Stalinisme dan Bolshevisme

Leon Trotsky (1937)


Ditulis pada: 28 Agustus, 1937

Pertama kali diterbitkan di Socialist Appeal, Vol. 1 No. 7, 25 September 1937, hal. 4–5 & Vol. 1 No. 8, 2 October 1937, hal. 4–5.

Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari: Stalinism and Bolshevism. Trotsky Internet Archive.

Penerjemah: Ted Sprague (7 Agustus, 2024)


Periode reaksioner seperti sekarang ini tidak hanya memecah belah dan melemahkan kelas buruh dan mengisolasi kaum pelopornya, tetapi juga menurunkan level ideologi gerakan dan melempar pemikiran politik ke belakang, ke tahapan-tahapan yang telah lama ditinggalkannya. Dalam kondisi seperti ini, tugas kaum pelopor yang paling penting adalah tidak membiarkan dirinya terseret oleh arus balik: ia harus berenang melawan arus. Jika perimbangan kekuatan yang tidak menguntungkan mencegahnya untuk mempertahankan posisi politik yang telah dimenangkannya, setidaknya ia harus mempertahankan posisi ideologisnya, karena terkandung dalam posisi ideologis ini adalah pengalaman masa lalu yang sangat mahal harganya. Orang-orang bodoh akan menganggap kebijakan ini “sektarian”. Sebenarnya, ini adalah satu-satunya cara untuk mempersiapkan diri untuk lompatan besar yang baru dalam gelombang sejarah yang akan datang.

Reaksi Terhadap Marxisme dan Bolshevisme

Kekalahan politik yang besar memicu pertimbangan ulang terhadap gagasan yang ada, yang biasanya terjadi dalam dua arah. Di satu sisi, kaum pelopor sejati, yang diperkaya oleh pengalaman kekalahan, mempertahankan dengan mati-matian warisan pemikiran revolusioner dan atas dasar ini berjuang untuk mendidik kader-kader baru untuk perjuangan massa yang akan datang. Di sisi lain, kaum rutinis, sentris, dan diletan, yang tercekam oleh kekalahan, berusaha sekuat tenaga untuk menghancurkan otoritas tradisi revolusioner dan mundur ke belakang dalam pencarian mereka akan “Dunia Baru”.

Kita dapat menunjukkan banyak sekali contoh reaksi ideologis, yang biasanya mengambil bentuk kepasrahan dan ketertundukan. Contohnya adalah semua literatur Internasional Kedua dan Ketiga, dan juga satelit-satelit mereka di Biro London. Tidak ada secuil pun analisis Marxis. Tidak ada satu pun upaya serius untuk menjelaskan penyebab kekalahan. Tentang masa depan, tidak ada satu pun kata baru. Yang kita temui hanyalah klise, konformitas, kebohongan, dan di atas segalanya, hasrat untuk menyelamatkan posisi mereka sendiri. Kita cukup membaca 10 kata dari orang-orang seperti Hilferding atau Otto Bauer untuk mengendus bau busuk ini. Para teoretikus Komintern bahkan tidak layak disebut. Dimitrov[1] yang terkenal itu sama bodohnya dan sama dangkalnya dengan pedagang kelontong kecil. Orang-orang ini terlalu malas berpikir untuk mengutuk Marxisme: mereka melacurkannya. Namun, bukan mereka yang menarik perhatian kita sekarang. Mari kita beralih ke para “inovator”.

Mantan komunis Austria, Willi Schlamm, menulis sebuah buku kecil tentang Pengadilan Moskow[2], dengan judul yang ekspresif, Kediktatoran Kebohongan. Schlamm adalah seorang jurnalis berbakat, yang sangat tertarik dengan isu-isu terkini. Kritiknya terhadap pengadilan rekayasa Moskow, dan pemaparannya tentang mekanisme psikologis “pengakuan sukarela”, sangat bagus. Namun, ia tidak membatasi dirinya pada hal ini. Ia ingin menciptakan sebuah teori sosialisme yang baru, yang akan mencegah kekalahan dan pengadilan rekayasa di masa depan. Tetapi karena Schlamm sama sekali bukan seorang teoretikus dan tampaknya tidak begitu akrab dengan sejarah perkembangan sosialisme, ia kembali sepenuhnya ke sosialisme pra-Marxis, dan terutama ke sosialisme Jerman, yaitu varian sosialisme yang paling terbelakang, sentimental, dan cengeng. Schlamm menolak dialektika dan perjuangan kelas, dan terutama kediktatoran proletariat. Baginya, masalah transformasi masyarakat direduksi menjadi realisasi kebenaran moral “abadi”, di mana dia akan mengilhami umat manusia dengan kebenaran moral “abadi” ini, bahkan di bawah kapitalisme. Upaya Willi Schlamm untuk menyelamatkan sosialisme dengan menyuntiknya dengan kelenjar moral disambut dengan penuh sukacita dan rasa bangga oleh Kerensky dalam jurnalnya Novaya Rossia (sebuah jurnal provinsial di Rusia yang sekarang diterbitkan di Paris). Menurut kesimpulan para editor jurnal itu, Schlamm telah tiba pada prinsip sosialisme Rusia yang sebenarnya, yang sedari dulu telah menentang perjuangan kelas yang keras dan kejam dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keyakinan, harapan, dan kasih sayang.

Doktrin “baru” “kaum Sosialis-Revolusioner” Rusia ini mewakili, dalam premis-premis “teoretis”-nya, sebuah langkah mundur untuk kembali ke Sosialisme Jerman sebelum Marx. Akan tetapi, tidaklah adil bila kita menuntut pengetahuan yang lebih mendalam mengenai sejarah gagasan dari Kerensky ketimbang dari Schlamm. Yang jauh lebih penting adalah fakta bahwa Kerensky, yang bersolidaritas dengan Schlamm, ketika menjabat sebagai kepala pemerintahan, adalah orang yang mempersekusi kaum Bolshevik sebagai agen Jerman;[3] dalam kata lain, Kerensky mengorganisir kampanye fitnah yang sama yang kini ditentang oleh Schlamm dengan menggunakan prinsip-prinsip metafisika absolutnya yang sudah tua itu.

Reaksi ideologis Schlamm dan orang-orang seperti dia memiliki mekanisme psikologis yang tidak rumit. Untuk sejurus waktu, orang-orang ini terlibat dalam gerakan politik yang bersumpah atas nama perjuangan kelas dan, yang dalam ucapan, berpegang pada materialisme dialektik. Baik di Austria maupun di Jerman, gerakan ini mengalami kekalahan dan berakhir dengan bencana. Schlamm menarik kesimpulan: ini disebabkan oleh dialektika dan perjuangan kelas! Dan karena pilihannya dibatasi oleh pengalaman historis dan oleh pengetahuan pribadinya, maka pembaharu kita hanya bisa menemukan gagasan-gagasan usang yang dia pertentangkan dengan gagah beraninya tidak hanya dengan Bolshevisme tetapi juga dengan Marxisme.

