PKI dan ALRI

D.N. Aidit (1963)


Sumber: PKI dan ALRI , Yayasan "Pembaruan", Jakarta, 1963. Scan PDF Booklet "PKI dan ALRI"


Sekedar Pengantar

Brosur PKI dan ALRI (SESKOAL) ini memuat ceramah Menteri/ Wakil ketua MPRS/Ketua CC PKI D.N. Aidit di hadapan para mahasiswa Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (SESKOAL) di Jakarta. Ceramah itu diberikan pada tanggal 16 Juli 1963 dan bertemakan Beberapa Masalah Politik dan Pertahanan

Selain mengupas berbabgai soal pokok Revolusi Indonesia, hubungan pertahanan dengan strategi umum revolusi Indonesia dan hubungan Angkatan Bersenjata dengan Rakyat dalam pelaksanaan pertahanan, penceramah membahas pula masalah penting bagi Negara kita, yaitu konsep negara maritime

Dengan menerbitkan ceramah tersebut kami harapkan dapat memberi sumbangan untuk menjadikan masalah pertahanan masalah seluruh Rakyat Indonesia. Hal ini pasti memperlancar pelaksanaan Ketetapan MPRS no II/1960 mengenai pertahanan Rakyat dan memperkuat persatuan semua kekuatan revolusioner di negeri kita.

Penerbit

Agustus 1963

 

-------------------------------------------------

Saya sungguh merasa gembira dan oleh karena itu mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesempatan yang diberikan kepada saya baik sebagai Menteri/Wakil Ketua MPRS maupun sebagai Comite Central Partai Komunis Indonesia, salah satu Partai NASAKOM, untuk memberikan ceramah di hadapan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (SESKOAL). Tak perlu kiranya saya jelaskan, bahwa ini bukan pertama kalinya saya diminta memberi ceramah di muka Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Bahkan dengan adanya ceramah ini sudah bisa dikatakan bahwa tradisi mencapai saling pengertian dan saling mengenal antara Angkatan Bersenjata dengan berbagai golongan Rakyat termasuk kaum Komunis, telah tertanam di dalam setiap Angkatan Bersenjata kita.

Sewaktu saya dalam bulan Februari yang lalu memberi ceramah di muka para mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), antara lain saya katakan, bahwa ada orang yang bingung mendengar bahwa Ketua PKI memberi ceramah kepada kader-kader  kepolisian. Sudah tentu, dengan adanya ceramah ini, ceramah kepada kader-kader tinggi Angkatan Laut Republik Indonesia, dan sebelum ini telah diberikan pula ceramah-ceramah kepada kader-kader tinggi AURI dan kader-kader tinggi ADRI, kebingungan orang-orang semakin menjadi, sebab ternyata semua Angkatan Bersenjata benar benar menjalankan wejangan Presiden Sukarno yang dikemukakan dalam pidato “Tahun Kemenangan” tanggal 17 Agustus, 1962, yaitu “ memberantas Komunisto-phobi”. Biarkanlah mereka bingung kita berjalan terus!

Memang memberantas Komunisto-phobi merupakan tugas mutlak dalam meneruskan perjuangan Rakyat Indonesia untuk menyelesaikan Revolusi, karena Komunisto-phobi dengan sendirinya berarti Nasakom-phobi, Rakyat-phobi, masya-phobi, buruh-phobi dan tani-phobi. Phobi-phobi ini adalah ibarat jarum  racun yang menusuk persatuan  nasional kita. Pada kesempatan ini, saya member hormat setinggi-tingginya kepada semua Angkatan Bersenjata yang, melalui  ceramah-ceramah semacam ini, melakukan sesuatu yang konkrit sekali memberantas phobi-phobi itu

Tema yang akan saya bahas dalam ceramah ini adalah tentang “ Beberapa Masalah Politik dan Pertahanan “. Sungguh suatu tema yang amat penting ! sebagaimana saya jelaskan dalam ceramah saya di SESKOAD belum lama berselang, segala soal politik dan sosial yang mau kita bahas, haruslah kita bahas dalam hubungan dengan Revolusi Indonesia. Begitu pula dengan tema ceramah saya sekarang. Dalam hubungan dengan tema ini, politik adalah strategi dan taktik pimpinan dari perjuangan Rakyat Indonesia untuk mencapai cita-cita dan tujuan Revolusi untuk menyelesaikan Revolusi, sedangkan pertahanan adalah strategi dan taktik pelaksanaan yang dilakukan Angkatan Bersenjata RI bersama-sama dengan seluruh Rakyat di bidang pertahanan militer dan keamanan untuk membela, menyelamatkan, mengabdi dan memenangkan perjuangan revolusioner Rakyat Indonesia itu. Kedua-duanya harus tunduk pada strategi umum Revolusi Indonesia yang digariskan dalam Manipol, yaitu bahwa sekarang ini Rakyat Indonesia harus menyelesaikan Revolusinya yang bersifat nasional dan demokratis sebagai landasan untuk selanjutnya memasuki fase atau tahap kedua Revolusi Indonesia yang bersifat Sosialis, artinya yang bertujuan dan bertugas membangunkan masyarakat sosialis yang adil.

Politik dan pertahanan adalah dwitunggal yang tak dapat dipisah-pisahkan apalagi dipertentangkan, seperti halnya Rakyat dengan Angkatan Bersenjata adalah dwitunggal yang juga tak dapat dipisah-pisahkan apalagi dipertentangkan. Usaha-usaha untuk memisahkan apalagi mempertentangkan politik dengan pertahanan atau Rakyat dengan Angkatan Bersenjata adalah usaha kontra-revolusioner, karena menghambat dan mempersulit perjuangan kita bersama untuk menyelesaikan revolusi kita.

