Pelajaran Komune Paris

Leon Trotsky (1921)


Ditulis pada 4 Februari 1921.

Diterbitkan pertama kali di Zlatoost, 4 Februari 1921.

Penerjemah: Ted Sprague (11 November 2011; Revisi 10 September 2023)

Sumber: “Lessons of the Paris Commune”. Trotsky Internet Archive.


Setiap kali kita mempelajari sejarah Komune Paris, kita melihatnya dari sudut pandang baru, berkat pengalaman yang telah kita peroleh dari perjuangan revolusioner sesudahnya dan terutama dari revolusi-revolusi terkini, tidak hanya Revolusi Rusia, tetapi juga Revolusi Jerman [1918-19] dan Hongaria [1919]. Perang Franco-Prusia[1] [1870] adalah sebuah ledakan yang berdarah-darah, pertanda pembantaian besar di dunia. Komune Paris adalah pertanda revolusi proletar dunia.

Komune Paris menunjukkan kepada kita kepahlawanan rakyat pekerja, kapasitas mereka untuk bersatu, kemampuan mereka untuk berkorban demi masa depan, tetapi pada saat yang sama Komune Paris menunjukkan kepada kita ketidakmampuan massa untuk memilih jalan mereka, keragu-raguan mereka dalam memimpin gerakan, kecenderungan fatal mereka untuk berhenti setelah keberhasilan awal, yang oleh karenanya memungkinkan musuhnya untuk mengambil napas dan membangun kembali posisinya.

Komune Paris tiba terlambat. Ia memiliki semua peluang untuk merebut kekuasaan pada 4 September 1870[2] dan ini akan memungkinkan proletariat Paris untuk segera menempatkan diri mereka sebagai pemimpin kaum buruh seluruh Prancis dalam perjuangan mereka melawan semua kekuatan dari masa lalu, melawan Bismarck[3] dan juga Thiers[4]. Tetapi kekuasaan jatuh ke tangan kaum demokrat yang hanya gemar berpidato, para deputi Paris. Proletariat Paris tidak memiliki partai ataupun pemimpin yang telah terikat kuat dengannya lewat perjuangan sebelumnya. Para patriot borjuis kecil, yang mengira diri mereka sosialis dan mencari dukungan buruh, sesungguhnya tidak punya kepercayaan diri. Mereka menggoyahkan kepercayaan diri kaum proletar. Mereka terus mencari para pengacara ternama, jurnalis, deputi, yang tasnya hanya berisi selusin ungkapan revolusioner yang kabur, untuk mempercayakan kepada mereka kepemimpinan gerakan. 

Alasan mengapa Jules Favre, Picard, Garnier-Pagès, dkk.[5] mengambil alih kekuasaan di Paris pada 4 September adalah sama seperti alasan mengapa Paul-Boncour[6], A. Varenne[7], Renaudel[8], dan banyak lainnya dapat untuk sementara menjadi pemimpin partai proletar. Dalam hal simpati, kebiasaan intelektual dan tingkah laku mereka, orang-orang seperti Renaudel dan Boncour, dan bahkan orang-orang seperti Longuet[9] dan Pressemane[10], lebih dekat dengan Jules Favre dan Jules Ferry[11] dibandingkan dengan proletariat revolusioner. Fraseologi sosialisme mereka tidak lain adalah kedok yang memungkinkan mereka untuk memimpin massa. Dan hanya karena Favre, Simon, Picard dan yang lainnya telah menggunakan dan menyalahgunakan fraseologi liberal-demokratis sehingga anak-anak dan cucu-cucu mereka terpaksa menggunakan fraseologi sosialis. Tetapi anak-anak dan cucu-cucu ini adalah seperti ayah mereka dan meneruskan kerja mereka. Dan ketika yang perlu diputuskan bukanlah masalah komposisi kabinet melainkan masalah yang jauh lebih penting, yakni kelas mana di Prancis yang harus mengambil alih kekuasaan, Renaudel, Varenne, Longuet, dan orang-orang seperti mereka akan berada di kampnya Millerand[12] – sang kolaborator Galliffet[13], algojo Komune Paris. Ketika para pembual “revolusioner” di kafe dan parlemen menemukan diri mereka berhadapan dengan revolusi di kehidupan nyata, mereka selalu menyangkalnya.

Partai buruh yang sesungguhnya bukanlah sebuah mesin untuk manuver parlementer. Partai ini merupakan akumulasi pengalaman yang terorganisir dari kaum proletar. Hanya dengan bantuan partai, yang bersandar pada seluruh sejarah masa lalunya, yang secara teoretis dapat meramalkan alur perkembangan perjuangan, semua tahapan-tahapannya, dan yang menyimpulkan darinya formula aksi yang diperlukan, maka kaum proletar dapat membebaskan dirinya dari kutukan selalu mengulang sejarah: keragu-raguannya, kebimbangannya, dan kesalahan-kesalahannya.