Sekilas, reaksi ideologis Schlamm tampak terlalu primitif untuk kita renungkan (dari Marx ... ke Kerensky!). Tetapi sebenarnya ini sangat instruktif: justru dalam keprimitifannya ia mewakili bentuk umum dari semua bentuk reaksi ideologis lainnya, khususnya yang sepenuhnya mengecam Bolshevisme.

“Kembali ke Marxisme”?

Marxisme menemukan ekspresi historis tertingginya dalam Bolshevisme. Di bawah panji Bolshevisme, kemenangan pertama kaum proletar diraih dan negara buruh pertama didirikan. Tidak ada kekuatan yang dapat menghapus fakta-fakta ini dari sejarah. Tetapi karena Revolusi Oktober telah berakhir dengan kemenangan birokrasi, dengan sistem represi, perampasan, dan falsifikasi mereka –   “kediktatoran kebohongan”, meminjam istilah Schlamm – banyak orang dengan cara berpikir formalistik dan dangkal langsung melompat ke kesimpulan: kita tidak dapat berjuang melawan Stalinisme tanpa mencampakkan Bolshevisme. Schlamm, seperti yang sudah kita ketahui, melangkah lebih jauh lagi: Bolshevisme itu sendiri, yang mengalami degenerasi menjadi Stalinisme, tumbuh dari Marxisme; oleh karena itu, kita tidak dapat melawan Stalinisme selama kita masih berpijak pada fondasi Marxisme. Ada juga yang mengatakan sebaliknya – dan mereka ini lebih tidak konsisten dan lebih banyak jumlahnya: “Kita harus mengembalikan Bolshevisme ke Marxisme.” Bagaimana? Ke Marxisme yang mana? Sebelum Marxisme menjadi “bangkrut” dalam bentuk Bolshevisme, ia telah ambruk dalam bentuk sosial demokrasi. Apakah slogan “Kembali ke Marxisme” berarti melompati periode Internasional Kedua dan Ketiga... ke Internasional Pertama? Tetapi Internasional Pertama juga ambruk pada masanya. Jadi, pada analisis terakhir, ini berarti kembali ke kumpulan karya Marx dan Engels. Seorang dapat melakukan lompatan historis ini tanpa harus meninggalkan ruang belajar mereka dan bahkan tanpa harus melepas sandal mereka. Namun, bagaimana kita dapat beranjak dari karya-karya klasik ini (Marx meninggal pada 1883, Engels pada 1895) ke tugas-tugas di zaman baru, dengan menghapus puluhan tahun perjuangan teoretis dan politik, di antaranya Bolshevisme dan Revolusi Oktober? Tak satu pun dari mereka, yang mengusulkan untuk mencampakkan Bolshevisme sebagai sebuah tendensi yang bangkrut secara historis, telah menunjukkan jalan lain.

Jadi persoalannya direduksi menjadi nasihat sederhana untuk mempelajari Das Kapital. Kami tidak menolaknya. Tetapi kaum Bolshevik juga mempelajari Das Kapital, dan dengan cukup baik pula. Namun, ini tidak mencegah degenerasi negara Soviet dan pengadilan rekayasa di Moskow. Jadi, apa yang harus dilakukan?

Apakah Bolshevisme Bertanggung Jawab atas Stalinisme?

Benarkah Stalinisme merupakan produk sah Bolshevisme, sebagaimana yang dinyatakan oleh semua kaum reaksioner, sebagaimana yang diklaim oleh Stalin sendiri, sebagaimana yang diyakini oleh kaum Menshevik, kaum anarkis, dan sejumlah kaum doktriner Kiri yang menganggap diri mereka Marxis? “Kami telah meramalkan ini”, kata mereka. “Dimulai dengan pelarangan partai-partai sosialis lainnya, represi terhadap kaum anarkis, dan pendirian kediktatoran Bolshevik di Soviet, Revolusi Oktober hanya dapat berakhir dengan kediktatoran birokrasi. Stalin adalah kelanjutan dan juga kebangkrutan Leninisme."

Penalaran ini cacat karena ia dimulai dengan secara implisit mengidentikkan Bolshevisme, Revolusi Oktober, dan Uni Soviet. Proses historis dari konflik antara kekuatan-kekuatan antagonistis digantikan dengan evolusi Bolshevisme dalam ruang hampa. Namun, Bolshevisme hanyalah sebuah tendensi politik yang melebur dengan erat dengan kelas buruh, tetapi tidak identik dengannya. Selain kelas buruh, di Uni Soviet terdapat seratus juta petani, beragam bangsa, dan warisan penindasan, kesengsaraan, dan kebodohan. Negara yang dibangun oleh kaum Bolshevik tidak hanya mencerminkan pemikiran dan kehendak Bolshevisme, tetapi juga tingkat budaya Rusia, komposisi sosial penduduknya, tekanan dari masa lalunya yang barbar, serta tekanan imperialisme dunia yang tak kalah barbarnya. Proses degenerasi negara Soviet digambarkan murni sebagai evolusi Bolshevisme, yang berarti mengabaikan realitas sosial dengan hanya mempertimbangkan salah satu elemennya, yang diisolasi dengan logika murni. Kita hanya perlu menyingkap kekeliruan fundamental ini untuk membongkar keseluruhan penalaran yang sesat itu.

Bolshevisme tidak pernah mengidentikkan dirinya dengan Revolusi Oktober atau dengan negara Soviet yang lahir darinya. Bolshevisme menganggap dirinya sebagai salah satu faktor sejarah, faktor “sadar”-nya – faktor yang sangat penting tetapi tidak menentukan. Kami tidak pernah membuat kesalahan subjektivisme historis. Bagi kami, faktor yang menentukan adalah perjuangan kelas – di atas basis kekuatan produktif yang ada – tidak hanya dalam skala nasional tetapi juga dalam skala internasional.

Ketika kaum Bolshevik memberikan konsesi pada kecenderungan petani[4], pada kepemilikan pribadi, menetapkan aturan keanggotaan partai yang ketat, membersihkan partai dari elemen-elemen asing, melarang partai-partai lain, memperkenalkan NEP[5], mengizinkan perusahaan-perusahaan swasta sebagai konsesi, atau membuat kesepakatan diplomatis dengan pemerintah imperialis, mereka menarik kesimpulan-kesimpulan parsial dari fakta dasar yang secara teoritis sudah jelas bagi mereka sejak awal; bahwa penaklukan kekuasaan, betapa pun pentingnya hal tersebut dalam dirinya sendiri, sama sekali tidak mentransformasi partai menjadi penguasa atas proses sejarah. Setelah merebut kekuasaan negara, partai dapat, tentu saja, mempengaruhi perkembangan masyarakat dengan kekuasaan yang sebelumnya tidak dapat diaksesnya; tetapi sebagai gantinya, partai menjadi semakin tunduk pada pengaruh dari semua elemen lainnya dalam masyarakat, pengaruh yang kekuatannya sepuluh kali lipat lebih besar. Dihantam secara langsung oleh kekuatan-kekuatan yang bermusuhan, partai dapat kehilangan kekuasaannya. Dengan tempo perkembangan yang lebih berkepanjangan, partai dapat mengalami degenerasi sementara masih mempertahankan kekuasaannya. Dialektika proses sejarah inilah yang tidak dipahami oleh para ahli logika sektarian, yang mencoba menggunakan degenerasi birokrasi Stalinis sebagai argumen untuk melawan Bolshevisme.