Seperti halnya perjuangan Rakyat harus dipimpin oleh politik yang tepat, juga pertahanan harus dipimpin oleh politik yang tepat, seperti halnya perjuangan rakyat Indonesia harus dipimpin Manifesto Politik yang menggariskan strategi umum Revolusi Indonesia, juga pertahanan Republik

 

(halaman 8-9 tak ada)

 

kita tidak berani, dan bahkan tidak mungkin berkumpul disini ! Hubungan-hubungan sosial yang terciptakan antara manusia dengan manusia, yaitu susunan masyarakat, justru timbul dalam proses manusia menundukkan alam dan menciptakan kekayaan material untuk kepentingan kclangsungan dan perbaikan kehidupan manusia sendiri.

Setelah mendengar penjelasan saya ini, mungkin ada yang terus memberi reaksi : Nah, lihat,orang-orang Komunis memang orang-orang "materialis", hanya mcmikirkan materi, tidak memikirkan  ide, tidak punja “idealism”.  R¢aksi-reaksi yang demikian tidak mempunyai dasar sama sekali, sebab justru karena kaum Komunis mendasarkan pengertiannya mengenai masyarakat kepada kenyataan yang obyektif, yaitu kekayaan materil, maka terbukalah  kemungkinan untuk merealisasi ide-ide  atau cita-cita kita. Ide-ide atau cita-cita  seluruh umat manusia, artinya untuk menciptakan masyarakat yang bisa menjamin kemakmuran untuk setiap orang, untuk menciptakan masyarakat tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia. Cita-cita manusia yang paling luhur itu akan tinggal sebagai cita-cita atau impian bclaka kalau kita tidak mempunyai alat-alat untuk merealisasi cita-cita itu, yaitu pengertian yang tepat mengcnai hukum-hukum perkembangan masyarakat.  Jadi, kaum Komunis mengakui peranan aktif daripada ide ,peranan ide dalam mengubah kcadaan. Tetapi kaum Komunis tidak mungkin mcmbayangkan adanya ide tanpa didahului adanya materi, misalnya otak. Ide tidak bisa keluyuran tanpa materi, khususnya tanpa otak.

PEMILIKAN ATAS ALAT-ALAT PRODUKSI MENENTUKAN HUBUNGAN-HUBUNGAN ANTAR MANUSIA

Sejarah perkembangan  masyarakat mengajar kepada kita bahwa tenaga-tenaga produktif, yaitu tenaga-tenaga yang menciptakan kekayaan  materil termasuk alat-alat kerja, sasaran kerja dan tenaga kcrja, berkembang secara terus menerus, secara tak terputus-putus. Kejayaan manusia untuk mencipta, untuk menundukan alam agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia sendiri memang tak terbatas dan sungguh mengagumkan. Tetapi dalam proses menciptakan kekayaan materil melalui tenaga-tenaga produktif itu, timbulah hubungan-hubungan produksi, yaitu hubungan antara manusia dengan manusia yang pada pokoknya ditentukan oleh kenyataan siapa yang memiliki alat-alat produksi yang terpenting, siapa yang menguasai proses produksi itu.

Sejarah perkembangan masyarakat mengajarkan kepada kita bahwa dalam setiap masyarakat yang berdasarkan pemilikan perseorangan atas alat-alat produksi, yaitu yang berdasarkan penghisapan oleh mereka yang memiliki alat-alat produksi atas mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi akan tiba waktunya di mana hubungan-hubungan produksi itu merupakan belenggu terhadap perkembangan secara terus-menerus tenaga-tenaga produktif itu. Hubungan-hubungan produksi yang bersifat feudal dimana tuan tanah menghisap kaum tani merupakan belenggu terhadap perkembangan tenaga-tenaga produktif dalam masyarakat feudal. Hubungan-hubungan produksi yang bersifat kapitalis, dimana burjuasi (kapitalis) menghisap proletariat, merupakan belenggu terhadap perkembangan tenaga-tenaga produktif dalam masyarakat kapitalis. Hubungan-hubungan produksi dalam masyarakat Indonesia sekarang mengambil bentuk kekuasaan modal monopoli asing, yaitu kekuasaan imperialis, yang bersekutu dengan kaum feodal, yang merupakan belenggu terhadap tenaga- tenaga produktif kaum buruh dan seluruh Rakyat Indonesia yang dihisap oleh imperialime dan sisa-sisa feodalisme.

Kontradiksi antara tenaga-tenaga produktif dengan hubungan-hubungan produksi di dalam proses perkembangannya menimbulkan revolusi. Ini berarti, bahwa kontradiksi itu harus diselesaikan dgn melalui revolusi. Tujuan daripada revolusi ialah untuk mengakhiri hubungan-hubungan produksi yang telah menjadi belenggu itu, artinya mengubah susunan masyarakat dan membangun masyarakat baru yang membebaskan tenaga-tenaga produktif untuk bisa berkembang tanpa halangan. Perjuangan kaum tani melawan penghisapan feudal dan perjuangan seluruh rakyat melawan penghisapan imperialis atau kekuasaan imperialis merupakan perjuangan untuk menyelesaikan revolusi kita. Tanpa perjuangan-perjuangan itu, revolusi Indonesia tidak akan bisa diselesaikan

Kalau apa yang dimaksudkan dgn revolusi sudah jelas, maka tidak sulit bagi kita untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan Rakyat. Rakyat berarti semua golongan yang berkepentingan supaya revolusi itu diselesaikan, yaitu semua golongan yang ikut berevolusi. Dan oleh karena Revolusi Indonesia merupakan revolusi anti Feodal dan anti-imperialis, maka bagi Indonesia, Rakyat yang ikut berevolusi adalah semua golongan yang dihisap atau yang dirugikan oleh feodalisme dan imperialisme itu. Jadi orang-orang Indonesia yang memihak imperialisme dan feodalisme tidak mungkin kita masukan kategori Rakyat, mereka termasuk kategori anti-Rakyat, walaupun mereka warga negara Indonesia

