama dengan moral, dst. Pemikiran dialektis menganalisis semua hal dan fenomena dalam perubahannya yang terus menerus, sembari menentukan dalam kondisi material dari perubahan-perubahan itu titik kritis di mana ‘A’ berhenti menjadi ‘A’, negara buruh berhenti menjadi negara buruh.

Kecacatan fundamental dari pemikiran vulgar terletak pada fakta bahwa ia melihat realitas sebagai sesuatu yang tidak-bergerak. Namun, pada kenyataannya realitas mengandung gerak yang abadi. Lewat aproksimasi yang semakin teliti, koreksi, dan konkretisasi, pemikiran dialektis memberikan kekayaan konten dan fleksibilitas kepada konsep; saya bahkan akan mengatakan bahwa pemikiran dialektis memberikan “kehidupan” kepada konsep, yang sampai batas tertentu membawa konsep lebih dekat ke fenomena yang hidup. Bukan kapitalisme secara umum, tetapi kapitalisme tertentu pada tahap perkembangan tertentu. Bukan negara buruh secara umum, tetapi sebuah negara buruh tertentu di negeri terbelakang yang dikepung oleh imperialisme, dst.

Hubungan antara pemikiran dialektis dengan pemikiran vulgar sama dengan hubungan antara film (gambar bergerak) dengan foto (gambar diam). Film tidak menafikan foto, tetapi menggabungkan serangkaian foto seturut hukum gerak. Dialektika tidak menyangkal silogisme, tetapi mengajarkan kita untuk menggabungkan silogisme sedemikian rupa sehingga membawa pemahaman kita lebih dekat ke realitas yang senantiasa berubah. Hegel dalam bukunya Science of Logic menetapkan serangkaian hukum: perubahan kuantitas menjadi kualitas, perkembangan melalui kontradiksi, konflik isi dan bentuk, interupsi dalam kontinuitas, perubahan kemungkinan menjadi keniscayaan, dll., yang sama pentingnya untuk pemikiran teoritis seperti halnya silogisme sederhana penting untuk tugas-tugas yang lebih mendasar.

Hegel menulis sebelum Darwin dan sebelum Marx. Berkat dorongan kuat yang diberikan pada pemikiran oleh Revolusi Prancis, Hegel mengantisipasi pergerakan umum ilmu pengetahuan. Tetapi karena itu hanyalah antisipasi, meskipun oleh seorang jenius, pemikiran Hegel memiliki karakter idealis. Hegel melihat bayang-bayang ideologis sebagai realitas tertinggi. Marx menunjukkan bahwa pergerakan bayang-bayang ideologis ini sesungguhnya mencerminkan pergerakan benda-benda material.

Kita menyebut dialektika kita materialis, karena ia tidak berakar di surga ataupun di kedalaman “kehendak bebas” kita, tetapi di realitas objektif, di alam. Kesadaran tumbuh dari ketidaksadaran, psikologi dari fisiologi, dunia organik dari dunia anorganik, tata surya dari nebula. Pada semua anak tangga perkembangan ini, perubahan kuantitatif bertransformasi menjadi kualitatif. Pemikiran kita, termasuk pemikiran dialektis, hanyalah salah satu bentuk ekspresi dari perubahan materi. Tidak ada tempat dalam sistem ini bagi Tuhan ataupun Iblis, atau jiwa yang abadi, atau norma-norma hukum dan moral yang abadi. Dialektika pemikiran, yang tumbuh dari dialektika alam, sebagai konsekuensinya memiliki karakter yang sepenuhnya materialis.

Darwinisme, yang menjelaskan evolusi spesies melalui transformasi kuantitatif ke transformasi kualitatif, merupakan kemenangan tertinggi dari dialektika di seluruh bidang materi organik. Kemenangan besar lainnya adalah penemuan tabel periodik unsur kimia dan selanjutnya transformasi satu unsur menjadi unsur lainnya.

Dengan penemuan-penemuan ini, transformasi (spesies, elemen, dll.) terkait erat dengan masalah klasifikasi, yang sama pentingnya dalam ilmu pengetahuan alam maupun ilmu sosial. Sistem Linnaeus (abad ke-18), yang bertolak dari kekekalan spesies, terbatas pada deskripsi dan klasifikasi tumbuhan menurut karakteristik eksternal mereka. Periode kekanak-kanakan ilmu botani dapat dianalogikan dengan periode kekanak-kanakan ilmu logika, karena bentuk-bentuk pemikiran kita berkembang seperti halnya semua yang hidup. Hanya dengan menolak gagasan mengenai spesies yang abadi, hanya dengan mempelajari sejarah evolusi tumbuhan dan anatomi mereka, maka kita menyiapkan basis untuk klasifikasi yang benar-benar ilmiah.