Pada intinya, orang-orang ini mengatakan: partai revolusioner yang tidak memiliki jaminan untuk mencegah degenerasi dalam dirinya adalah partai yang buruk. Dengan kriteria seperti itu, Bolshevisme jelas akan hancur; ia tidak memiliki jimat pelindung seperti itu. Tetapi kriteria itu salah. Pemikiran ilmiah menuntut analisis konkret: bagaimana dan mengapa partai Bolshevik mengalami degenerasi? Hingga saat ini, tak seorang pun kecuali kaum Bolshevik sendiri yang telah menyediakan analisis semacam itu. Untuk melakukan ini, mereka tidak perlu pecah dengan Bolshevisme. Sebaliknya, mereka menemukan dalam Bolshevisme semua yang mereka butuhkan untuk menjelaskan nasibnya. Mereka menarik kesimpulan ini: tentu saja Stalinisme “tumbuh” dari Bolshevisme, tetapi tidak secara logis, tetapi secara dialektis; bukan sebagai afirmasi revolusioner tetapi sebagai negasi Thermidorian.[6] Ini jelas berbeda.

Prognosis Dasar Bolshevisme

Namun, kaum Bolshevik tidak perlu menunggu pengadilan Moskow untuk menjelaskan sebab-musabab disintegrasi partai yang berkuasa di Uni Soviet. Jauh-jauh hari mereka telah meramalkan dan mendiskusikan kemungkinan teoretis dari perkembangan ini. Mari kita ingat prognosis kaum Bolshevik, tak hanya menjelang Revolusi Oktober tapi juga bertahun-tahun sebelumnya. Perimbangan kekuatan yang spesifik di kancah nasional dan internasional dapat memungkinkan kaum proletar untuk merebut kekuasaan pertama kali di negara terbelakang seperti Rusia. Namun, perimbangan kekuatan yang sama juga menunjukkan bahwa tanpa kemenangan yang kurang-lebih cepat dari kaum proletar di negara-negara maju maka pemerintahan buruh di Rusia tidak akan bertahan. Jika terisolasi, rejim Soviet akan runtuh atau mengalami degenerasi. Lebih tepatnya, rejim ini akan mengalami degenerasi terlebih dahulu dan kemudian runtuh. Saya sendiri telah menulis mengenai ini lebih dari sekali, sejak tahun 1905. Dalam buku Sejarah Revolusi Rusia saya (lihat lampiran jilid terakhir: Sosialisme di Satu Negara) terkumpul semua pernyataan mengenai masalah ini dari para pemimpin Bolshevik dari tahun 1917 hingga 1923. Semuanya mengatakan ini pada intinya: tanpa revolusi di Barat, Bolshevisme akan dilikuidasi entah oleh kontra-revolusi internal atau oleh intervensi eksternal, atau oleh kombinasi keduanya. Lenin menekankan lagi dan lagi bahwa birokratisasi rejim Soviet bukanlah masalah teknis, tetapi merupakan awal dari degenerasi negara buruh.

Di kongres partai kesebelas pada bulan Maret 1922, Lenin berbicara mengenai dukungan yang diberikan kepada Soviet Rusia pada masa NEP oleh sejumlah politisi borjuis, terutama oleh profesor liberal Ustryalov. “Saya mendukung kekuasaan Soviet di Rusia”, kata Ustryalov, meskipun ia adalah seorang anggota Partai Kadet[7], seorang borjuis, dan mendukung intervensi militer terhadap negara Soviet – “karena Soviet telah mengambil jalan yang akan membawanya kembali ke negara borjuis yang lazim”. Lenin lebih memilih komentar sinis dari musuh daripada “omong kosong komunis yang manis”. Dengan tegas dan keras ia memperingatkan partai akan bahaya ini: “Kita harus mengatakan dengan terus terang bahwa apa yang dibicarakan oleh Ustryalov adalah mungkin. Sejarah mengenal segala macam metamorfosis. Mengandalkan keteguhan keyakinan, kesetiaan, dan kualitas moral yang luar biasa lainnya sama sekali bukan sikap yang serius dalam politik. Beberapa orang mungkin diberkahi dengan kualitas moral yang luar biasa, tetapi masalah-masalah historis diputuskan oleh massa luas, yang, jika beberapa orang itu tidak sesuai dengan mereka, terkadang akan memperlakukan mereka dengan tidak terlalu sopan.”[8] Singkatnya, partai bukanlah satu-satunya faktor perkembangan dan dalam skala historis yang lebih besar bukanlah faktor penentu.

“Satu bangsa menaklukkan bangsa lain,” lanjut Lenin di kongres yang sama, kongres terakhir yang ia hadiri, “ini sederhana dan dapat dipahami oleh semua orang. Tapi apa yang terjadi pada budaya bangsa-bangsa ini? Di sini, perkaranya tidak sesederhana itu. Jika bangsa penakluk lebih berbudaya daripada bangsa yang ditaklukkan, maka bangsa penakluk akan memaksakan budayanya pada yang ditaklukkan. Tetapi jika sebaliknya, bangsa yang ditaklukkan akan memaksakan budayanya pada penakluk. Bukankah hal seperti ini terjadi di ibu kota Republik Soviet Rusia? Apakah 4700 Komunis (hampir satu divisi tentara, dan semuanya adalah yang terbaik) berada di bawah pengaruh budaya asing?”.[9] Ini dia katakan pada tahun 1922, dan bukan untuk pertama kalinya. Sejarah tidak dibuat oleh segelintir orang, bahkan oleh “yang terbaik” sekalipun. Dan tidak hanya itu. “Orang-orang terbaik” ini pun bisa mengalami degenerasi, jatuh di bawah pengaruh budaya asing, yakni budaya borjuis. Tidak hanya negara Soviet yang dapat meninggalkan jalan sosialisme, tetapi partai Bolshevik juga dapat, di bawah kondisi historis yang tidak menguntungkan, kehilangan Bolshevismenya.