ORANG REVOLUSIONER ADALAH ORANG YANG AKTIF  MEMIHAK PERJUANGAN RAKYAT

Selanjutnya, kita perlu pula mencapai pengertian yang tepat mengenai apa yang dimaksud dengan revolusioner, Bung Karno telah berulang-ulang berkata bahwa “ pada akhirnya manusialah yang menentukan”.  Yang dimaksudkan dengan ini ialah bahwa tugas-tugas di setiap bidang kenegaraan atau kemasyarakatan hanya bisa dijalankan oleh orang-orang yang menyatukan diri atau yang mengintegrasikan diri dengan tugas-tugas revolusi Kita. Revolusi yang berarti suatu perubahan susunan masyarakat secara strukturil dan hakiki tidak akan bisa berjalan jika kekuasaan negara tidak disesuaikan dengan susunan masyarakat baru yang harus dibangun. Bagaimanapun juga, kekuasaan negara adalah dijalankan oleh orang-orang yang memegang kekuasaan, dan dengan sendirinya kekuasaan negara hanya bisa dikatakan sesuai dengan susunan masyarakat yang harus dibangun jika kekuasaan negara diisi dengan orang-orang revolusioner, yaitu orang-orang yang mengintegrasikan diri dengan perjuangan Rakyat untuk menyelesaikan revolusi, yang sepenuhnya dan secara aktif berpihak pada perjuangan Rakyat. Dalam revolusi anti imperialis dan anti-feodal, maka ciri-ciri pokok orang-orang revolusioner ialah ciri-ciri anti-imperialis dan anti-feodal; dan karena revolusi Indonesia berperspektif Sosialisme, maka orang-orang revolusioner harus bercita-cita sosialisme.

Mungkin masih ada orang yang beranggapan,bahwa orang-orang revolusioner cukup berkecimpung di bidang kepartaian dan organisasi massa saja, sedangkan dalam kekuasaan negara orang-orang harus “obyektif’, “berdiri diatas politik “, “tidak berpihak”. Anggapan ini adalah anggapan yang salah dan reaksioner, karena bisa membuka pintu bagi kaum kontra-revolusioner untuk bercokol dalam alat-alat kekuasaan negara. Padahal dalam tiap revolusi soal yang terpenting adalah soal kekuasaan negara.

Di dalam suatu revolusi, yang obyektif ialah berpihak kepada revolusi, berpihak kepada keharusan obyektif daripada perkembangan masyarakat. Sikap-sikap yang lain adalah sikap yang subyektif, sebab siapapun yang tidak aktif mengintegrasikan diri dengan revolusi, yang tidak berpihak kepada revolusi, yang tidak menyesuaikan dan mendasarkan segala kegiatan-kegiatannya serta tindakan-tindakannya pada kebutuhan revolusi, dan malahan sadar atau tidak, bisa dipergunakan untuk maksud-maksud kontra-revolusi. Jadi kelirulah pendapat sementara orang yang berkemauan baik yang mengatakan bahwa kita tidak boleh bersikap obyektif terhadap revolusi. Juga keliru pendapat sementara orang bermauan buruk yang mengatakan, bahwa berpihak kepada revolusi berarti bersikap tidak obyektif. Pendapat-pendapat ini disamping tidak benar, juga bersifat membenarkan “keobyektifan” kaum reaksioner. Bukankah kaum reaksioner dan kontra-revolusioner selalu bersemboyan "obyektif", "tidak berpihak" untuk kegiatan kontra-revolusi mereka? Padahal merekalah manusia-manusia yang paling subyektif, paling berat sebelah, karena mereka menentang arus revolusi yang obyektif. Kita tidak boleh tertipu semboyan-semboyan itu. Semboyan-semboyan itu sengaja dipergunakan karena dalam keadaan Rakyat sedang menjalankan revolusi, maka semboyan yang terang-terangan berlawanan dengan revolusi akan sangat mudah membuka kedok kaum kontra-revolusi sehingga akan menggagalkan usaha-usaha mereka sebelum dimulai. Jadi sikap yang paling obyektif adalah sikap memihak Rakyat dan revolusi, karena perkembangan obyektif adalah menurut kehendak rakyat dan seuai dengan hukum-hukum revolusi

Jika kita ingin menyelesaikan revolusi, maka seluruh aparatur negara pun harus dijalankan oleh orang-orang revolusioner, yaitu orang-orang yang mendasarkan setiap kegiatan serta tindakannya pada prinsip-prinsip pokok revolusi itu, yang tunduk kepada strategi umum Revolusi Indonesia. Partai-partai politik harus tunduk kepada strategi umum Revolusi Indonesia. Organisasi-organisasi massa serta organisasi-organisasi lain harus tunduk kepada strategi umum revolusi indonesia. Angkatan Bersenjata, yaitu seluruh aparat pertahanan dan keamanan harus tunduk kepada strategi umum revolusi Indonesia, seluruh aparatur negara harus tunduk kepada strategi umum revolusi Indonesia. Hanya jika demikian maka akan terbukalah kemungkinan bagi kita untuk menyelesaikan revolusi kita dalam arti kata yang sesungguhnya

STRATEGI UMUM REVOLUSI INDONESIA DITENTUKAN DALAM MANIPOL

Apa yang dimaksud dengan “strategi umum Revolusi Indonesia” ?

