Ketidakacuhan Politik

Karl Marx (1873)


Sumber terjemahan: Karl Marx. “Political Indifferentism”. Marxists Internet Archive.

Penerjemah: Mohamad Zaki Hussein (29 Maret, 2024)


“Kelas pekerja tidak boleh membentuk partai politik untuk diri mereka sendiri; mereka tidak boleh, dengan alasan apa pun, terlibat dalam tindakan politik, karena memerangi negara adalah sama dengan mengakui negara: dan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip abadi. Para pekerja tidak boleh mogok; karena berjuang meningkatkan upah mereka atau mencegah penurunannya adalah seperti mengakui upah: dan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip abadi emansipasi kelas pekerja!

“Jika dalam perjuangan politik melawan negara borjuis, para pekerja hanya berhasil memperoleh konsesi-konsesi, maka mereka bersalah karena berkompromi; dan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip abadi. Karenanya, semua gerakan yang damai, seperti yang suka diikuti oleh para pekerja Inggris dan Amerika dengan kebiasaan buruk mereka, harus dibenci. Para pekerja tidak boleh berjuang untuk penetapan batasan hukum atas jam kerja, karena ini berarti berkompromi dengan para majikan, yang kemudian hanya bisa mengeksploitasi mereka selama sepuluh atau dua belas jam, alih-alih empat belas atau enam belas jam. Mereka bahkan tidak boleh berjuang untuk melarang secara hukum perekrutan anak-anak di bawah umur sepuluh tahun untuk bekerja di pabrik, karena dengan melakukan itu, mereka tidak mengakhiri eksploitasi anak-anak di atas umur sepuluh tahun: mereka, dengan demikian, membuat kompromi baru, yang mengotori kemurnian prinsip-prinsip abadi.

“Bahkan para pekerja seharusnya tidak begitu menginginkan, seperti yang terjadi di Amerika Serikat, kewajiban negara, yang anggarannya membengkak karena apa yang diambil dari kelas pekerja, untuk memberikan pendidikan dasar bagi anak-anak pekerja: karena pendidikan dasar bukanlah pendidikan yang lengkap. Lebih baik laki-laki dan perempuan pekerja tidak bisa membaca atau menulis atau berhitung daripada mereka harus menerima pendidikan dari seorang guru di sebuah sekolah yang dijalankan oleh negara. Jauh lebih baik jika kebodohan dan waktu kerja enam belas jam menurunkan kualitas kelas pekerja daripada melanggar prinsip-prinsip abadi.

“Jika perjuangan politik kelas pekerja menggunakan kekerasan dan jika para pekerja mengganti kediktatoran kelas borjuis dengan kediktatoran revolusioner mereka sendiri, maka mereka bersalah atas kejahatan lèse-principe yang mengerikan; karena, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka yang hina dan duniawi, dan untuk menghancurkan perlawanan kelas borjuis, mereka memberikan negara bentuk yang revolusioner dan transisional, alih-alih meletakkan senjata mereka dan menghapus negara. Para pekerja bahkan tidak boleh membentuk satu serikat tunggal untuk setiap jenis pekerjaan, karena dengan melakukannya, mereka melanggengkan pembagian kerja secara sosial seperti yang mereka temukan dalam masyarakat borjuis; pembagian ini, yang memfragmentasi kelas pekerja, adalah basis sebenarnya dari perbudakan mereka saat ini.

“Singkatnya, para pekerja harus bersedekap dan berhenti membuang-buang waktu dalam gerakan politik dan ekonomi. Gerakan ini tidak akan pernah bisa menghasilkan apa-apa kecuali hasil-hasil jangka pendek. Sebagai orang yang benar-benar religius, mereka harus mencemooh kebutuhan sehari-hari dan meneriakkan dengan suara penuh keyakinan: “Biarkanlah kelas kita disalib, biarkanlah ras kita punah, tetap hendaklah prinsip-prinsip abadi tetap tak ternoda! Sebagai umat Kristen yang saleh, mereka harus mempercayai kata-kata pastor mereka, membenci hal-hal baik di dunia ini dan hanya berpikir tentang pergi ke Surga. Gantikan Surga dengan pembongkaran sosial yang akan terjadi suatu saat di suatu sudut dunia ini, tidak ada yang tahu bagaimana, atau melalui siapa, dan mistifikasinya sama dalam segala aspek.