Proletariat Paris tidak memiliki partai seperti itu. Kaum sosialis borjuis yang mengerumuni Komune Paris, mengarahkan mata mereka ke langit, menunggu mukjizat atau nubuat, bimbang, dan sementara massa meraba-raba di kegelapan dan menjadi bingung karena kebimbangan dari beberapa orang dan fantasi dari yang lainnya. Sebagai akibatnya, revolusi meledak terlalu terlambat, dan Paris terkepung. Enam bulan berlalu sebelum kaum proletar berhasil mengingat kembali pelajaran dari revolusi-revolusi masa lalu, dari pertempuran-pertempuran sebelumnya, dari pengkhianatan yang berulang kali dilakukan oleh kaum demokrat – dan mereka akhirnya merebut kekuasaan.

Enam bulan ini terbukti menjadi kerugian yang tak dapat diperbaiki. Bila saja ada partai aksi revolusioner yang tersentralisasi, yang memimpin proletariat Prancis pada September 1870, seluruh sejarah Prancis dan dengannya seluruh sejarah manusia akan mengambil arah yang berbeda.

Jika kekuasaan jatuh ke tangan proletariat Paris pada 18 Maret 1871[14], ini bukan karena kekuasaan ini telah direbut dengan sadar, tetapi karena para musuhnya telah hengkang dari Paris.

Rejim borjuis Thiers terus kehilangan dukungan rakyat. Buruh membenci mereka. Kaum borjuis kecil tidak lagi percaya pada rejim ini dan kaum borjuasi besar khawatir bahwa mereka sudah tidak mampu lagi mempertahankan rejim ini. Para serdadu memusuhi para perwira. Pemerintahan Thiers mengungsi dari Paris supaya mereka bisa memusatkan kekuatan mereka di tempat lain. Dan hanya setelah itu proletariat menjadi penguasa.

Tetapi proletariat hanya menyadari ini di esok harinya. Revolusi jatuh ke pangkuan mereka tanpa mereka sadari.

Kemenangan yang pertama membuat rakyat pasif. Musuh telah kabur ke Versailles. Bukankah ini kemenangan? Pada saat itu, seluruh pemerintahan Thiers mestinya dapat diremukkan tanpa menumpahkan darah. Di Paris, semua menteri, dengan Thiers sebagai pemimpinnya, mestinya dapat ditangkap. Tidak ada seorang pun yang akan membela mereka. Tetapi ini tidak dilakukan. Tidak ada organisasi partai yang tersentralisir, yang memiliki wawasan luas dan organ-organ khusus untuk merealisasikan keputusan-keputusannya.

Sisa-sisa pasukan infanteri tidak ingin mundur ke Versailles. Benang yang mengikat para serdadu dengan para perwira sudah hampir putus. Dan bila saja ada partai yang memimpin Paris, beberapa ratus atau beberapa lusin buruh dapat menginfiltrasi pasukan tentara yang mundur, dan buruh-buruh ini dapat diberikan perintah untuk: meningkatkan kekecewaan para serdadu terhadap perwira mereka, mengambil keuntungan psikologis untuk memisahkan para serdadu dari para perwira mereka dan membawa mereka kembali ke Paris untuk bersatu dengan rakyat. Ini dapat dengan mudah dilaksanakan, menurut pengakuan para pendukung Thiers sendiri. Tidak ada yang pernah memikirkan ini. Dan memang tidak ada yang bisa memikirkan ini. Di tengah peristiwa-peristiwa besar yang bergulir, keputusan-keputusan seperti itu hanya dapat diambil oleh sebuah partai revolusioner yang telah mempersiapkan dirinya untuk revolusi, sebuah partai yang tidak kehilangan akal saat revolusi meletus, sebuah partai yang terbiasa memiliki wawasan luas dan tidak takut untuk bertindak.

Sebuah partai aksi adalah satu hal yang tidak dimiliki oleh proletariat Prancis.

Komite Pusat Garda Nasional[15] secara efektif adalah Dewan Perwakilan buruh bersenjata dan borjuis kecil. Dewan semacam ini, yang dipilih secara langsung oleh massa yang telah menempuh jalan revolusioner, merupakan sebuah aparatus aksi yang sangat baik. Tetapi pada saat yang sama, dan persis karena hubungan mendasar dan langsungnya dengan massa yang ada pada tahapan ini, aparatus ini merefleksikan tidak hanya semua sisi kuatnya tetapi juga sisi-sisi lemah massa, dan aparatus ini merefleksikan sisi lemah tersebut lebih daripada sisi kuat. Ia memanifestasikan kebimbangan dan kecenderungan untuk menjadi pasif setelah keberhasilan-keberhasilan awal.