Tidak seperti Darwin, Marx adalah seorang ahli dialektika yang sadar, dan dia menemukan basis untuk klasifikasi ilmiah masyarakat manusia dalam perkembangan kekuatan produktif mereka dan struktur relasi kepemilikan yang membentuk anatomi masyarakat. Marxisme menggantikan klasifikasi deskriptif masyarakat dan negara yang vulgar, yang bahkan sampai sekarang masih tumbuh subur di universitas-universitas, dengan klasifikasi dialektis materialistis. Hanya dengan menggunakan metode Marx maka kita dapat dengan tepat menentukan konsep negara buruh dan momen keruntuhannya.

Semua ini, seperti yang kita lihat, tidak mengandung satupun unsur “metafisik” atau “skolastik”, seperti yang ditegaskan oleh ketidaktahuan yang congkak. Logika dialektika mengekspresikan hukum gerak dalam pemikiran ilmiah kontemporer. Perjuangan melawan dialektika materialis sebaliknya mengekspresikan masa lalu yang jauh, konservatisme kaum borjuis kecil, keangkuhan kaum akademisi-rutinis dan ... secercah harapan untuk kehidupan setelah kematian.

Karakter Uni Soviet

Definisi Uni Soviet yang diberikan oleh kawan Burnham[1], “bukan negara buruh dan bukan negara borjuis”, adalah murni negatif, yang terpisah dari rantai perkembangan sejarah, dibiarkan menggantung di udara, tidak memiliki satu pun partikel sosiologi dan hanya mewakili kapitulasi teoritis yang pragmatis di hadapan fenomena sejarah yang kontradiktif.

Jika Burnham adalah seorang materialis dialektis, ia tentunya akan menyelidiki tiga pertanyaan berikut: (1) Apa asal-usul historis Uni Soviet? (2) Perubahan apa saja yang telah dialami negara ini selama keberadaannya? (3) Apakah perubahan-perubahan ini telah melompat dari tahapan kuantitatif ke kualitatif? Artinya, apakah perubahan-perubahan ini menciptakan dominasi yang niscaya secara historis oleh kelas pengeksploitasi baru? Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini akan memaksa Burnham untuk menarik satu-satunya kesimpulan yang memungkinkan, yaitu bahwa Uni Soviet masih merupakan negara buruh yang mengalami degenerasi.

Dialektika bukanlah kunci master ajaib untuk semua pertanyaan. Dialektika tidak menggantikan analisis ilmiah yang konkret. Tetapi ia mengarahkan analisis ini di sepanjang jalan yang benar, menjaganya agar tidak tersesat di padang gurun subjektivisme dan skolastik.

Bruno Rizzi[2] menempatkan rejim Soviet dan fasis di bawah kategori “kolektivisme birokratik”, karena Uni Soviet, Italia, dan Jerman semuanya diperintah oleh birokrasi; di sana-sini ada prinsip-prinsip perencanaan ekonomi; di satu kasus kepemilikan pribadi dilikuidasi, di kasus lain dibatasi, dst. Dengan demikian, berdasarkan kesamaan relatif dari ciri-ciri eksternal tertentu yang asal-usulnya berbeda, dengan bobot spesifik yang berbeda, dengan signifikansi kelas yang berbeda, Bruno Rizzi membangun sebuah identitas fundamental untuk rejim-rejim sosial, sepenuhnya dalam semangat para profesor borjuis yang membangun kategori-kategori “ekonomi terencana”, “negara yang tersentralisir”, tanpa mempertimbangkan karakter kelas yang satu dan yang lainnya. Bruno R. dan para pengikutnya, atau semi-pengikutnya seperti Burnham, paling banter tetap berada dalam lingkup klasifikasi sosial pada tingkat Linnaeus; dan kita bisa memaklumi Linnaeus karena ia hidup sebelum Hegel, Darwin dan Marx.

Yang bahkan lebih parah dan lebih berbahaya, mungkin, adalah kaum eklektik yang mengatakan bahwa karakter kelas negara Soviet “tidak penting”, dan bahwa arah kebijakan kita ditentukan oleh “karakter perang”. Seolah-olah perang adalah substansi super-sosial yang independen; seolah-olah karakter perang tidak ditentukan oleh karakter kelas yang berkuasa, yaitu oleh faktor sosial yang juga menentukan karakter negara. Sungguh heran betapa mudahnya sejumlah kamerad melupakan ABC Marxisme di bawah hantaman peristiwa!