“Karenanya, untuk mengantisipasi terjadinya pembongkaran sosial yang terkenal ini, kelas pekerja harus berperilaku terhormat, seperti kawanan domba yang makannya berkecukupan; mereka harus membiarkan pemerintah dalam damai, takut dengan polisi, menghormati hukum dan menawarkan diri tanpa keluhan sebagai tumbal.

“Dalam kehidupan praktis sehari-hari, para pekerja harus menjadi pelayan negara yang paling taat; tetapi di hati mereka, mereka harus memprotes keberadaan negara secara energik, dan membuktikan penolakan teoritik mereka yang mendalam atasnya dengan mencari dan membaca risalah-risalah tertulis tentang penghapusan negara; mereka harus lebih menahan diri dengan hati-hati untuk tidak melawan rezim kapitalis, kecuali dengan deklarasi tentang masyarakat masa depan, ketika rezim yang dibenci ini sudah tidak ada lagi!

Tidak dapat dipungkiri, jika nabi-nabi ketidakacuhan politik mengekspresikan diri mereka dengan kejernihan seperti itu, kelas pekerja akan menolak mereka dan marah karena dihina oleh para borjuis doktriner dan tuan-tuan yang turun status ini, yang sangat bodoh atau begitu naif sehingga mencoba mendorong kelas pekerja untuk menolak setiap alat perjuangan yang nyata. Karena semua senjata untuk berjuang harus diambil dari masyarakat sebagaimana adanya, dan kondisi fatal dari perjuangan ini, sialnya, tidak mudah disesuaikan dengan fantasi-fantasi idealistik yang diagungkan oleh para doktor ilmu sosial ini sebagai keilahian, di bawah nama Kebebasan, Otonomi, Anarki.

Meskipun demikian, gerakan kelas pekerja saat ini sangatlah kuat sehingga kaum sektarian filantropis ini tidak berani mengulang untuk perjuangan ekonomi kebenaran-kebenaran agung yang mereka proklamirkan tanpa henti untuk perjuangan politik. Mereka terlalu pengecut untuk tetap menerapkannya pada pemogokan, perserikatan, serikat pekerja berbasis profesi, hukum tenaga kerja perempuan dan anak-anak, hukum pembatasan jam kerja, dll.

Sekarang, mari kita lihat apakah mereka masih bisa dibawa kembali ke tradisi lama yang baik, ke kesederhanaan, itikad baik dan prinsip-prinsip abadi.

Karena kondisi sosial saat itu belum cukup berkembang untuk memungkinkan kelas pekerja membentuk diri mereka sebagai sebuah kelas yang militan, kaum sosialis generasi pertama (Fourier, Owen, Saint-Simon, dll.) niscaya harus membatasi diri mereka pada mimpi-mimpi tentang model masyarakat masa depan dan karenanya terdorong untuk mengutuk segala upaya seperti pemogokan, perserikatan atau gerakan politik yang dilakukan para pekerja untuk memperbaiki nasib mereka. Tetapi, meskipun kita tidak bisa menolak para leluhur sosialisme ini, sama seperti ahli-ahli kimia tidak bisa menolak para alkemis sebagai leluhur mereka, kita setidaknya harus menghindari terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan mereka, yang jika kita melakukannya, tidak bisa dimaafkan.

Namun, di kemudian hari, pada 1839, ketika perjuangan ekonomi dan politik kelas pekerja di Inggris sudah memiliki karakter yang cukup mencolok, Bray, salah satu murid Owen dan salah satu dari sekian banyak orang yang jauh sebelum Proudhon menemukan gagasan mutualisme, menerbitkan sebuah buku yang berjudul Kesalahan Buruh dan Solusi Buruh.