Oposisi Kiri dibentuk pada 1923 dari pemahaman yang jelas tentang bahaya ini. Merekam dari hari ke hari gejala-gejala degenerasi Soviet ini, mereka mencoba melawan Thermidor yang sedang tumbuh itu dengan kehendak sadar dari kaum pelopor proletariat. Namun faktor subyektif ini terbukti tidak memadai. “Massa luas” yang, menurut Lenin, menentukan hasil perjuangan, menjadi lelah karena kemiskinan dan menunggu terlalu lama untuk revolusi dunia. Semangat perjuangan massa menurun. Birokrasi menang di atas angin. Mereka menundukkan lapisan pelopor revolusi, menginjak-injak Marxisme, melacurkan partai Bolshevik. Stalinisme menang. Dalam bentuk Oposisi Kiri, Bolshevisme pecah dari birokrasi Soviet dan Kominternnya. Demikianlah alur perkembangan sejarah yang sesungguhnya.

Secara formal Stalinisme memang berasal dari Bolshevisme. Bahkan hingga saat ini, birokrasi Moskow masih menyebut dirinya sebagai partai Bolshevik. Mereka hanya menggunakan label lama Bolshevisme untuk menipu massa. Lebih menyedihkan lagi adalah para teoretikus yang melihat cangkang dan mengira ini adalah isinya, dan yang melihat penampilan luar dan mengira ini adalah realitas. Dengan mengidentikkan Bolshevisme dan Stalinisme, mereka memberikan pelayanan terbaik bagi kaum Thermidorian dan dengan demikian jelas-jelas memainkan peran reaksioner.

Dengan tersingkirnya semua partai lainnya dari medan politik, kepentingan dan kecenderungan antagonistis dari berbagai lapisan masyarakat, sedikit banyak, menemukan ekspresi mereka di dalam partai Bolshevik yang berkuasa. Sejauh pusat gravitasi politik telah bergeser dari proletariat ke birokrasi, struktur sosial dan juga ideologi Partai Bolshevik telah mengalami perubahan. Karena alur perkembangan yang penuh gejolak, partai ini telah mengalami degenerasi yang jauh lebih radikal dalam 15 tahun terakhir dibandingkan dengan yang dialami oleh sosial demokrasi dalam setengah abad terakhir. Pembersihan yang terjadi saat ini telah menarik tidak hanya sebuah garis darah yang memisahkan Bolshevisme dari Stalinisme, tetapi juga sungai darah. Pemusnahan seluruh generasi Bolshevik Tua, selapisan besar generasi tengah yang berpartisipasi dalam perang sipil, dan sebagian kaum muda yang paling serius menyerap tradisi Bolshevik, tidak hanya menunjukkan ketidakcocokan politik tetapi juga sepenuhnya ketidakcocokan secara fisik antara Bolshevisme dan Stalinisme. Bagaimana mungkin ada orang yang gagal melihat ini?

Stalinisme dan “Sosialisme Negara”

Sementara, kaum anarkis melihat Stalinisme sebagai produk organik tidak hanya dari Bolshevisme dan Marxisme tetapi juga dari “sosialisme negara” secara umum. Mereka bersedia menggantikan “federasi komune bebas” Bakunin yang patriarkal dengan federasi Soviet yang bebas dan modern. Tetapi, seperti sebelumnya, mereka menentang kekuasaan negara yang tersentralisir. Salah satu tendensi Marxisme “negara”, yaitu sosial demokrasi, setelah berkuasa menjadi agen kapitalisme secara terbuka. Tendensi yang lain, yaitu Bolshevisme, melahirkan kasta berprivilese yang baru. Jadi jelaslah bahwa sumber kejahatan ini terletak pada negara. Dari sudut pandang historis yang luas, ada sebulir kebenaran dalam penalaran ini. Negara sebagai alat pemaksa tak ayal lagi merupakan sumber infeksi politik dan moral. Ini juga berlaku, seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman, pada negara buruh. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa Stalinisme adalah produk dari sebuah tahapan masyarakat di mana masyarakat masih belum mampu melepaskan dirinya dari cengkeraman negara. Tetapi kondisi ini, yang tidak memberikan kontribusi apapun pada penilaian terhadap Bolshevisme dan Marxisme, hanya mencirikan tahapan perkembangan peradaban manusia secara umum, dan di atas segalanya – perimbangan kekuatan antara proletariat dan borjuasi. Setelah sepakat dengan kaum anarkis bahwa negara, bahkan negara buruh, adalah produk dari barbarisme kelas dan bahwa sejarah manusia yang sesungguhnya akan dimulai dengan penghapusan negara, kita masih dihadapkan dengan pertanyaan yang sangat penting: dengan cara dan metode apa kita pada akhirnya dapat menghapus negara? Pengalaman baru-baru ini menjadi saksi bahwa metode tersebut bukanlah metode anarkisme.

Para pemimpin Federasi Buruh Spanyol (CNT), satu-satunya organisasi anarkis yang penting di dunia, pada momen-momen kritis menjadi menteri-menteri borjuis.[10] Mereka menjelaskan pengkhianatan terbuka mereka terhadap teori anarkisme dengan dalih tekanan “situasi luar biasa”. Tetapi bukankah para pemimpin sosial demokrat Jerman saat itu juga menggunakan dalih yang sama? Tentu saja, perang sipil bukanlah keadaan yang damai dan normal, melainkan “situasi yang luar biasa”. Akan tetapi, setiap organisasi revolusioner yang serius mempersiapkan dirinya justru untuk menghadapi “situasi luar biasa”. Pengalaman Revolusi Spanyol telah menunjukkan sekali lagi bahwa negara dapat “disangkal” dalam buklet-buklet yang diterbitkan selama “situasi normal” dengan seizin negara borjuis, tetapi kondisi-kondisi revolusi tidak menyisakan ruang untuk penyangkalan terhadap negara. Sebaliknya, kondisi-kondisi revolusi justru menuntut penaklukan kekuasaan negara. Kami sama sekali tidak berniat menyalahkan kaum anarkis karena mereka tidak melikuidasi negara hanya dengan goresan pena. Sebuah partai revolusioner, bahkan setelah merebut kekuasaan (yang mana para pemimpin anarkis tidak mampu melakukannya kendati kepahlawanan kaum buruh anarkis), tetap saja bukan penguasa atas masyarakat. Namun, kita jauh lebih menyalahkan teori anarkis, yang tampaknya cocok untuk masa-masa damai, tetapi yang harus langsung dibuang begitu “situasi luar biasa” revolusi dimulai. Di masa lalu, ada beberapa jenderal tertentu – dan mungkin masih ada sampai sekarang – yang menganggap bahwa hal yang paling berbahaya bagi tentara adalah perang. Kaum revolusioner yang mengeluh bahwa revolusi menghancurkan doktrin mereka tidaklah lebih baik dari mereka.