Bagi kita di Indonesia, pertanyaan itu sudah tidak sulit untuk dijawab karena kita sudah mempunyai resmi yang memberi jawabannya, yaitu Manifesto Politik. Sungguh untung kita, dengan memiliki Manipol itu kita sudah tidak perlu debat-debat lagi mengenai hal yang demikian pokok itu. Karena Manipol merupakan garis yang memimpin kita semua, merupakan haluan yang telah ditetapkan oleh MPRS sebagai haluan negara, maka kita telah melewati satu tingkat yang berat. Dengan adanya Manipol yang telah diterima oleh semua golongan rakyat yang berrevolusi, dan yang telah diterima seluruh Angkatan Bersenjata, maka telah hilang alasan pokok untuk timbulnya kontradiksi diantara dua sector masyarakat kita. Keheranan orang-orang asing, misalnya, jika melihat komunis diundang untuk memberi ceramah kepada pegawai-pegawai departemen ini, kepada Angkatan Bersenjata itu, gampang dijawab. Manipol adalah program bersama seluruh Rakyat Indonesia termasuk Angkatan Bersenjata, jadi tidak ada alasan sedikitpun untuk adanya komunisto-phobi atau anti-komunisme seperti di negara-negara imperialis. Yang perlu sekarang ialah untuk menjalankan program bersama itu. Yang perlu sekarang ialah untuk mencapai pengertian tentang cara menjalankan program bersama itu, dan untuk bersama-sama menyingkirkan setiap penghalang terhadap maksud yang mulia itu

Seperti dikatakan oleh Presiden Sukarno dalam Pidato Resopim, tanggal 17 Agustus 1961: Negara dan Rakyat sudah menerima Manipol dengan ketetapan MPRS-nya, maka semua warga sekarang harus dipimpin oleh Manipol. Rakyat sudah dipimpin oleh Manipol, militer juga harus dipimpin oleh Manipol. Bukan militer atau bedil yang memimpin Manipol tetapi Manipol yang memimpin militer atau bedil“. (Resopim. Departemen Penerangan penerbitan khusus no 180 hal 29). Inilah yang oleh kami kaum Komunis dinamakan “ Politik adalah Jenderal”.

Mari kita bahas strategi umum revolusi Indonesia seperti digariskan didalam Manipol. Manipol menyatakan bahwa ”kewajiban-kewajiban revolusi Indonesia yang terpenting ialah membebaskan Indonesia dari semua imperialis dan menegakkan tiga segi kerangka”. Dan apa yang dimaksudkan dengan tiga segi kerangka itu?

Kesatu. “Pembentuk satu Negara Indonesia yang berbentuk Negara Kesatuan dan Negara Kebangsaan yang demokratis, dengan wilayah kekuasaan dari Sabang sampai Merauke”. Artinya mendirikan negara kesatuan Republik Indonesia yang nasional dan demokratis.

Kedua. “Pembentukan satu masyarakat yang adil dan makmur materil dan spiritual dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu”. Artinya, berhari depan masyarakat sosialis Indonesia, masyarakat yang adil atau masyarakat yang tanpa penghisapan untuk menuju kemasyarakatan adil dan makmur, masyarakat yang oleh kami kaum Komunis dinamakan masyarakat Komunis.

ketiga. “Pembentukan satu persahabatan yang baik antara Republik Indonesia dan semua negara di dunia, terutama sekali dengan negara-negara Asia Afrika, atas dasar hormat-menghormati satu sama lain dan atas dasar bekerja sama membentuk satu Dunia Baru yang bersih dari imperialisme dan kolonialisme, menuju kepada perdamaian Dunia yang sempurna”. (Tubapi, hal 81). Artinya, menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, yang anti imperialism, untuk kemerdekaan nasional, demokrasi dan perdamaian dunia.

Dengan demikian, tiga segi kerangka Manipol memberi gambaran yang sangat jelas tentang sifat masyarakat yang harus dibangun, tentang sifat negara yang diperlukan, tentang pokok-pokok politik dalam negeri dan luar negeri daripada negara itu.

Selanjutnya, tentang sifat Revolusi Indonesia, Manipol menyatakan sbb: “Revolusi Indonesia adalah revolusi nasional menentang imperialsme kolonialisme” dan bahwa walaupun “revolusi Indonesia bersifat multi komplek, tetapi sifat nasional daripada Revolusi Indonesia adalah sangat menonjol”. (Tubapi, hal 84)

Selanjutnya dikatakan bahwa : “di samping sifat nasionalnya. Revolusi Indonesia sebagai juga semua revolusi di zaman modern sekarang, adalah revolusi demokratis. Sifat demokratis daripada revolusi Indonesia dinyatakan oleh tugasnya menentang keterbelakangan feudal dan menentang otokrasi atau kediktatoran, baik militer maupun perseorangan”. (Tubapi, hal 84). Pendeknya sasaran-sasaran pokok Revolusi Indonesia ialah imperialisme dan feodalisme, Revolusi Indonesia adalah revolusi anti-imperialis dan anti-feudal.

Dengan demikian menjadi jelas strategi umum revolusi Indonesia, yaitu: menghancurkan imperialism dan feodalisme, mendirikan negara kesatuan republik Indonesia yang nasional dan demokratis, sebagai syarat mutlak untuk menuju kemasyarakat Sosialis Indonesia.

REVOLUSI INDONESIA REVOLUSI SEMUA KLAS DAN GOLONGAN ANTI IMPERIALIS

Berdasarkan ini semua, Manipol selanjutnya menetapkan, bahwa “ Revolusi Indonesia adalah revolusi bersama, dan semua klas dan golongan yang menentang imperialism kolonialisme” dan bahwa tugas daripada Revolusi Indonesia adalah untuk mendirikan kekuasaan Gotong royong, kekuasaan demokratis yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, yang menjamin terkonsetrasinya seluruh kekuatan nasional, seluruh kekuatan rakyat”. ( Tubapi, hal 85).