Tidaklah mengherankan jika para teoretikus faksi oposisi [faksi Burnham dkk.] yang menolak pemikiran dialektika menyerah dengan begitu menyedihkan di hadapan sifat kontradiktif Uni Soviet. Namun kontradiksi antara basis sosial yang dibangun oleh revolusi dan karakter kasta [birokrasi] yang muncul akibat degenerasi revolusi bukan hanya merupakan fakta sejarah yang tak terbantahkan, tetapi juga merupakan sebuah kekuatan pendorong. Dalam perjuangan kita untuk menggulingkan birokrasi, kita mendasarkan diri kita pada kontradiksi ini. Sementara itu, beberapa kaum ultra-kiri telah mencapai absurditas tertinggi dengan menyatakan bahwa kita harus mengorbankan struktur sosial Uni Soviet guna menggulingkan oligarki Bonapartis! Mereka tidak memahami sama sekali bahwa Uni Soviet tanpa struktur sosial yang dibangun oleh Revolusi Oktober akan menjadi sebuah rezim fasis.

Evolusi dan Dialektika

Kamerad Burnham mungkin akan melayangkan protes, bahwa sebagai kaum evolusionis ia juga memperhatikan perkembangan masyarakat dan bentuk negara seperti halnya kami kaum dialektikus. Kami tidak akan mempersoalkan ini. Setiap orang yang berpendidikan sejak Darwin telah menyebut diri mereka sebagai seorang “evolusionis”. Tetapi seorang evolusionis sejati harus menerapkan ide evolusi pada bentuk pemikirannya sendiri. Logika dasar yang ditemukan pada masa ketika ide evolusi itu sendiri belumlah ada, jelas tidak cukup untuk menganalisis proses evolusi. Logika Hegel adalah logika evolusi. Hanya saja, kita tidak boleh lupa bahwa konsep “evolusi” itu sendiri telah sepenuhnya dikorupsi dan dikebiri oleh para akademisi universitas dan liberal sehingga diartikan sebagai “progres” yang damai. Siapa pun yang telah memahami proses evolusi melalui perjuangan kekuatan-kekuatan yang antagonistis; bahwa akumulasi perubahan yang lambat pada momen tertentu meledakkan cangkang lama dan menimbulkan bencana, atau revolusi; siapa pun yang akhirnya telah belajar menerapkan hukum-hukum umum evolusi pada pemikiran itu sendiri, ia adalah seorang dialektikus, yang dibedakan dari kaum evolusionis yang vulgar. Melatih pikiran secara dialektis, yang sama pentingnya bagi seorang pejuang revolusioner seperti latihan jari bagi seorang pianis, menuntut kita untuk mengkaji semua problem sebagai proses dan bukan sebagai kategori-kategori yang statis. Sedangkan kaum evolusionis vulgar, yang membatasi diri mereka secara umum untuk mengakui evolusi hanya dalam bidang-bidang tertentu, merasa puas dengan “akal sehat” yang dangkal untuk mengkaji semua problem lainnya.


Keterangan:

[1] James Burnham (1905-1987) – seorang profesor filsafat New York University dan pemikir gerakan konservatif Amerika. Pada masa mudanya, Burnham adalah seorang sosialis. Pada 1933, Burnham terlibat dalam mengorganisir American Workers Party, dan lalu pada 1935 dia bergabung dengan gerakan Trotskis di Amerika. Tetapi dalam waktu pendek, mulai pada 1937 dia mulai berseberangan dengan Trotskisme. Dalam Socialist Workers Party  (organisasi Trotskis di AS), dia membentuk faksi oposisi bersama dengan Max Shachtman, yang berpolemik dengan James Cannon dan Leon Trotsky mengenai karakter Uni Soviet. Polemik ini lalu menjadi polemik fundamental mengenai filsafat materialisme dialektis. Polemik ini tertuang dalam buku In Defence of Marxism. Akhirnya pada 1940 Burnham dan Shachtman keluar dari partai dan secara terbuka menolak Marxisme. Dengan cepat Burnham menyebrang ke sisi borjuasi, menjadi musuh bebuyutan Marxisme, dan menjadi salah satu teoretikus terkemuka gerakan konservatif.

[2] Bruno Rizzi (1901-1977) – bergabung dengan Partai Komunis Italia pada 1921 tetapi keluar pada 1930. Pada 1939 dia menulis buku La Bureaucratisation du Monde, di mana dia berargumen bahwa Fasisme dan Stalinisme adalah bentuk rejim sosial yang sama, yakni yang disebutnya “kolektivisme birokratik”. Trotsky mengkritik gagasan ini dalam buku In Defence of Marxism.