Komite Pusat Garda Nasional harus dipimpin. Diperlukan sebuah organisasi yang mewujudkan pengalaman politik proletariat dan yang selalu hadir tidak hanya di dalam Komite Pusat tetapi juga di legiun-legiun, di batalion-batalion, di lapisan-lapisan terdalam kaum proletar Prancis. Melalui Dewan Perwakilan – dalam kasus ini mereka adalah organ Garda Nasional – partai ini dapat terus berhubungan dengan massa dan mengetahui alam pikiran mereka. Kepemimpinan pusatnya setiap hari dapat menyerukan slogan yang, melalui kader-kader partainya, dapat memenetrasi massa, menyatukan pikiran dan kehendak mereka.

Baru saja pemerintahan Thiers mundur ke Versailles, Garda Nasional bergegas melepaskan tanggung jawabnya, justru pada saat tanggung jawabnya luar biasa besar. Komite Pusat ini membayangkan pemilu Komune yang “legal”. Mereka bernegosiasi dengan walikota-walikota Paris untuk melindungi dirinya dari serangan sayap Kanan dengan argumen “legalitas”.

Bila saja Komite Pusat mempersiapkan serangan ke Versailles pada saat yang sama, maka negosiasi dengan para walikota tersebut adalah tipu muslihat yang sepenuhnya dapat dibenarkan dari sudut pandang militer dan sesuai dengan tujuan. Namun pada kenyataannya, negosiasi ini dilakukan hanya untuk menghindari pertempuran dengan mengharapkan semacam mukjizat. Kaum radikal borjuis-kecil dan kaum sosialis idealis, yang menghormati “legalitas” dan tuan-tuan yang mewakili legalitas ini – yaitu para anggota parlemen, para walikota, dll. – berharap sungguh-sungguh dari lubuk hati mereka yang terdalam bahwa Thiers tidak akan menyerang Paris bila mereka memiliki Komune yang “legal”.

Kepasifan dan kebimbangan juga didukung oleh prinsip federasi dan otonomi yang keramat. Menurut prinsip ini, Paris hanyalah satu komune di antara banyak komune lainnya. Paris tidak ingin memaksakan apapun kepada siapapun; Paris tidak menginginkan kediktaturan, kecuali “kediktaturan teladan”.

Pada akhirnya, ini tidak lain adalah usaha untuk menggantikan revolusi proletarian, yang tengah berkembang, dengan reformasi borjuis-kecil, yakni otonomi komunal. Tugas revolusioner yang sesungguhnya adalah memastikan kaum proletar dapat merebut kekuasaan di seluruh Prancis. Paris harus menjadi basisnya, dukungannya, bentengnya. Dan untuk mencapai ini, Versailles harus segera ditaklukkan tanpa membuang-buang waktu, dan para agitator, organisator, dan tentara harus dikirim ke seluruh penjuru Prancis. Kita harus menjalin komunikasi dengan para simpatisan, meyakinkan orang-orang yang ragu, dan menghancurkan perlawanan musuh. Alih-alih kebijakan ofensif ini, yang merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan situasi, para pemimpin Paris justru berusaha mengisolasi diri mereka dalam otonomi komunal mereka: mereka tidak akan menyerang kota lain bila yang lain juga menyerang mereka; setiap kota punya hak memerintah diri sendiri yang sakral. Omong-kosong idealis ini – yang sama dengan anarkisme – pada kenyataannya menutupi kepengecutan dalam menghadapi aksi revolusioner, yang seharusnya dilaksanakan terus hingga akhir, karena jika tidak revolusi seharusnya tidak boleh dimulai.

Kebencian terhadap organisasi kapitalis – yang merupakan warisan dari lokalisme dan otonomisme borjuis kecil – tak diragukan lagi adalah sisi lemah dari sebagian proletariat Prancis. Otonomi distrik, daerah, batalion, kota, adalah jaminan mutlak atas aktivitas dan kemandirian beberapa kaum revolusionis tertentu. Tetapi ini adalah kesalahan besar yang harus dibayar mahal oleh proletariat Prancis.

Di bawah panji “perjuangan melawan sentralisme yang despotik” dan melawan kedisiplinan yang “mencekik”, sejumlah kelompok dan sub-kelompok kelas buruh bertikai satu sama lain untuk mempertahankan eksistensi dirinya, membela kepentingan remeh-temeh mereka, dengan para pemimpin lokal mereka yang picik. Dengan sebuah aparatus yang tersentralisasi dan tersatukan oleh disiplin baja, seluruh kelas buruh dapat bertindak secara terorganisir dan tegas sembari mempertahankan keunikan budaya dan perbedaan politik mereka; mereka tidak akan tertinggal oleh peristiwa dan dapat mengarahkan kekuatan mereka bersama untuk menghantarkan pukulan mematikan ke titik lemah musuhnya. Tendensi partikularisme, apapun bentuk yang diambilnya, adalah warisan dari masa lalu yang sudah mati. Semakin cepat kaum sosialis, komunis, dan sindikalis Prancis membebaskan dirinya dari tendensi ini, maka akan semakin baik bagi revolusi proletar.