Kaum Marxis sepenuhnya setuju dengan kaum anarkis dalam hal tujuan akhir: penghapusan negara. Kaum Marxis adalah “state-ist” dalam pengertian bahwa kita tidak dapat menghapus negara hanya dengan mengabaikannya. Pengalaman Stalinisme tidak menyangkal ajaran Marxisme, tetapi justru menegaskannya secara negatif. Doktrin revolusioner yang mengajarkan kaum proletar untuk mengorientasikan dirinya dengan tepat di dalam situasi-situasi tertentu dan mengambil keuntungan dari situasi-situasi tersebut, tentu saja tidak mengandung jaminan kemenangan secara otomatis. Tetapi kemenangan hanya mungkin dicapai melalui penerapan doktrin ini. Terlebih lagi, kemenangan tidak boleh dibayangkan sebagai sebuah peristiwa tunggal. Kemenangan itu harus dilihat dalam perspektif sejarah. Negara buruh – di atas basis ekonomi yang rendah dan dikepung oleh imperialisme – mengalami transformasi menjadi birokrasi Stalinisme. Namun, Bolshevisme sejati meluncurkan perjuangan hidup dan mati melawan birokrasi ini. Untuk mempertahankan dirinya, Stalinisme kini terpaksa mengobarkan perang sipil secara langsung terhadap Bolshevisme dengan nama “Trotskisme”, tak hanya di Uni Soviet tetapi juga di Spanyol. Partai Bolshevik yang lama telah mati, tetapi Bolshevisme bangkit di mana-mana.

Mendeduksi Stalinisme dari Bolshevisme atau dari Marxisme sama saja dengan mendeduksi, dalam arti yang lebih luas, kontra-revolusi dari revolusi. Pola berpikir seperti ini selalu dianut oleh kaum liberal-konservatif dan kaum reformis. Karena struktur kelas masyarakat, revolusi selalu menghasilkan kontra-revolusi. Bukankah ini mengindikasikan, tanya para ahli logika kita, bahwa ada semacam cacat bawaan dalam metode revolusioner? Namun, baik kaum liberal maupun reformis belum berhasil menemukan metode revolusioner yang lebih “ekonomis”. Tetapi, jika tidak mudah untuk merasionalisasi proses sejarah yang hidup, maka sama sekali tidak sulit untuk memberikan interpretasi yang rasional mengenai pergantian gelombang dalam proses sejarah, dan dengan demikian dengan logika murni mendeduksi Stalinisme dari “sosialisme negara”, fasisme dari Marxisme, reaksi dari revolusi, dengan kata lain, antitesis dan tesis. Dalam domain ini, seperti halnya di banyak domain lainnya, pemikiran anarkis adalah tawanan rasionalisme liberal. Pemikiran revolusioner yang sesungguhnya mustahil tanpa dialektika.

“Dosa-dosa” Politik Bolshevisme sebagai Sumber Stalinisme

Argumen-argumen kaum rasionalis terkadang mengasumsikan, setidaknya dalam bentuk luarnya, sebuah karakter yang lebih konkret. Mereka tidak mendeduksi Stalinisme dari Bolshevisme secara keseluruhan, tetapi dari dosa-dosa politiknya. Kaum Bolshevik – menurut Gorter, Pannekoek, beberapa kaum “Spartacist” Jerman dan yang lainnya – menggantikan kediktatoran proletariat dengan kediktatoran partai; Stalin menggantikan kediktatoran partai dengan kediktatoran birokrasi; kaum Bolshevik menghancurkan semua partai kecuali partai mereka sendiri; Stalin mencekik partai Bolshevik demi kepentingan klik Bonapartis. Kaum Bolshevik berkompromi dengan kaum borjuis; Stalin menjadi sekutu dan pendukung kaum borjuis. Kaum Bolshevik mengakui pentingnya partisipasi dalam serikat buruh yang lama dan dalam parlemen borjuis; Stalin berteman dengan birokrasi serikat buruh dan demokrasi borjuis. Orang dapat membuat komparasi-komparasi seperti itu sesuka hati. Walaupun semua komparasi ini kelihatannya efektif, pada kenyataannya mereka sepenuhnya impoten.

Kaum proletar dapat merebut kekuasaan hanya melalui lapisan pelopornya. Dengan sendirinya, kebutuhan akan kekuasaan negara muncul dari tingkat budaya massa yang tidak memadai dan heterogenitas mereka. Dalam kaum pelopor revolusioner, yang terorganisir dalam sebuah partai, terkristalisasi aspirasi massa untuk memperoleh kebebasan mereka. Tanpa kepercayaan kelas proletar terhadap kaum pelopornya, tanpa dukungan kelas proletar terhadap kaum pelopornya, penaklukan kekuasaan akan menjadi mustahil. Dalam artian ini, revolusi proletar dan kediktatoran proletariat adalah buah karya seluruh kelas, tetapi hanya di bawah kepemimpinan lapisan pelopornya. Soviet adalah satu-satunya bentuk terorganisir dari ikatan antara kaum pelopor dan kelas proletar. Hanya partai yang bisa memberikan konten revolusioner pada bentuk ini. Ini dibuktikan oleh pengalaman positif Revolusi Oktober dan oleh pengalaman negatif negara-negara lain (Jerman, Austria, dan akhirnya Spanyol). Tidak ada seorang pun yang telah menunjukkan dalam praktik atau mencoba memaparkan secara jelas di atas kertas bagaimana kaum proletar dapat merebut kekuasaan tanpa kepemimpinan politik sebuah partai yang tahu apa yang mereka inginkan. Fakta bahwa partai ini menundukkan Soviet secara politik pada para pemimpinnya tidaklah berarti terhapusnya sistem Soviet, seperti halnya dominasi mayoritas partai konservatif di parlemen Inggris tidak berarti penghapusan sistem parlementer Inggris.

Sejauh menyangkut pelarangan terhadap partai-partai Soviet lainnya, hal ini tidak mengalir dari “teori” Bolshevisme, tetapi merupakan kebijakan untuk mempertahankan kediktatoran proletariat di negeri yang terbelakang dan porak-poranda, yang dikepung musuh dari segala penjuru. Bagi kaum Bolshevik, sudah jelas sejak awal bahwa kebijakan ini, yang kemudian disusul dengan pelarangan faksi di dalam Partai Bolshevik, menandakan adanya bahaya yang luar biasa. Namun, akar bahaya ini tidak terletak pada doktrin atau taktik, melainkan pada kelemahan material kediktatoran proletariat, pada kesulitan-kesulitan dalam situasi internalnya dan situasi internasional. Bila saja revolusi menang, bahkan jika hanya di Jerman, keharusan untuk melarang partai-partai Soviet lainnya akan segera lenyap. Tidak dapat disangkal bahwa dominasi satu partai menjadi titik tolak yuridis rezim totaliter Stalinis. Alasan untuk perkembangan ini bukan terletak pada Bolshevisme atau pelarangan partai-partai lain sebagai kebijakan sementara selama perang, melainkan pada kekalahan kaum proletar di Eropa dan Asia.