Tugas ini berarti bahwa kekuasaan yang harus didirikan ialah kekuasaan yang bersih dari aspek anti Rakyat. Tentunya kekuasaan yang mengandung aspek anti rakyat tidak bisa diharapkan akan menjamin terkonsentrasinya seluruh kekuatan Rakyat. Bukankah penegasan Manipol ini penegasan yang paling jelas dan meragukan lagi tujuan rituling kekuasaan atau aparatur negara? Apek pro-rakyat harus diperkuat, dan aspek anti-Rakyat harus dilenyapkan dengan jalan mengusir elemen-elemen anti Rakyat dari kekuasaan negara. Demikianlah cara satu-satunya dalam melaksanakan Manipol dibidang kekuasaan negara.

Dengan menetapkan pokok-pokok ini. Manipol selanjutnya menetapkan pula tentang kekuatan-kekuatan sosial daripada Revolusi Indonesia. Dikatakan sbb,: “ Jadi jelaslah bahwa kekuatan-kekuatan sosial Revolusi Indonesia. Yaitu seluruh Rakyat Indonesia dengan Kaum Buruh dan Kaum tani sebagai kekuatan pokoknya tanpa melupakan peranan penting dari golongan-golongan lain, adalah sangat besar dan meyakinkan akan menangya Revolusi Indonesia”. (Tubapi, hal 81).  Dan mengapa dikatakan bahwa kaum buruh juga dijelaskan dalam Manipol sbb:

“dengan tidak mengurangi arti dari klas-klas dan golongan-golongan lain sebagaimana sering ditekankan oleh Presiden Sukarno, kaum buruh dan kaum tani, baik karena vitalnya maupun karena sangat banyak jumlahnya, harus menjadi kekuatan pokok dalam revolusi dan harus menjadi sokoguru masyarakat adil dan makmur di Indonesia”. (Tubapi, hal 82). Jadi “ karena vitalnya maupun karena sangat banyak jumlahnya”. Dan kalau Manipol berbicara tentang vitalnya kaum buruh dan kaum tani, ini tak lain tak bukan oleh karena kedua klas, atau golongan itu merupakan penciptaan utama kekayaan materiil didalam masyarakat.

BAGIAN TERBESAR ANGKATAN BERSENJATA ANAK-ANAK BURUH DAN TANI

Saya tidak jemu-jemunya menekankan kepada penjelasan Manipol ini, sebab ada orang yang suka lupa akan vitalnya kaum buruh dan kaum tani, dan yang malahan menganggap kaum buruh dan kaum tani tidak vital, tidak perlu diperhitungkan dan diperhatikan, tindakan-tindakan mereka justru memberi kesan bahwa yang mereka anggap vital ialah yang untuk  menginjak-injak hak-hak kaum buruh dan kaum tani, dan menindas gerakan-gerakan mereka. Sikap yang demikian berlawanan dengan Manipol dan berlawanan dengan strategi umum Revolusi Indonesia. Sikap yang demikian sadar atau tidak, pada dasarnya merupakan sikap yang kontra-revolusioner. Kalau kita sekarang membahas tema politik dan pertahanan, maka dapat ditegaskan bahwa sikap yang demikian tidak boleh diberi tempat dalam aparatur pertahanan kita, lebih-lebih karena bagian terbesar anggota Angkatan Bersenjata kita terdiri dari anak-anak kaum buruh dan terutama anak-anak kaum tani yang “sangat banyak jumlahnya” itu. Pada hakekatnya, Angkatan Bersenjata kita adalah “kaum tani bersenjata’.

Jika telah ditetapkan bahwa Revolusi Indonesia adalah revolusi bersama dari semua klas dan golongan yang menentang imperialisme, kolonialisme, dan dengan sendirinya juga neo-kolonialisme, maka menjadi jelas pula mengapa front persatuan nasional merupakan hal yang mutlak perlu bagi berhasilnya revolusi kita itu. Tentang apa yang dimaksudkan dengan front persatuan nasional, oleh Presiden Sukarno sudah diberikan  berbagai rumusan, antara lain “samenbundeling van alle revolutionnare krachten” (istilah yang dipergunakan di dalam pidato konsepsi Presiden yang diucapkan pada tanggal 21 Februari 1957) atau ‘konsentrasi kekuatan nasional’ (istilah yang dipergunakan di dalam Manipol). Di dalam Manipol, Bung Karno berkata bahwa ‘modal pokok bagi tiap revolusi nasional, menentang imperialisme kolonialisme ialah konstrasi kekuatan nasional, dan bukan perpecahan kekuatan nasional (Tubapi, hal 82 ).

Jadi, tugas untuk menciptakan dan menggalang front persatuan nasional adalah tugas revolusioner, dan sebaliknya, usaha untuk memecah belah front persatuan nasional adalah usaha kontra-revolusioner.

PANCASILA ALAT PEMERSATU!

Berbicara tentang front persatuan nasional tidak bisa dianggap lengkap kalau kita tidak sekaligus berbicara pula tentang Pancasila. Mengapa demikian? Pancasila selalu dikemukakan sebagai filsafat negara Republik Indonesia. Ini ialah karena Pancasila justru mencerminkan kenyataan bahwa rakyat Indonesia meliputi berbagai golongan, sukubangsa serta aliran yang berbeda-beda, sedangkan perbedaan itu bisa dirumuskan dalam satu rangkaian sila-sila yang diakui bersama oleh seluruh bangsa. Justru karena perbedaan-perbedaan itu Rakyat Indonesia membutuhkan front persatuan nasional. Ini mencerminkan toleransi revolusioner yang tinggi yang telah menjiwai gerakan kemerdekaan nasional Indonesia sejak semula dan terutama sejak tahun-tahun duapuluhan.