Partai tidak menciptakan revolusi sesuka hatinya. Partai tidak dapat memilih waktu untuk merebut kekuasaan sesuai keinginannya. Namun partai secara aktif mengintervensi peristiwa, dan setiap saat memenetrasi kesadaran massa revolusioner dan mengevaluasi kekuatan perlawanan musuhnya, dan dengan demikian partai menentukan waktu yang paling baik untuk meluncurkan aksi penentuan. Inilah tugas yang paling sulit. Partai tidak memiliki formula yang valid untuk setiap kasus. Yang dibutuhkan adalah teori yang tepat, hubungan yang intim dengan massa, pemahaman situasi, persepsi revolusioner, dan keteguhan hati yang besar. Semakin dalam sebuah partai revolusioner memenetrasi semua medan perjuangan proletar, semakin tersatukan ia oleh kesatuan tujuan dan disiplin, maka semakin cepat dan semakin baik partai ini dalam menyelesaikan tugasnya.

Kesulitannya adalah membentuk organisasi partai yang tersentralisasi ini, yang tersatukan secara internal oleh disiplin baja dan terhubungkan secara intim dengan rakyat, dengan pasang surutnya. Perebutan kekuasaan tidak akan dapat tercapai kecuali di bawah kondisi tekanan revolusioner yang kuat dari rakyat pekerja. Tetapi dalam aksi ini, elemen persiapan adalah sesuatu yang tak terelakkan. Semakin baik partai dalam memahami situasi dan momen, maka semakin baik persiapan basis perlawanannya, maka semakin baik distribusi kekuatan dan peran-perannya, maka semakin terjamin keberhasilannya dan semakin sedikit korban yang akan jatuh. Korelasi antara aksi yang disiapkan secara seksama dan gerakan massa adalah tugas politik-strategis dalam perebutan kekuasaan.

Perbandingan antara 18 Maret, 1871, dengan 7 November, 1917, adalah sangat bermanfaat dari sudut pandang ini. Di Paris, inisiatif aksi dari para pemimpin revolusioner sama sekali tidak ada. Kaum proletar, yang dipersenjatai oleh pemerintahan borjuis, pada kenyataannya adalah penguasa kota Paris. Mereka memiliki semua instrumen kekuasaan – meriam dan senapan – di tangan mereka, tetapi mereka tidak menyadarinya. Kaum borjuasi mencoba merebut kembali senjata-senjata ini: mereka ingin mengklaim kembali meriam kaum proletar. Upaya itu gagal. Pemerintah lari kalang kabut dari Paris ke Versailles. Musuh sudah tidak ada. Tetapi baru esok harinya proletariat Paris menyadari bahwa merekalah penguasa Paris. Para “pemimpin” tertinggal di belakang peristiwa; mereka menyadarinya hanya setelah peristiwa sudah terjadi, dan mereka melakukan segalanya untuk menumpulkan ketajaman revolusioner yang ada.

Di Petrograd, perkembangannya berbeda. Partai bergerak dengan pasti dan tegas untuk merebut kekuasaan. Anggota-anggotanya ada dimana-mana, mengkonsolidasikan setiap posisi, memperlebar setiap garis retak antara buruh dan tentara di satu sisi dan pemerintahan di sisi lain.

Demonstrasi bersenjata pada hari-hari Juli[16] adalah rekonaisans luas yang dilakukan partai untuk mengukur kekuatan massa dan musuhnya. Rekonaisans ini berubah menjadi pertempuran untuk merebut pos-pos depan. Kami terpukul mundur, tetapi pada saat yang sama aksi demonstrasi Juli tersebut membangun hubungan antara partai dengan lapisan-lapisan terdalam rakyat. Bulan-bulan Agustus, September, dan Oktober menyaksikan gejolak revolusioner yang besar, yang membuat partai menjadi lebih kuat dan memperkuat titik-titik dukungannya di antara kelas buruh dan garnisun tentara. Kemudian, keharmonisan antara persiapan yang konspiratif dan aksi massa terjadi hampir secara otomatis. Kongres Soviet Kedua ditetapkan pada bulan November. Semua agitasi kami mengarah pada perebutan kekuasaan oleh Kongres Soviet. Oleh karenanya, perebutan kekuasaan telah ditetapkan jauh hari pada 7 November. Fakta ini diketahui dan dipahami dengan baik oleh musuh-musuh kami. Kerensky dan para penasihatnya melakukan segala upaya untuk mengkonsolidasikan diri mereka di Petrograd, betapa pun kecilnya, untuk menghadapi momen penentuan itu. Juga, mereka berusaha mengirim garnisun Petrograd yang paling revolusioner ke garis depan. Kami memanfaatkan upaya Kerensky ini, dengan membuatnya menjadi sumber konflik baru yang penting. Kami secara terbuka menuduh pemerintahan Kerensky – yang mana tuduhan kami lalu menemukan konfirmasinya di dalam sebuah dokumen resmi – telah merencanakan penyingkiran sepertiga garnisun Petrograd bukan demi tujuan militer tetapi demi tujuan kontra-revolusioner. Konflik ini semakin mempererat hubungan kami dengan garnisun Petrograd, dan ini memberi tentara garnisun Petrograd tugas yang jelas: mendukung Kongres Soviet yang direncanakan pada 7 November. Dan karena pemerintah memaksa – walaupun dengan lemah – pengiriman garnisun Petrograd, kami membentuk Komite Perang Revolusioner di Soviet Petrograd – yang sudah ada di tangan kami – dengan dalih untuk memverifikasi alasan militer dari rencana pemerintah tersebut.

