Mengapa Kaum Marxis Menentang Terorisme Individual

Leon Trotsky (1909)


Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Jerman di majalah teori bulanan Partai Sosial Demokrasi Austria, Der Kampf, pada November 1911.

Penerjemah: Ted Sprague (Februari 2007; Revisi 15 Juni, 2024)

Sumber: Why Marxists Oppose Individual Terrorism. Trotsky Internet Archive


Musuh-musuh kelas kita punya kebiasaan mengeluh tentang terorisme kita. Yang mereka maksud dengan ini agak kurang jelas. Mereka ingin mencap semua aktivitas kaum proletar yang ditujukan untuk melawan kepentingan musuh kelasnya sebagai terorisme. Pemogokan, di mata mereka, adalah metode utama terorisme. Ancaman pemogokan, pengorganisasian piket mogok, boikot ekonomi terhadap para majikan, boikot moral terhadap pengkhianat dari barisan kita sendiri – semua ini dan masih banyak lagi mereka sebut terorisme. Jika terorisme dipahami sebagai setiap tindakan yang menimbulkan ketakutan, atau melukai musuh, maka tentu saja seluruh perjuangan kelas tidak lain adalah terorisme. Dan satu-satunya pertanyaan yang tersisa adalah apakah para politisi borjuis punya hak untuk menumpahkan kecaman moral mereka terhadap terorisme proletar ketika seluruh aparatus negara mereka dengan hukum, polisi, dan tentaranya tidak lain adalah aparatus teror kapitalis!

Namun, harus dikatakan bahwa ketika mereka mengecam kita dengan tuduhan terorisme, mereka mencoba – meskipun tidak selalu secara sadar – memberi kata tersebut makna yang lebih sempit dan tidak langsung. Perusakan mesin oleh buruh, misalnya, adalah terorisme dalam makna yang sempit ini. Pembunuhan seorang majikan, ancaman untuk membakar pabrik atau ancaman pembunuhan terhadap pemiliknya, upaya pembunuhan terhadap seorang menteri – semua ini adalah aksi terorisme dalam makna yang sesungguhnya. Akan tetapi, siapapun yang memahami karakter sejati Sosial Demokrasi internasional haruslah tahu bahwa Sosial Demokrasi selalu menentang terorisme semacam ini dan menentangnya dengan tanpa kompromi.

Mengapa?

‘Meneror’ dengan ancaman mogok kerja, atau benar-benar melakukan mogok kerja adalah sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh buruh industri. Signifikansi sosial dari sebuah pemogokan tergantung pada, pertama, seberapa besar pabrik atau cabang industri yang terdampak olehnya, dan kedua, sejauh mana para buruh yang terlibat itu terorganisir, disiplin, dan siap untuk beraksi. Ini berlaku juga untuk pemogokan politik, seperti halnya pemogokan ekonomi. Pemogokan selalu menjadi metode perjuangan yang mengalir secara langsung dari peran produksi kaum proletar dalam masyarakat modern.

Mengecilkan peran massa

Untuk berkembang, sistem kapitalis membutuhkan suprastruktur parlementer. Tetapi karena sistem ini tidak dapat secara politik mengisolasi kaum proletar modern, maka cepat atau lambat, sistem ini harus mengizinkan kaum buruh untuk berpartisipasi di dalam parlemen. Dalam pemilihan umum, karakter massa kaum proletar dan tingkat perkembangan politiknya – yang sekali lagi, ditentukan oleh peran sosialnya, terutama, perannya dalam produksi – menemukan ekspresinya.

Seperti halnya dalam pemogokan, metode, tujuan, dan hasil perjuangan dalam pemilu selalu bergantung pada peran sosial dan kekuatan kaum proletar sebagai sebuah kelas. Hanya kaum buruh yang dapat melakukan pemogokan. Para pengrajin yang dihancurkan oleh pabrik, para petani yang airnya diracuni oleh pabrik, atau kaum lumpenproletar yang ingin menjarah dapat merusak mesin, membakar pabrik, atau membunuh pemiliknya.