Dalam bab tentang ketidakefektifan dari semua solusi yang dituju oleh perjuangan saat ini, ia melancarkan kritik yang kejam terhadap semua aktivitas, baik politik maupun ekonomi, dari kelas pekerja Inggris, mengutuk gerakan politik, pemogokan, pembatasan jam kerja, pembatasan kerja perempuan dan anak-anak di pabrik, karena semua ini –atau begitulah kata dia- alih-alih mengeluarkan kita dari kondisi masyarakat saat ini, membuat kita tetap berada di sana dan tidak menghasilkan apa-apa kecuali membuat antagonisme yang ada menjadi lebih keras.

Ini membawa kita kepada sang peramal dari para doktor ilmu sosial ini, M. Proudhon. Meskipun sang guru memiliki keberanian untuk menyatakan dirinya dengan tegas menentang semua aktivitas ekonomi (perserikatan, pemogokan, dll.) yang bertentangan dengan teori-teori penebusannya tentang mutualisme, pada saat yang bersamaan melalui tulisan-tulisan dan partisipasi pribadinya, ia mendorong gerakan kelas pekerja, dan murid-muridnya agar tidak menyatakan penentangan mereka secara terbuka. Sudah sejak 1847, ketika karya besar sang guru, Sistem Kontradiksi Ekonomi, baru saja muncul, saya menyanggah sofismenya terhadap gerakan kelas pekerja.[2] Meskipun demikian, setelah loi Ollivier, yang memberikan para pekerja Prancis, dalam bentuk yang sangat terbatas, hak berserikat tertentu, Proudhon kembali ke tuduhannya dalam buku Kapasitas Politik Kelas Pekerja, yang diterbitkan beberapa hari setelah kematiannya.

Ketegasan sang guru begitu sesuai dengan selera kaum borjuis sehingga The Times, pada pemogokan besar para penjahit di London pada 1866, memberikan kehormatan kepada Proudhon dengan menerjemahkan tulisannya dan mengutuk pemogokan itu dengan kata-kata sang guru sendiri. Berikut adalah beberapa kutipannya.

Para penambang Rive-de-Gier melakukan pemogokan; tentara dipanggil untuk membawa mereka kembali ke akal sehat. Proudhon berseru, ‘Pemerintah yang menembak para penambang Rive-de-Gier bertindak memalukan. Tetapi mereka bertindak seperti Brutus di zaman dulu yang terjebak di antara kasih sayang sebagai seorang ayah dan tugas konsulernya: ia perlu mengorbankan putra-putranya untuk menyelamatkan Republik. Brutus tidak ragu-ragu, dan keturunannya tidak berani mengutuknya.’[3] Dalam semua ingatan kaum proletar, tidak ada catatan tentang seorang borjuis yang ragu-ragu mengorbankan para pekerjanya untuk menyelamatkan kepentingannya. Betapa brutusnya kaum borjuis itu!

‘Tidak juga: tidak ada hak untuk berserikat, sama seperti tidak ada hak untuk menipu atau mencuri atau melakukan inses atau perzinaan.’[4] Meskipun demikian, jelas sekali ada hak untuk menjadi bodoh.

Lalu, apa prinsip-prinsip abadi, yang atas namanya sang guru melontarkan dengan keras kutukan mistiknya?

Prinsip abadi pertama: ‘Tingkat upah menentukan harga komoditas.’

Bahkan mereka yang tidak punya pengetahuan ekonomi politik, dan mereka yang tidak menyadari bahwa ekonom besar borjuis, Ricardo, dalam bukunya Prinsip-Prinsip Ekonomi Politik, yang diterbitkan pada 1817, sudah membantah kesalahan yang berlangsung lama ini untuk selamanya, tetap menyadari fakta yang luar biasa bahwa industri Inggris bisa menjual produk-produknya dengan harga jauh lebih rendah dari negara-negara lain, meskipun upah di Inggris relatif lebih tinggi daripada di negara-negara Eropa lainnya.

Prinsip abadi kedua: ‘hukum yang mengesahkan serikat sangat anti-yuridis, anti-ekonomi dan bertentangan dengan tatanan dan masyarakat apa pun.’[5] Singkatnya, ‘bertentangan dengan hak ekonomi persaingan bebas.’