Dengan demikian, kami memiliki sebuah organ militer murni, yang memimpin garnisun Petrograd, yang pada kenyataannya adalah sebuah organ pemberontakan senjata yang legal. Pada saat yang sama, kami mengirim komisar-komisar komunis ke semua unit militer, ke semua gudang persenjataan, dll. Organisasi militer bawah tanah memenuhi tugas-tugas teknis yang spesifik dan melengkapi Komite Perang Revolusioner dengan aktivis-aktivis yang dapat dipercaya sepenuhnya untuk tugas-tugas militer penting. Kerja esensial yang berhubungan dengan persiapan dan pelaksanaan pemberontakan bersenjata berlangsung secara terbuka, dan dengan begitu metodis dan wajar sehingga kaum borjuasi, yang dipimpin oleh Kerensky, tidak memahami dengan jelas apa yang tengah terjadi di depan mata mereka. (Di Paris, kaum proletar hanya menyadari esok harinya kalau mereka sudah benar-benar menang – sebuah kemenangan yang tidak mereka raih secara sadar – dan bahwa mereka telah berkuasa. Di Petrograd, justru sebaliknya. Partai kami, yang mendasarkan dirinya pada buruh dan tentara, telah merebut kekuasaan, dan kaum borjuasi melewati malam yang cukup tenang dan baru mengetahui esok paginya bahwa kendali negara sudah ada di tangan penggali liang kuburnya.)

Mengenai strategi, banyak perbedaan pendapat di partai kami.

Sebagian Komite Pusat, seperti yang sudah diketahui, menentang perebutan kekuasaan. Mereka percaya saatnya belumlah tiba, bahwa Petrograd masih terpisah dari seluruh Rusia, bahwa kaum proletar masih terpisah dari kaum tani, dsb.

Kamerad-kamerad lain berpendapat bahwa kita tidak cukup memberikan perhatian pada elemen plot militer. Salah satu anggota Komite Pusat menuntut pengepungan Teater Alexandrine pada bulan Oktober ketika Konferensi Demokratik sedang berlangsung, dan memproklamirkan kediktaturan Komite Pusat partai kita. Dia mengatakan: dengan memusatkan agitasi kita dan juga persiapan militer kita untuk Kongres Soviet Kedua, kita mengekspos rencana kita kepada musuh dan memberi mereka peluang untuk mempersiapkan diri mereka dan bahkan menyerang kita terlebih dahulu. Tetapi tidak diragukan kalau upaya plot militer dan pengepungan Teater Alexandrine akan menjadi fakta yang terlalu asing bagi perkembangan peristiwa, sehingga akan menjadi peristiwa yang meresahkan massa. Bahkan di Soviet Petrograd, di mana faksi kami mendominasi, upaya seperti itu akan menimbulkan keresahan besar saat itu, terutama di antara garnisun yang masih ragu dan resimen-resimen yang belum sepenuhnya percaya kepada kami, terutama resimen kavaleri. Akan jauh lebih mudah bagi Kerensky untuk menghancurkan plot militer yang tidak diduga oleh rakyat daripada menyerang garnisun yang sedang mengkonsolidasikan posisinya: untuk mempertahankan dirinya atas nama Kongres Soviet. Oleh karenanya mayoritas Komite Pusat menolak rencana pengepungan Konferensi Demokratik, dan keputusan itu benar. Partai menilai situasi dengan sangat baik. Pemberontakan bersenjata, yang berlangsung hampir tanpa pertumpahan darah, berhasil pada hari itu juga, yang sudah ditentukan jauh hari dan secara terbuka pada hari penyelenggaraan Kongres Soviet Kedua.

Akan tetapi, strategi ini tidak boleh dijadikan aturan umum. Ini membutuhkan kondisi-kondisi tertentu. Tidak ada lagi yang percaya pada perang melawan Jerman, dan para serdadu yang kurang revolusioner tidak ingin meninggalkan Petrograd untuk berangkat ke garis depan. Dan bahkan bila garnisun secara keseluruhan ada di pihak buruh karena satu alasan ini, ia menjadi lebih kuat ketika rencana Kerensky terungkap. Tetapi mood garnisun Petrograd memiliki penyebab yang lebih dalam, yakni dalam situasi kelas tani dan perkembangan perang imperialis. Seandainya terjadi perpecahan dalam garnisun dan Kerensky memperoleh dukungan dari beberapa resimen, rencana kami akan gagal. Elemen-elemen plot militer murni (konspirasi dan kecepatan beraksi) akan menang. Tentu saja kita harus memilih momen lain untuk pemberontakan.