Hanya kelas buruh yang sadar dan terorganisir yang dapat mengirim perwakilan yang kuat ke dalam parlemen untuk membela kepentingan proletar. Namun, untuk membunuh seorang pejabat ternama, Anda tidak perlu memiliki massa yang terorganisir di belakang Anda. Resep untuk membuat bom dapat diakses oleh semua orang, dan senapan Browning dapat diperoleh di mana saja. Dalam kasus pertama, ada perjuangan sosial, yang metode dan caranya mesti mengalir dari karakter tatanan sosial yang ada; dan dalam kasus kedua, reaksi yang murni mekanis, yang sama persis di mana saja – baik di Cina maupun di Prancis – yang sangat mencolok dalam penampilan luarnya (pembunuhan, pemboman, dan lain-lain) tetapi sama sekali tidak berbahaya sejauh menyangkut sistem sosial yang berkuasa.

Pemogokan, bahkan dalam skala kecil sekalipun, memiliki konsekuensi sosial: penguatan kepercayaan diri buruh, pertumbuhan serikat buruh, dan bahkan tidak jarang kemajuan teknologi produksi. Pembunuhan seorang pemilik pabrik hanya menghasilkan dampak pada polisi, atau pergantian pemilik pabrik tanpa signifikansi sosial sama sekali. Apakah sebuah upaya teroris, bahkan yang ‘berhasil’ sekalipun, membuat kelas penguasa kelimpungan akan tergantung pada situasi politik yang konkret. Bagaimanapun juga, kelimpungan ini hanyalah sementara dan singkat; negara kapitalis tidak mendasarkan dirinya pada para menteri dan tidak dapat dihancurkan dengan membunuhi mereka. Kelas-kelas yang dilayaninya akan selalu menemukan orang-orang baru; mekanismenya akan tetap utuh dan terus berfungsi.

Tetapi kekacauan yang disebabkan oleh aksi terorisme di dalam barisan massa buruh jauh lebih dalam. Jika mempersenjatai diri dengan pistol saja sudah cukup untuk mencapai tujuan kita, apa gunanya perjuangan kelas? Jika sedikit mesiu dan sebongkah timah sudah cukup untuk menembus leher musuh, apa gunanya organisasi kelas? Jika cukup menakut-nakuti para pejabat penting dengan gemuruh ledakan bom, apa gunanya partai? Untuk apa rapat, agitasi massa dan pemilu bila seseorang dapat dengan mudah membidik bangku menteri dari galeri parlemen?

Di mata kami, teror individual tidak dapat diterima karena dia mengecilkan peran massa dalam kesadaran mereka sendiri, mendamaikan mereka dengan ketidakberdayaan mereka, dan mengalihkan pandangan dan harapan mereka ke seorang pahlawan dan pembebas yang suatu hari nanti datang dan menuntaskan misinya. Para nabi anarkis ‘propaganda dengan perbuatan’ dapat berdebat sesuka hati mereka tentang pengaruh aksi terorisme yang merangsang massa. Pertimbangan teoritis dan pengalaman politik membuktikan sebaliknya. Semakin ‘efektif’ aksi terorisme, semakin besar dampaknya, semakin mereka mengurangi minat massa untuk mengorganisir diri dan mendidik diri sendiri. Tetapi asap dari kekacauan akan hilang, kepanikan mereda, pengganti menteri yang terbunuh menampilkan dirinya, kehidupan kembali lagi ke rutinitas lama, roda eksploitasi kapitalis berputar seperti sebelumnya; hanya saja represi polisi menjadi semakin kejam dan terbuka. Dan sebagai akibatnya, kekecewaan dan sikap apatis menggantikan harapan yang menyala-nyala dan kegembiraan yang disulut secara artifisial.

Upaya reaksi untuk mengakhiri pemogokan dan gerakan massa buruh umumnya selalu berakhir dengan kegagalan. Masyarakat kapitalis membutuhkan kaum proletar yang aktif, bebas bergerak, dan cerdas; oleh karena itu, mereka tidak dapat memasung tangan dan kaki kaum proletar untuk waktu yang lama. Di sisi lain, ‘propaganda dengan perbuatan’ anarkis telah menunjukkan setiap kali bahwa negara memiliki jauh lebih banyak sarana penghancuran fisik dan represi mekanis dibandingkan dengan kelompok-kelompok teroris.