Jadi filsafat yang digambarkan dalam Pancasila itu ialah filsafat persatuan atau filsafat Gotongroyong. Dalam pidatonya pada tanggal 1 juni 1945 yang berjudul Lahirnya Pancasila, Bung karno berkata : “jikalau saja penas yang lima menjadi tiga dan tiga menjadi satu, maka dapatlah satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “ Gotong royong!” (Tubapi, hal 37). Oleh karena itulah Presiden Sukarno selalu dengan tepat menamakan Pancasila sebagai pemersatu.

Mari kita memperhatikan benar-benar apa yang dikatakan oleh Presiden Sukarno mengenai hal ini: “Pancasila adalah alat pemersatu bukan alat pemecah belah! Dengan Pancasila, kita juga mempersatukan tiga aliran besar yang bernama Nasakom itu. Jadi jangan mempergunakan Pancasila utnuk memecah-belah Nasakom, mempertentangkan kaum nasionalis dengan kaum agama, kaum agama dengan kaum komunis, kaum nasionalis dengan kaum komunis. Siapa yang main-main dengan Pancasila untuk maksud pengadudombaan itu, ia adalah orang yang sama sekali tak mengerti Pancasila atau orang yang durhaka kepada Pancasila atau orang yang …..kepalanya sinting“. (Resopim, Departemen Penerangan, Penerbitan khusus, no.180, hal 42)

Bukankah ini suatu penegasan yang setegas-tegasnya? Tanpa tedeng aling-aling. Orang yang mempreteli satu sila untuk mengadu salah satu aliran revolusioner lainnya dalam masyarakat adalah orang yang tidak mengerti Pancasila atau orang ….kepalanya sinting. Demikianlah penilaian yang sewajarnya terhadap orang-orang yang mempergunakan Pancasila sebagai pemecah belah.

NASAKOM POROS PERSATUAN NASIONAL

Dan yang sangat penting pula diperhatikan ialah bahwa kalau Bung karno menamakan Pancasila sebagai alat pemersatu, yang dimaksudkan justru ialah alat pemersatu antara tiga aliran besar yang hidup di dalam masyarakat Indonesia, yaitu Nasionalisme, Agama dan Komunisme, atau yang dipersatukan dalam istilah NASAKOM. NASAKOM  juga merupakan bagian daripada filsafat persatuan atau filsafat Gotongroyong Rakyat Indonesia sebab, seperti dikatakan oleh Bung Karno ( juga dalam rapat pidato Resopim, hal 39-40) “ Nasakom adalah kenyataan-kenyataan hidup yang tak dapat dibantah…di dalam masyarakat Indonesia”. Gagasan Nasakom mempunyai akar sejarahnya sejak lahirnya perjuangan kemerdekaan nasional, perjuangan revolusioner Rakyat Indonesia sejak tahun-tahun duapuluhan. Hal ini dibuktikan antara lain oleh tulisan Bung Karno dalam tahun 1926 yang berjudul “ Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” (Di bawah Bendera Revolusi hal 1-23). Sejarah gerakan kemerdekaan Indonesia adalah sejarah berkembangnya tiga aliran ini, Dan sejarah itu membuktikan bahwa selama tiga alisan itu bersatu, maka jalannya gerakan revolusioner kita lancar, sedangkan jika tiga aliran itu terpecah, maka gerakan revolusioner kita berjalan seret. NASAKOM adalah poros daripada front persatuan nasional kita. Menerima Pancasila harus menerima Nasakom. Mengenai hali ini Bung Karno telah berkata dalam pidato Re-so-pim sbb:

“Siapa yang setuju kepada Pancasila, harus setuju kepada NASAKOM, siapa yang tidak setuju kepada NASAKOM sebenarnya tidak setuju Pancasila. Sekarang saja tambah. Siapa setuju kepada Undang-undang Dasar 1945 harus setuju NASAKOM, siapa yang tidak setuju kepada NASAKOM, sebenarnya tidak setuju kepada Undang-Undang Dasar 45“. (Resopim, hal 40 ). Kutipan ini benar-benar menggambarkan kesatuan yang mutlak antara Revolusi 45 yang menjiwai Undang-undang Dasar 45 dengan Pancasila dan Nasakom. Memang Durhaka atau sinting orang-orang yang sampai sekarang tetap tidak mengerti atau tidak mau mengerti kebenaran yang sedemikian sederhana ini.

DUA TAHAP REVOLUSI INDONESIA

Selanjutnya, jika kita mau mengerti secara mendalam mengenai strategi umum Revolusi Indonesia, kita harus mengerti bukan hanya mengenai sasaran pokoknya, mengenai tugas kewajibannya mengenai kekuatan sosialnya, tetapi harus juga kita mengerti bahwa revolusi Indonesia adalah revolusi yang berjalan melalui dua tahap. Soal ini sebenarnya sudah jelas dari Manipol sendiri kemudian diperjelas lebih lanjut oleh Bung karno didalam pidato Jarek, dan penegasan yang paling lengkap dikemukakan didalam deklarasi Ekonomi (Dekon) dalam hubungan dengan strategi dasar ekonomi Indonesia. Disitu dikatakan bahwa:

“perlu disadari dan dipahami bahwa strtegi dasar ekonomi Indonesia tidak dapat dipisahkan dari strategi umum Revolusi Indonesia” dan bahwa “Menurut strategi dasar tahap pertama kita harus membangun susunan ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis, yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan bersih dari sisa-sisa feodalisme. Tahap pertama adalah persiapan utnuk tahap kedua, yaitu tahap ekonomi Sosialis Indonesia, ekonomi tanpa penghisapan manusia oleh manusia, tanpa l’exploitation de l’homme par l’homme (Dekon, pasal3). Dekon juga mengatakan dalam pasal 4 bahwa “Kita sekarang berada dalam tahap pertama Revolusi kita”

Dengan penegasan yang demikian, maka Dekon secara ilmiah mengupas segi yang mutlak dari pada revolusi kita. Ia mengupas secara kongkrit jalan yang harus dilalui untuk bisa sampai kepada tujuan kita, yaitu masyarakat Sosialis Indonesia. Mengapa tahap nasional demokratis itu harus dilalui dan diselesaikan sebelum bisa mulai dengan pembangunan sekonomi Sosialis? Tidak bisa diharapkan bahwa dalam masyarakat di mana masih terdapat sisa-sisa imperialisme, artinya masyarakat yang belum merdeka penuh, dan masih terdapat sisa-sisa feodalisme, akan terbuka kemungkinan untuk membangun Sosialisme. Tidak ada hal yang lebih dibenci oleh kaum imperialis daripada sosialisme; jadi dengan sendirinya sisa-sisa itu harus dibersihkan dulu; inilah sebabnya mengapa masyarakat atau ekonomi nasional yang bersih harus dibangun dari sisa-sisa imperialisme harus dibangun lebih dulu, baru bisa dimulai pembangunan masyarakat atau ekonomi Sosialis.

Demikian pula, sisa-sisa Feodalisme juga merupakan rintangan mutlak terhadap pembangunan Sosialisme. Tak mungkin sama sekali dibayangkan bahwa di dalam masyarakat di mana tanah, salah satu alat produksi terpenting, masih dimiliki secara monopoli oleh tuantanah, di mana kerja-lebih atau hasil-lebih daripada kaum tani dirampas oleh tuantanah, akan terbuka kemungkinan utnuk melaksanakan pembangunan Sosialis. Tuntutan kaum tani akan tanah harus dipenuhi lebih dulu supaya kaum tani sendiri bisa dimobilisasi untuk ikut mambangun ekonomi yang maju. Yang berindustri, sehingga sektor pertanian dan perkebunan dapat menjadi dasar yang kokoh justru karena tenaga-tenaga produktif telah dibebaskan dari hubungan-hubungan produksi yang bersifat feudal itu, talah dibebaskan dari penghisapan feudal.

Jadi sifat ilmiah rumusan Dekon tentang adanya dua tahap revolusi itu terletak dalam kenyataan bahwa ia menunjukan jalan untuk mencapai sosialisme yang merupakan hari depan atau perspektif dari Revolusi Indonesia. Justri karena Sosialisme merupakan perspektif revolusi kita, maka tahap nasional dan demokratis atau tahap menghancurkan imperialism dan sisa-sisa feodalisme harus dilalui lebih dahulu.

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN MASYARAKAT SOSIALIS DAN MASYARAKAT KOMUNIS

Masih ada satu hal lagi yang perlu saya jelaskan dalam hubungan ini. Ada orang yang merasa curiga jika mendengar orang Komunis berbicara tentang pembangunan masayarakat Sosialis karena mengira bahwa ini suatu tipu muslihat; sebenarnya, kata mereka kaum komunis bukan mau membangun masyarakat Sosialis  melainkan masyarakat Komunis. Seakan akan mayarakat Komunis berlainan samasekali dengan masyarakat Sosialis bahkan seakanakan bertentangan! Anggapan yang demikian adalah samasekali keliru, karena walaupun memang ada perbedaan tertentu antara dua macam masyarakat itu, namun kedua-duanya itu sesungguhnya merupakan sata cara produksi, satu jenid susunan masyarakat. Dua-duanya merupakan masyarakat tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia. Bedanya ialah, bahwa masyarakat Sosialis merupakan tingkat pertama di mana tarap produksi belum mencukupi untuk memenuhi secra berlimpah-limpah ebutuhan manusia, Jadi distribusi hasil-hasil produksi diatur sesuai dengan sumbangan masing-masing orang di dalam masyarakat terhadap usaha-usaha produksi atau dengan perkataan lain: “Setiap orang bekerja menurut kesanggupannya”. Sedangkan dalam masyarakat Komunis yang hanya mungkin dicapai sesudah selesai pembangunan Sosialisme, tingkat produksi telah sedemikian tinggi sehingga semua kebutuhan manusia dapat dipenuhi. Dalam masyarakat yang demikian, masing-masing orang menyumbangkan kepada usaha-usaha produktif menurut kemampuannya sedangkan distribusi hasil-hasil produksi sepenuhnya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing orang atau dengan perkataan lain: “ Setiap orang bekerja menurut kesanggupannya, setiap orang menerima menurut kebutuhannya”.

Dengan demikian, masyarakat Sosialis merupakan masyarakat yang adil dalam arti masyarakat tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia.tetapi belum makmur atau belum begitu makmur. Sedangkan masyarakat Komunis merupakan masyarakat yang adil dan makmur; adil karena tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia, dan makmur karena taraf produksi yang sudah dicapai adalah sangat tinggi, produksi barang-barang sudah berlimpah-limpah.