Komune Paris juga memiliki peluang besar untuk memenangkan resimen-resimen tani, karena mereka telah kehilangan semua kepercayaan dan rasa hormat pada kepemimpinan militer. Namun Komune Paris tidak melakukan apapun. Kesalahan di sini terletak bukan di dalam hubungan antara kelas tani dan kelas buruh, tetapi dalam strategi revolusioner.

Dalam hal ini, bagaimana situasi di negara-negara Eropa pada epos sekarang ini? Tidaklah mudah untuk meramal apapun mengenai hal ini. Namun, dengan peristiwa-peristiwa yang berkembang lambat dan pemerintah-pemerintah borjuis mengerahkan semua kekuatannya untuk memanfaatkan pengalaman masa lalu, kita dapat memperkirakan bahwa kaum proletar, guna menarik simpati para serdadu, harus menghadapi perlawanan yang sengit dan sangat terorganisir. Diperlukan serangan yang cerdik dan tepat waktu dari kubu revolusi. Tugas partai adalah mempersiapkan dirinya untuk itu. Inilah mengapa partai harus mempertahankan dan mengembangkan karakternya sebagai organisasi yang tersentralisasi, yang secara terbuka memandu gerakan revolusioner massa dan pada saat yang sama merupakan aparatus pemberontakan bersenjata yang klandestin.

Masalah pemilihan kepemimpinan militer adalah salah satu penyebab konflik antara Garda Nasional dan Thiers. Paris menolak menerima kepemimpinan militer yang ditunjuk oleh Thiers. Varlin lalu merumuskan tuntutan agar kepemimpinan Garda Nasional, dari atas hingga bawah, harus dipilih oleh serdadu sendiri. Dari sinilah Komite Pusat Garda Nasional mendapatkan dukungannya.

Permasalahan ini harus dipandang dari dua sisi: dari sisi politik dan militer, yang saling bertautan tetapi harus dibedakan. Tugas politik adalah membersihkan Garda Nasional dari komando militer yang konter revolusioner. Pemilihan adalah satu-satunya cara untuk mencapai tujuan ini, karena mayoritas serdadu Garda Nasional terdiri dari kaum buruh dan kaum borjuis-kecil revolusioner. Dan selain itu, dengan moto “pemilihan komando” yang juga diperluas ke infanteri, dengan satu pukulan Thiers akan kehilangan senjata pentingnya: para perwira konter-revolusioner. Untuk merealisasikan rencana ini, dibutuhkan sebuah partai, dengan anggota-anggota yang tersebar di semua unit militer. Dalam kata lain, pemilihan dalam hal ini memiliki tugas utama bukan untuk menyediakan komandan yang baik bagi batalion-batalion ini, tetapi untuk membebaskan batalion-batalion ini dari para komandan yang setia pada borjuasi. Pemilihan berfungsi sebagai tuas untuk memecah angkatan bersenjata di sepanjang garis kelas. Inilah yang terjadi pada masa Kerensky, terutama menjelang Revolusi Oktober.

Tetapi membebaskan angkatan bersenjata dari aparatus kepemimpinan yang lama niscaya melemahkan kohesi organisasi dan kekuatan tempur. Umumnya, para komandan yang terpilih cukup lemah dalam hal teknik militer dan dalam hal menjaga ketertiban dan disiplin. Oleh karenanya, ketika para serdadu membebaskan dirinya dari kepemimpinan militer kontra-revolusioner lama yang menindasnya, kita dihadapkan dengan problem bagaimana memberinya kepemimpinan revolusioner yang mampu memenuhi misinya. Dan problem ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan pemilihan sederhana. Sebelum massa tentara luas bisa memperoleh pengalaman untuk memilih komandan dengan baik, revolusi ini akan dihancurkan oleh musuh yang dapat menunjuk komandannya berdasarkan pengalaman berabad-abad. Metode demokrasi tak-berbentuk (pemilihan sederhana) harus disertai dan pada tingkatan tertentu digantikan dengan kebijakan seleksi dari atas. Revolusi harus menciptakan sebuah organisasi yang berisikan para organisator yang berpengalaman dan dapat diandalkan dan dipercaya sepenuhnya, dan memberinya otoritas penuh untuk mengangkat, menunjuk, dan melatih kepemimpinan militer. Bila partikularisme dan otonomisme demokratis sangat berbahaya bagi revolusi proletar secara umum, maka mereka bahkan sepuluh kali lebih berbahaya dalam angkatan bersenjata. Kita sudah saksikan ini dalam pengalaman tragis Komune Paris.