Bila demikian, bagaimana dengan revolusi? Apakah revolusi menjadi mustahil karena negara memiliki banyak sekali sarana kekerasan? Tidak sama sekali. Karena revolusi bukanlah semata-mata sekumpulan sarana mekanis. Revolusi hanya bisa muncul dari menajamnya perjuangan kelas, dan revolusi hanya bisa menemukan jaminan kemenangannya di dalam fungsi-fungsi sosial kaum proletar. Pemogokan politik massa, pemberontakan bersenjata, penaklukan kekuasaan negara – semua ini ditentukan oleh level perkembangan produksi, perimbangan kekuatan-kekuatan kelas, bobot sosial kaum proletar, dan akhirnya, oleh komposisi sosial tentara, karena angkatan bersenjata adalah faktor yang pada saat revolusi menentukan nasib kekuasaan negara.

Sosial Demokrasi cukup realistis untuk tidak mencoba menghindari revolusi yang sedang berkembang dari kondisi-kondisi historis yang ada; sebaliknya, ia bergerak untuk menyongsong revolusi dengan mata terbuka lebar. Tetapi – berlawanan dengan kaum anarkis dan dalam perjuangan langsung melawan mereka – Sosial Demokrasi menolak semua metode dan cara yang bertujuan memaksa perkembangan masyarakat secara artifisial dan menggantikan kekuatan revolusioner kaum proletar yang belum matang dengan racikan kimia.

Sebelum diangkat menjadi metode perjuangan politik, terorisme muncul dalam bentuk aksi balas dendam individual. Begitu pula di Rusia, negeri klasik terorisme. Pencambukan terhadap tahanan politik mendorong Vera Zasulich untuk mengekspresikan kegeraman publik melalui upaya pembunuhan terhadap Jenderal Trepov. Tindakannya ditiru oleh kaum intelektual revolusioner, yang tidak memiliki dukungan massa. Apa yang saat itu dimulai sebagai aksi balas dendam yang tidak terencana dikembangkan menjadi sebuah sistem yang menyeluruh pada tahun 1879-1981. Gelombang pembunuhan oleh kaum anarkis di Eropa Barat dan Amerika Utara selalu muncul setelah sejumlah kekejaman yang dilakukan oleh pemerintah – penembakan terhadap para pemogok atau eksekusi terhadap lawan-lawan politik. Sumber psikologis terpenting dari terorisme adalah perasaan balas dendam untuk mencari pelampiasan.

Tidak perlu dijelaskan lagi bahwa Sosial Demokrasi tidak memiliki kesamaan dengan kaum moralis yang sudah melacurkan diri mereka, yang dalam menanggapi setiap aksi terorisme selalu membuat pernyataan mengenai ‘nilai absolut’ nyawa manusia. Mereka adalah orang-orang yang sama yang, pada kesempatan lain, atas nama nilai-nilai absolut lainnya – misalnya, martabat bangsa atau prestise kerajaan – siap mendorong jutaan orang ke dalam neraka perang. Hari ini pahlawan nasional mereka adalah menteri yang menjamin kekeramatan kepemilikan pribadi; dan esok hari, ketika para buruh yang menganggur mengepalkan tangan mereka atau mengangkat senjata, mereka akan memulai segala macam omong kosong tentang tidak layaknya kekerasan dalam bentuk apa pun.

Apapun yang dikatakan oleh para kasim dan kaum Farisi tentang moralitas, kita berhak membalas dendam. Kelas buruh tidak boleh tak-acuh pada apa yang sedang terjadi di dunia. Bukan untuk memadamkan hasrat balas dendam kaum proletar yang belum terpenuhi, tetapi sebaliknya untuk membangkitkannya lagi dan lagi, memperdalamnya, dan mengarahkannya ke penyebab sesungguhnya semua ketidakadilan dan kekejian manusia – itulah tugas Sosial Demokrasi.

Bila kita menentang aksi terorisme, itu hanya karena aksi balas dendam individu tidak memuaskan kita. Hutang yang harus kita selesaikan dengan sistem kapitalis terlalu besar untuk diwakili oleh beberapa fungsionaris yang disebut menteri. Untuk belajar mengenali semua kejahatan terhadap umat manusia, semua penghinaan yang diderita oleh jiwa dan raga manusia, yang merupakan ekspresi dari sistem sosial yang ada hari ini, untuk mengarahkan semua energi kita ke dalam perjuangan kolektif melawan sistem ini – dengan cara demikianlah hasrat membara untuk membalas dendam ini dapat menemukan kepuasan moralnya yang tertinggi.