Hal yang sama berlaku dalam perseteruan melawan anarkisme. Pada masa revolusi yang heroik, kaum Bolshevik bekerja bahu membahu dengan kaum anarkis yang benar-benar revolusioner. Banyak dari mereka yang lalu bergabung ke partai. Saya lebih dari sekali berdiskusi dengan Lenin tentang kemungkinan untuk memberikan wilayah-wilayah tertentu kepada kaum anarkis, di mana, dengan persetujuan penduduk setempat, mereka dapat melakukan eksperimen masyarakat tanpa-negara mereka. Namun, perang sipil, blokade, dan wabah kelaparan tak menyisakan ruang untuk rencana semacam itu. Pemberontakan Kronstadt? Tetapi pemerintah revolusioner jelas-jelas tidak dapat “memberikan” benteng yang melindungi ibukota Soviet kepada para pemberontak hanya karena ada beberapa kaum anarkis  tidak-jelas yang bergabung dengan pemberontakan petani-tentara yang reaksioner itu. Analisis historis yang konkret tidak menyisakan sedikit pun ruang untuk legenda-legenda Kronstadt, Makhno, dll., yang dibangun di atas ketidaktahuan dan sentimentalitas.

Yang tersisa hanyalah fakta bahwa kaum Bolshevik sedari awal tak hanya menerapkan keyakinan, tetapi juga pemaksaan, sering kali dengan teramat keras. Tak dapat disangkal pula bahwa birokrasi yang tumbuh dari revolusi memonopoli sistem pemaksa ini ke dalam tangannya sendiri. Setiap tahap perkembangan, bahkan tahap-tahap katastropik seperti revolusi dan kontra-revolusi, mengalir dari tahap sebelumnya, berakar di dalamnya dan membawa serta beberapa fiturnya. Kaum liberal, termasuk pasangan suami-istri Webb [Sydney dan Beatrice Webb], selalu bersikeras bahwa kediktatoran Bolshevik hanyalah sebuah edisi baru Tsarisme. Mereka menutup mata mereka terhadap “detail-detail” seperti penghapusan monarki dan kaum bangsawan, redistribusi tanah kepada para petani, ekspropriasi kapital, penerapan ekonomi terencana, pendidikan yang bebas dari gereja, dan seterusnya. Dengan cara yang persis sama, kaum anarkis-liberal menutup mata mereka terhadap fakta bahwa revolusi Bolshevik, dengan semua represinya, berarti perubahan besar-besaran dalam relasi sosial demi kepentingan massa, sementara Thermidor Stalinis berarti rekonstruksi masyarakat Soviet demi kepentingan minoritas yang berprivilese. Maka jelaslah, dalam mengidentikkan Stalinisme dengan Bolshevisme tidak ada sedikit pun kriteria sosialis.

Masalah Teori

Salah satu fitur Bolshevisme yang paling menonjol adalah sikapnya yang tegas, amat teliti, dan bahkan sengit terhadap masalah teori. Karya-karya Lenin yang terkumpul dalam 26 jilid akan selamanya menjadi model ketelitian teoritis yang tertinggi. Tanpa kualitas fundamental ini, Bolshevisme tidak akan pernah dapat memenuhi peran historisnya. Dalam hal ini, Stalinisme, yang kasar, pandir, dan sepenuhnya empiris, adalah kebalikannya.

Oposisi Kiri menyatakan lebih dari 10 tahun yang lalu dalam programnya: “Sejak kematian Lenin, serangkaian teori baru telah diciptakan, yang tujuan satu-satunya  adalah memberikan justifikasi bagi kelompok Stalin untuk menyimpang dari jalur revolusi proletar internasional.” Beberapa hari yang lalu seorang penulis Amerika, Liston M. Oak, yang telah berpartisipasi dalam revolusi Spanyol, menulis: “Kaum Stalinis saat ini adalah kaum revisionis yang paling utama terhadap Marx dan Lenin – bahkan Bernstein[11] tidak berani melangkah sejauh Stalin dalam merevisi Marx.” Ini sungguh benar. Kita hanya perlu menambahkan bahwa Bernstein merasa perlu membangun sebuah doktrin; dengan cermat dia mencoba menyesuaikan praktik reformis sosial demokrasi dengan programnya. Sebaliknya, birokrasi Stalinis tidak hanya tidak memiliki kesamaan sama sekali dengan Marxisme tetapi juga secara umum tidak memiliki doktrin atau sistem apapun. “Ideologi”-nya sepenuhnya diresapi dengan subjektivisme polisi, praktiknya adalah empirisme kekerasan yang kasar. Sesuai dengan kepentingannya, kasta perampas ini membenci semua teori: mereka tidak bisa menjelaskan peran sosialnya baik kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain. Stalin merevisi Marx dan Lenin bukan dengan pena teoretikus tetapi dengan tumit GPU.[12]

Masalah Moral

Keluhan tentang “imoralitas” Bolshevisme terutama datang dari non-entitas yang topeng murahannya telah dirobek oleh Bolshevisme. Di kalangan borjuis kecil, intelektual, demokrat, “sosialis”, sastrawan, parlementer, dan kalangan lainnya, nilai-nilai konvensional berlaku, atau bahasa konvensional untuk menutupi fakta bahwa mereka tidak memiliki nilai sama sekali. Komunitas yang besar dan beraneka-ragam ini, yang saling melindungi – yang motonya “live and let live” atau “biarlah setiap orang punya pendapatnya sendiri-sendiri” – memiliki kulit sensitif yang tidak tahan pada sentuhan pisau analisa Marxisme yang tajam. Para teoretikus, penulis, dan moralis ini, yang terus terombang-ambing dari satu kubu ke kubu lainnya, terus berpikir bahwa kaum Bolshevik sengaja membesar-besarkan perbedaan pendapat, tidak mampu berkolaborasi secara “setia”, dan terus merusak persatuan gerakan buruh dengan “intrik-intrik” mereka. Selain itu, kaum sentris yang sensitif dan peka ini selalu berpikir bahwa kaum Bolshevik “mencemarkan nama baik mereka” – hanya karena kaum Bolshevik mampu membawa sampai ke kesimpulan akhir pemikiran-pemikiran mereka yang setengah-matang itu, sesuatu yang mereka sendiri tidak pernah mampu lakukan. Namun, hanya kualitas penting inilah, yakni intoleransi terhadap semua yang ambigu dan mengelak, yang dapat mendidik partai revolusioner agar tidak lengah menghadapi “situasi luar biasa”.