Komite Pusat Garda Nasional memperoleh otoritasnya dari pemilihan demokratis. Ketika Komite Pusat perlu mengembangkan secara maksimal inisiatif ofensifnya, karena tidak ada kepemimpinan partai proletar, mereka kebingungan, dan terburu-buru mentransfer otoritasnya ke para perwakilan Komune yang membutuhkan basis demokratis yang lebih luas. Bermain-main dengan pemilu pada periode tersebut adalah sebuah kesalahan besar. Tetapi setelah pemilu telah terlaksana dan Komune Paris terbentuk, kita harus langsung memusatkan semua yang ada ke Komune ini dan memberinya tugas untuk membentuk sebuah organ yang memiliki wewenang untuk mereorganisasi Garda Nasional. Tetapi ini tidak dilakukan. Di sisi Komune yang terpilih masih ada Komite Pusat Garda Nasional; yang karena terpilih juga memiliki otoritas politik, yang membuatnya mampu bersaing dengan Komune. Tetapi, pada saat yang sama, ini juga melemahkan energi dan ketegasan yang diperlukan dalam perkara militer. Pemilihan dan metode-metode demokratik hanyalah salah satu instrumen di tangan proletariat dan partainya. Pemilihan tidak boleh menjadi fetis dan obat mujarab untuk semua penyakit. Metode pemilihan harus dikombinasikan dengan metode penunjukan. Kekuasaan Komune datang dari Garda Nasional yang terpilih. Tetapi setelah terbentuk, Komune harus mengorganisasi ulang Garda Nasional dengan tangan besi, dari atas hingga bawah, memberinya pemimpin-pemimpin yang dapat diandalkan dan membentuk sistem kedisiplinan yang sangat ketat. Akan tetapi Komune Paris tidak melakukan ini, karena dirinya sendiri tidak memiliki sentra kepemimpinan revolusioner yang kuat. Komune Paris akhirnya takluk.

Kita dapat membaca seluruh sejarah Komune Paris, lembar demi lembar, dan kita akan menemukan di dalamnya satu pelajaran: dibutuhkan kepemimpinan partai yang kuat. Lebih dari proletariat mana pun, proletariat Prancis telah berkorban demi revolusi. Tetapi mereka juga telah tertipu jauh lebih dari proletariat mana pun. Berulang kali kaum borjuasi membuat mereka terpesona dengan warna-warni republikanisme, radikalisme, sosialisme, supaya bisa membelenggu mereka ke kapitalisme. Melalui agen-agennya, para pengacaranya dan para jurnalisnya, kaum borjuasi telah mengajukan formula-formula demokratik, parlementerisme, dan otonomi yang tidak lain adalah rantai yang mengikat kaki kaum proletar, yang mencegahnya untuk melangkah maju.

Temperamen kaum proletar Prancis adalah temperamen lava revolusioner. Tetapi lava ini sekarang terkubur oleh abu skeptisisme akibat penipuan dan kekecewaan yang terlampau banyak. Juga, kaum proletar revolusioner Prancis harus lebih keras terhadap partai mereka dan dengan lebih kejam membongkar semua ketidaksesuaian antara ucapan dan tindakan. Kaum buruh Prancis membutuhkan sebuah organisasi sekuat baja, dengan pemimpin-pemimpin yang dikendalikan oleh massa di setiap tahapan gerakan revolusioner.

Berapa banyak waktu yang akan diberikan oleh sejarah kepada kita untuk mempersiapkan diri kita? Kita tidak tahu. Selama lima puluh tahun borjuasi Prancis telah mempertahankan kekuasaan di tangannya setelah memilih Republik Ketiga di atas tulang belulang kaum Komunard. Para pejuang 1871 ini tidak kekurangan semangat kepahlawanan. Yang tidak mereka miliki adalah metode yang jelas dan organisasi kepemimpinan yang terpusat. Inilah mengapa mereka kalah. Setengah abad berlalu sebelum kaum proletar Prancis dapat mengedepankan masalah membalas dendam kematian kaum Komunard. Tetapi kali ini, aksinya akan lebih tegas, lebih terkonsentrasi. Penerus Thiers harus membayar penuh hutang sejarahnya.


Catatan Kaki

[1] Perang Franco-Prusia adalah konflik antara Kerajaan Prancis Kedua dan Kerajaan Prusia pada 1870. Setelah Prancis kalah dalam peperangan ini, rakyat Prancis bangkit memberontak dan lahirnya peristiwa bersejarah Komune Paris 1871.

[2] Pada 4 September 1870, Kerajaan Prancis ditumbangkan oleh pemberontakan massa dan Republik Ketiga Prancis diproklamirkan. Alih-alih massa yang berkuasa, kekuasaan jatuh ke tangan politisi borjuis liberal.

[3] Otto von Bismarck (1815-1898) adalah Kanselir Prusia yang mendominasi Jerman dan Eropa sejak 1860an, terutama lewat kepemimpinannya dalam mengobarkan serangkaian perang yang menyatukan Jerman.