Jika saja sang guru tidak begitu chauvinis, ia mungkin sudah bertanya ke dirinya sendiri, bagaimana mungkin 40 tahun yang lalu, sebuah peraturan hukum yang bertentangan dengan hak ekonomi persaingan bebas, disahkan di Inggris; dan seiring berkembangnya industri, serta bersamanya persaingan bebas, peraturan hukum ini – yang begitu bertentangan dengan tatanan dan masyarakat apa pun – memaksakan dirinya sebagai sebuah kebutuhan bahkan bagi negara borjuis itu sendiri. Dia mungkin akan menemukan bahwa hak ini (dengan H besar) hanya ada di buku Panduan Ekonomi yang ditulis oleh Kakak Beradik Kebodohan dari ekonomi politik borjuis, di dalam mana terdapat mutiara-mutiara seperti ini: ‘Kepemilikan adalah hasil dari kerja (mereka lupa menambahkan, ‘dari kerja orang-orang lain’).

Prinsip abadi ketiga: ‘Karenanya, dengan alasan mengangkat kelas pekerja dari kondisi yang disebut sebagai inferioritas sosial, penting untuk memulainya dengan mengutuk seluruh kelas warga negara, kelas bos, pengusaha, majikan dan borjuis; penting untuk membangkitkan demokrasi pekerja untuk merendahkan dan membenci anggota kelas menengah yang tidak layak ini; penting untuk lebih memilih perang industri dan perdagangan daripada represi hukum, dan antagonisme kelas daripada negara polisi.’[6]

Sang majikan, untuk mencegah kelas pekerja keluar dari apa yang disebut sebagai inferioritas sosialnya, mengutuk serikat yang membentuk kelas pekerja menjadi kelas yang antagonistik terhadap kategori majikan, pengusaha dan borjuis yang terhormat, yang untuk diri mereka tentu lebih menyukai, sama dengan Proudhon, negara polisi daripada antagonisme kelas. Agar kelas yang terhormat ini tidak tersinggung, M. Proudhon yang baik merekomendasikan kepada para pekerja (hingga terwujudnya rezim mutualis, terlepas dari kerugian seriusnya) kebebasan atau persaingan, ‘satu-satunya jaminan’ kita.

Sang guru mengkhotbahkan ketidakacuhan dalam urusan ekonomi –untuk melindungi persaingan atau kebebasan borjuis, satu-satunya jaminan kita. Murid-muridnya mengkhotbahkan ketidakacuhan dalam urusan politik –untuk melindungi kebebasan borjuis, satu-satunya jaminan mereka. Jika umat Kristen awal, yang juga mengkhotbahkan ketidakacuhan politik, memerlukan tangan kaisar untuk mengubah diri mereka dari tertindas menjadi penindas, para nabi ketidakacuhan politik modern tidak meyakini bahwa prinsip-prinsip abadi mereka memaksa diri mereka untuk menjauhi kenikmatan duniawi dan privilese sementara dari masyarakat borjuis. Namun, kita harus mengakui bahwa mereka memperlihatkan stoisisme yang layak bagi para martir Kristen awal dalam mendukung empat belas atau enam belas jam kerja yang membebani para pekerja di pabrik-pabrik.

Catatan Kaki:

[2] P. J. Proudhon, Système des contradictions économiques, ou philosophie de la misère (1846). Ini adalah karya yang ditanggapi oleh Marx dengan bukunya Kemiskinan Filsafat (1847).

[3] De la Capacité politique des class ouvrières, Paris, 1865, hlm. 413. Untuk menempatkan Proudhon dengan benar, ia tidak bermaksud membenarkan tindakan pemerintah Prancis, tetapi mengungkap ‘kontradiksi’ yang dilihatnya sebagai kejahatan yang tak terhindarkan dari tatanan sosial saat ini.

[4] ibid., hlm. 421.

[5] ibid., hlm. 424.

[6] ibid., hlm. 426.