Kualitas moral setiap partai mengalir, pada analisis terakhir, dari kepentingan historis yang diwakilinya. Kualitas moral Bolshevisme – pengorbanan diri, nir-ambisi pribadi, keberanian, dan kebencian terhadap semua muslihat dan kebohongan, yakni kualitas terbaik manusia – mengalir dari kegigihan revolusioner dalam melayani kaum tertindas. Birokrasi Stalinis juga meniru perkataan dan gerak-gerik Bolshevisme. Namun, ketika “kegigihan” dan “fleksibilitas” diterapkan oleh aparat kepolisian untuk melayani minoritas berprivilese, mereka menjadi sumber demoralisasi dan gangsterisme. Kita hanya bisa merasa jijik pada orang-orang yang menyamakan kepahlawanan revolusioner kaum Bolshevik dengan sinisme birokratik kaum Thermidor.

Bahkan sekarang, terlepas dari peristiwa-peristiwa dramatis belakangan ini, kaum filistin yang medioker lebih memilih untuk percaya bahwa perjuangan antara Bolshevisme (“Trotskisme”) dan Stalinisme adalah benturan ambisi pribadi, atau, paling banter, konflik antara dua “corak” Bolshevisme. Ekspresi paling kasar dari pendapat ini diberikan oleh Norman Thomas, pemimpin Partai Sosialis Amerika: “Hanya ada sedikit alasan untuk percaya”. dia menulis (Socialist Review, September 1937, hal. 6), “bahwa jika Trotsky yang menang (!) dan bukannya Stalin, maka akan berakhirlah intrik, plot, dan rejim teror di Rusia.” Dan orang ini menganggap dirinya ... seorang Marxis. Setiap orang bisa mengatakan: “Hanya ada sedikit alasan untuk percaya bahwa jika Norman I menduduki Takhta Suci, dan bukannya Pius XI, maka Gereja Katolik akan berubah menjadi benteng sosialisme.” Norman Thomas gagal memahami bahwa ini bukanlah masalah antagonisme antara Stalin dan Trotsky, tetapi antagonisme antara birokrasi dan proletariat. Tentu saja, strata penguasa Uni Soviet bahkan sekarang pun masih harus menyesuaikan dirinya dengan warisan revolusi yang masih belum sepenuhnya terlikuidasi, sementara pada saat yang sama mempersiapkan perubahan rejim sosial dengan meluncurkan perang sipil langsung (“pembersihan” yang berdarah-darah, pemusnahan massal terhadap semua orang yang tidak puas). Tetapi di Spanyol, kaum Stalinis sudah bertindak secara terbuka sebagai benteng pertahanan tatanan borjuis dalam melawan sosialisme. Perjuangan melawan birokrasi Bonapartis berubah di depan mata kita menjadi perjuangan kelas: dua dunia, dua program, dua moralitas. Jika Thomas berpikir bahwa kemenangan kaum proletar sosialis atas kasta penindas ini tidak akan meregenerasi rejim Soviet secara politik dan moral, dia hanya membuktikan bahwa dengan segala keraguan, kegamangan, dan keluh kesahnya, dia lebih dekat dengan birokrasi Stalinis daripada dengan kaum buruh. Seperti para pengekspos “imoralitas” Bolshevik lainnya, Thomas tidak pernah memiliki moralitas revolusioner.

Tradisi Bolshevisme dan Internasional Keempat

Kaum “Kiri” yang mencoba melompati Bolshevisme dalam perjalanan mereka untuk kembali ke Marxisme pada umumnya membatasi diri mereka pada beberapa panasea yang terisolasi: memboikot parlemen, mendirikan Soviet yang “sejati”. Semua ini masih tampak sangat mendalam di tengah gejolak pada hari-hari pertama setelah perang. Namun sekarang, berdasarkan pengalaman terkini, “penyakit kekanak-kanakan” semacam itu sudah tidak lagi menarik. Gorter dan Pannekoek dari Belanda, kaum “Spartacist” Jerman, kaum Bordigis Italia, menunjukkan kemandirian mereka dari Bolshevisme hanya dengan membesar-besarkan salah satu fiturnya dan mempertentangkannya dengan yang lainnya. Namun, tidak ada yang tersisa baik dalam praktik maupun teori dari tendensi-tendensi “kiri” ini; ini adalah bukti tidak langsung namun penting bahwa Bolshevisme adalah satu-satunya bentuk Marxisme di zaman kita.

Partai Bolshevik telah menunjukkan dalam praktik bagaimana memadukan keberanian revolusioner tertinggi dengan realisme politik. Partai ini telah membangun untuk pertama kalinya ikatan antara kaum pelopor dan kelas proletar, yaitu satu-satunya yang bisa memastikan kemenangan. Partai ini telah membuktikan lewat pengalamannya bahwa aliansi antara kaum proletar dan massa tertindas di pedesaan dan kaum borjuis kecil di perkotaan hanya mungkin terbangun dengan menggulingkan secara politik partai-partai borjuis-kecil tradisional. Partai Bolshevik telah menunjukkan kepada seluruh dunia bagaimana melakukan pemberontakan bersenjata dan merebut kekuasaan. Mereka yang mengusulkan untuk secara abstrak memisahkan Soviet dari kediktatoran partai harus memahami bahwa hanya berkat kediktatoran partai, Soviet mampu mengangkat diri mereka dari lumpur reformisme dan mencapai bentuk negara proletariat. Selama perang sipil, Partai Bolshevik berhasil memadukan secara tepat seni militer dan politik Marxis. Bahkan bila birokrasi Stalinis berhasil menghancurkan fondasi ekonomi masyarakat baru ini, pengalaman ekonomi terencana di bawah kepemimpinan partai Bolshevik akan tercatat dalam sejarah untuk selama-lamanya sebagai salah satu pelajaran terbesar bagi umat manusia. Ini dapat diabaikan hanya oleh kaum sektarian yang, karena tersinggung oleh pukulan yang mereka terima, memalingkan muka dari proses sejarah.

Namun, bukan itu saja. Partai Bolshevik mampu melakukan pekerjaan “praktis”-nya yang luar biasa itu hanya karena mereka menerangi semua langkahnya dengan teori. Bolshevisme tidak menciptakan teori ini. Teori ini disediakan oleh Marxisme. Tetapi Marxisme adalah teori mengenai gerak, bukan stagnasi. Hanya peristiwa-peristiwa dalam skala historis yang luar biasa besar yang dapat memperkaya teori Marxisme. Bolshevisme memberikan kontribusi yang tak ternilai bagi Marxisme dalam analisisnya mengenai era imperialis sebagai era perang dan revolusi; mengenai demokrasi borjuis di era kapitalisme yang membusuk; mengenai korelasi antara pemogokan umum dan insureksi; mengenai peran partai, soviet, dan serikat buruh di periode revolusi proletar; mengenai teori negara Soviet, mengenai ekonomi pada masa transisi, mengenai fasisme dan Bonapartisme di era kemunduran kapitalisme; dan akhirnya mengenai degenerasi partai Bolshevik itu sendiri dan negara Soviet. Coba sebut tendensi mana yang telah menambahkan sesuatu yang esensial pada kesimpulan-kesimpulan dan generalisasi-generalisasi yang telah dicapai oleh Bolshevisme. Secara teoritis dan politik, Vandervilde, De Brouckere, Hilferding, Otto Bauer, Leon Blum, Zyromski, belum lagi Major Attlee dan Norman Thomas, hidup dari sisa-sisa masa lalu yang sudah usang.