[4] Adolphe Thiers (1797-1877) adalah Presiden Republik Ketiga Prancis dari 1871-73. Pada saat Komune Paris, dialah yang memimpin penumpasan pemberontakan Komune Paris dan memerintahkan pembantaian lebih dari 80 ribu rakyat pekerja Paris.

[5] Jules Favre (1809-1880) adalah politisi borjuis liberal dan pengacara dari Prancis. Dia memasuki pemerintahan Republik Ketiga sebagai wakil presiden dan menteri luar negeri.

Ernest Picard (1821-1877) adalah politisi borjuis liberal dan pengacara dari Prancis. Saat Kerajaan Prancis tumbang dan digantikan oleh Republik Ketiga pada 4 September 1870, dia memasuki kementerian keuangan. Setelah ditumpasnya Komune Paris, dia menjadi Menteri Dalam Negeri dalam kabinet Adolph Thiers.

Louis-Antoine Garnier-Pagès (1803-1878) adalah politisi liberal dari Prancis dan anggota Pemerintahan Republik Ketiga dari 1870-71.

[6] Joseph Paul-Boncour (1873-1972) adalah politisi sosial-demokrat dan salah satu pemimpin partai sosialis Prancis, Section Française de l'Internationale Ouvrière (SFIO).

[7] Jean Varenne (1877-1927) adalah politisi reformis, anggota partai sosialis Prancis, Section Française de l'Internationale Ouvrière (SFIO).

[8] Pierre Renaudel (1871-1935) adalah pemimpin partai sosialis Prancis, Section Française de l'Internationale Ouvrière (SFIO). Ia adalah seorang sosial-demokrat reformis yang menentang gagasan revolusi dan Marxisme. Selama Perang Dunia Pertama, yang didukungnya, dia menjabat sebagai anggota parlemen dari 1914-1919.

[9] Jean-Paul Longuet (1876-1938) adalah seorang jurnalis dan pengacara, yang aktif dengan partai sosial Prancis (SFIO). Dia adalah cucu Karl Marx. Dia adalah seorang reformis dan sentris. Selama Perang Dunia Pertama, dia mengambil posisi pasifis tetapi juga mendukung anggaran perang. Ketika SFIO pecah pada 1920, dengan sayap mayoritas menjadi Partai Komunis Prancis (PCF), Longuet berpihak pada sayap sosial demokrat.

[10] Adrien Pressemane (1879-1929) adalah politisi dan jurnalis sosialis, anggota partai sosialis Prancis (SFIO). Selama perang dunia pertama, dia memegang posisi pasifis dan sentris. Saat SFIO pecah pada 1920, dia berpihak ke sayap reformis, sementara sayap komunis membentuk Partai Komunis Prancis.

[11] Jules Ferry (1832-1893) adalah seorang politisi borjuis moderat, menjabat sebagai perdana menteri Prancis pada 1880-81 dan 1883-85.

[12] Alexandre Millerand (1859-1943) adalah Presiden Prancis dari 1920-1924. Di masa mudanya dia adalah sosialis; kemudian dia bergeser ke kanan dan akhirnya menjadi politisi borjuis. Pada 1899, Millerand memasuki kabinet pemerintahan borjuis sebagai menteri perdagangan, yang menciptakan kontroversi karena kabinet tersebut juga melibatkan Gaston Galliffet, sang pembantai Komune Paris. Dia menjabat sebagai menteri pertahanan pada 1914-15 selama perang dunia pertama.

[13] Gaston Galliffet (1830-1909) adalah seorang Jendral Prancis, yang menjadi komandan resimen tentara yang merepresi dan membantai kaum Komunard Paris 1871. Karena kekejamannya, dia dijuluki Fusilleur de la Commune (sang algojo Komune).

[14] Pada 18 Maret 1871, Thiers memerintahkan tentaranya untuk menyita meriam-meriam yang dimiliki oleh Garda Nasional. Tentara Thiers yang moralnya sudah rendah justru menyebrang ke sisi Garda Nasional yang lalu memberontak. Thiers segera mengevakuasikan pemerintahannya ke Versailles, dan secara efektif Komite Pusat Garda Nasional menjadi pemerintah di kota Paris.

[15] Garda Nasional atau La Garde Nationale adalah milisi bersenjata yang dibentuk oleh rakyat Paris yang mengangkat senjata pada saat Komune Paris. Unit-unit milisi ini memilih perwira-perwira mereka secara demokratik.

[16] Pada Juli 1917, kaum buruh dan tentara Petrograd melakukan demonstrasi besar untuk menumbangkan Pemerintahan Provisional. Namun mereka belumlah siap dan demonstrasi ini mengalami kegagalan dan kaum Bolshevik diserang dan partainya dilarang. Namun kemunduran ini tidak berlangsung lama. Pada bulan September kaum Bolshevik dapat bangkit kembali dan merebut kekuasaan pada Oktober 1917.