Degenerasi Komintern terekspresikan secara brutal dalam kenyataan bahwa secara teoretis Komintern telah terjungkal ke tingkat Internasional Kedua. Organisasi-organisasi lainnya yang berada di antara Internasional Kedua dan Ketiga (misalnya Independent Labour Party of Great Britain, POUM, dan sejenisnya) setiap minggunya secara serampangan mengadopsi fragmen-fragmen ajaran Marx dan Lenin agar sesuai dengan kebutuhan mereka saat itu. Kaum buruh tidak bisa belajar apapun dari orang-orang ini.

Hanya para pendiri Internasional Keempat, yang telah menyerap seluruh tradisi Marx dan Lenin, yang mengambil sikap serius terhadap teori. Kaum filistin mungkin mengejek kami, bahwa 20 tahun setelah kemenangan Oktober kaum revolusioner terlempar kembali ke tahapan kerja persiapan propaganda yang sederhana. Kaum borjuis besar, dalam masalah ini dan juga dalam banyak masalah lainnya, jauh lebih tajam daripada kaum borjuis kecil yang membayangkan diri mereka sebagai “sosialis” atau “komunis”. Bukan kebetulan bahwa berita mengenai Internasional Keempat tidak pernah luput dari kolom-kolom pers dunia. Kebutuhan historis yang membara akan kepemimpinan revolusioner menjanjikan tempo pertumbuhan yang luar biasa cepat bagi Internasional Keempat. Jaminan terbesar untuk kesuksesan selanjutnya terletak pada fakta bahwa ia tidak terbentuk di luar alur besar sejarah, tetapi secara organik tumbuh dari Bolshevisme.


Keterangan:

[1] Georgi Dimitrov (1882-1949) adalah pengikut Stalin yang setia, ketua Partai Komunis Bulgaria, dan Sekjen Komintern dari 1934 hingga 1943.

[2] Pengadilan Moskow adalah serangkaian pengadilan rekayasa yang diorkestra oleh birokrasi Stalinis pada 1936-1938, di mana hampir seluruh generasi Bolshevik Tua dan kamerad-kamerad lama Lenin dieksekusi dengan tuduhan kejahatan “Trotskisme”. Mereka difitnah sebagai agen Hitler, agen fasisme Jepang, teroris, saboteur, dsb. Selama periode tersebut, puluhan ribu kaum Oposisi Kiri lainnya juga dieksekusi di kamp-kamp konsentrasi.

[3] Ini merujuk periode reaksi menyusul Hari-hari Juli. Setelah ditumpasnya demonstrasi buruh dan tentara di Petrograd pada 3-7 Juli 1917, Kerensky sebagai perdana menteri pemerintahan provisional merepresi partai Bolshevik dan menangkapi para pemimpinnya dengan tuduhan bahwa mereka adalah agen Jerman. Sebuah kampanye fitnah besar-besaran diluncurkan oleh pemerintahan provisional, kelas penguasa, serta pers kapitalis untuk mencap kaum Bolshevik sebagai agen Jerman.

[4] Ini merujuk pada New Economic Policy (NEP) pada 1921 yang memperbolehkan petani untuk menjual gandumnya di pasar bebas. Ini menggantikan kebijakan rekuisisi atau penyitaan gandum yang sebelumnya diterapkan selama Perang Sipi pada 1918-1921.

[5] Kebijakan Ekonomi Baru, atau New Economic Policy, adalah kebijakan ekonomi yang diambil oleh Uni Soviet setelah perang sipil yang menghancurkan sendi-sendi ekonomi. Kebijakan ini disahkan pada tahun 1921 di Kongres Partai Komunis Kesepuluh untuk menggantikan kebijakan Komunisme Militer. Melihat kehancuran ekonomi akibat Perang Sipil, Partai Bolshevik menganjurkan NEP sebagai kebijakan sementara untuk memperbolehkan pasar bebas, terutama dalam perdagangan gandum sebagai konsesi kepada petani.

[6] Thermidor adalah istilah yang digunakan Trotsky untuk merujuk pada kasta birokrasi Soviet yang mengkhianati Revolusi Oktober. Secara lebih umum, Thermidor menandai periode di mana rakyat mulai letih dan elemen-elemen yang lebih konservatif dan birokratik mengambil alih kendali revolusi. Istilah Thermidor diambil dari kontra-revolusi yang terjadi menyusul Revolusi Prancis 1789. Pada 27 Juli 1794 (atau tanggal 9 Thermidor), pemerintahan Jacobin yang revolusioner digulingkan oleh elemen konservatif, yang berakhir dengan bangkitnya Napoleon Bonaparte sebagai kaisar pada 1799.

[7] Partai Kadet atau Konstitusional Demokrat adalah partai borjuis liberal di Rusia.

[8] V.I. Lenin. “Eleventh Congress of the R.C.P.(B.), March 27-April 2, 1922. Political Report of the C.C., R.C.P.(B.), March 27.” Lenin Collected Works, Vol. 33. Progress Publishers, Moscow, 1973. hal. 287.

[9] Ibid., hal. 288.

[10] Selama Revolusi Spanyol (1936-1939), para pemimpin anarkis CNT berulang kali memiliki peluang untuk mengambil kekuasaan, namun mereka menolaknya karena doktrin anarkis mereka. Tetapi, setelah pemerintahan Republikan front popular terbentuk, mereka bergabung ke dalamnya dan menduduki empat posisi kementerian dalam negara borjuis ini.

[11] Eduard Bernstein (1850-1932) adalah teoretikus sosial demokrasi Jerman yang terkemuka dan bapak revisionisme. Dialah yang menyediakan kerangka teori bagi reformisme, dengan merevisi ajaran Marxisme dan mengajarkan bahwa sosialisme dapat terwujud tanpa revolusi, dan dapat dicapai secara bertahap. Rosa Luxemburg membantah argumen Bernstein dalam karyanya yang terkenal itu, Reform or Revolution?

[12] GPU adalah badan polisi rahasia Uni Soviet, yang dikemudian hari dikenal dengan nama KGB yang terkenal itu. Badan kepolisian rahasia ini adalah alat represi utama Stalin untuk membungkam oposisi politik, terutama Oposisi Kirinya Trotsky.