PEMILIKAN PERSEORANGAN ATAS ALAT-ALAT PRODUKSI SUMBER PENGHISAPAN

Karena masyarakat Sosialis merupakan perspektif Revolusi Indonesia, maka dengan sendirinya kita sering berbicara tentang masyarakat tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia. Bung Karno berulang-ulang menekankan kepada prinsip ini karena memang inilah hakekat masyarakat Sosialis. Tapi sayangnya, ternyata bahwa masih ada saja orang yang tidak mengerti apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan masyarakat tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia. Mereka tidak mengerti hal ini karena pada pokoknya mereka tidak mengerti hakekat daripada penghisapan atas manusia oleh manusia itu sendiri. Penghisapan atau dalam kata-kata lain,  perampasan oleh seseorang terhadap hasil-lebih atau kerja lebih orang lain timbul dari hubungan produksi artinya di mana satu pihak memiliki alat-alat produksi dan pihak yang lain tidak memiliki alat-alat produksi. Dengan adanya hubungan produksi ini, maka pihak yang memiliki alat-alat produksi dapat merampas hasil lebih atau kerja lebih dari pihak yang tidak memilikinya yang terpaksa mengadakan hubungan kerja dengan pemilik-pemilik alat-alat produksi itu.

Dalam masyarakat perbudakan, pemilik budak memiliki manusia lain sedangkan budak-budak tidak memiliki apa-apa, pun tidak memiliki jiwa raganya sendiri, sehingga seluruh hasil kerja si budak itu dirampas, dan hanya sedikit dikembalikan kepadanya sekedar agar supaya jangan sampai dia lekas mati. Dalam masyarakat feudal, tuan tanah memiliki tanah sedangkan kaum tani-hamba tidak memiliki apa-apa, sehingga tuan tanah dapat memaksa kaum tani untuk bekerja ditanahnya dengan menyerahkan semua hasil-lebih kepada tuan tanah dalam bentuk sewa tanah. Dalam masyarakat kapitalis, alat-alat produksi dimiliki seluruhnya oleh kaum kapitalis sehingga mereka bisa memaksa kaum buruh yang tidak memiliki alat-alat produksi apapun untuk bekerja baginya sehingga kaum kapitalis dapat merampas kerja-lebih yang dihasilkan oleh kaum buruh itu. Pada tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif dewasa ini manusia yang bekerja selalu dapat menghasilkan sesuatu yang nilainya melebihi nilai daripada tenaga kerja manusia itu sendiri. Bagian yang melebihi nilai tenaga kerjanya sendiri berbentuk kerja-lebih atau hasil-lebih yang oleh Marx dinamakan nilai-lebih (surplus value, mehrwert ), dan inilah yang dirampas oleh mereka yang memiliki alat- alat produksi.

Jadi hakekat daripada penghisapan atas manusia ialah bahwa satu pihak memiliki alat-alat produksi sedangkan pihak lain tidak. Hakekatnya ialah kepemilikan perseorangan atas alat-alat produksi. Hanya masyarakat di mana sudah tidak terdapat lagi pemilikan perseorangan atas alat-alat produksi, artinya di mana alat-alat produksi dimiliki oleh masyarakat seluruhnya, oleh negara, dimana alat-alat produksi menjadi milik Rakyat pekerja, bisa bebas dari penghisapan atas manusia oleh manusia. Jika alat-alat produksi dimiliki oleh masyarakat (pemilikan sosial), maka hasil lebih atau kerja lebih akan dipergunakan oleh masyarakat itu sendiri dan sebagian akan dibagikan kembali melalui distribusi pendapatan nasional sedangkan bagian selebihnya dipergunakan untuk memperluas tingkat produksi agar bisa mencapai kesejahteraan materil dan spiritual yang lebih tinggi di kemudian hari. Hanya dalam masyarakat tanpa pemilikan perseorangan terhadapa alat-alat produksi dapat dicapai distribusi pendapatan  nasional yang adil, artinya tanpa rampasan nilai lebih, tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia. Inilah hubungan mutlak antara masyarakat adil dengan masyarakat tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia. Jika masih terdapat pemilikan perseorangan atas alat-alat produksi, maka akan terdapat pula penghisapan atas manusia oleh manusia.

Tentu, kalau saya bicara tentang pemilikan perseorangan saya selalu tekankan bahwa yang dimaksud ialah kepemilikan atas alat-alat produksi. Pemilikan barang-barang pribadi,yang dipergunakan untuk konsumsi sendiri, dengan sendirinya tidak membuka kemungkinan untuk adanya penghisapan : jadi pemilikan perseorangan terhadapa barang barang yang demikan tidak berlawanan dengan prinsip “tanpa penghisapan” itu.

UNTUK MENGERTI SOSIALISME PELAJARI MARXISME

Baru beberapa hari yang lalu, yaitu pada tanggal 9 Juli, 1963, Presiden Sukarno, ketika bicara di muka para mahasiswa Universitas Indonesia, menekankan bahwa jika kita mau membangun Sosialisme, kita harus membaca “Das Kapital” nya Karl Marx dan paling sedikit “ Manifesto Komunis” karyanya Marx dan Engels. Saran Bung Karno sungguh tepat sekali, sebab di dalam buku-buku itulah akan dapat kita mengetahui apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan masyarakat sosialis. Ulasan saya di atas ialah justru ajaran Karl Marx didalam buku-buku yang disebut oleh Bung Karno itu.

Memang benar, kalau kita bertujuan membangun Sosialisme, kita harus mempelajari Marxisme. Kalau yang mau dibangun ialah kapitalisme, maka yang harus dipelajari dan diamalkan bukan Marxisme, tetapi ajaran Alfred Marshall, Lord Keynes dan lain lain ahli ahli ekonomi semacam itu. Tetapi tujuan kita bukanlah kapitalisme melainkan Sosialisme dan seperti baru baru ini dikatakan oleh Menteri Luar Negeri, Dr. Subandrio, tak mungkin kita sekaligus antikapitalisme dan anti Marxisme, sebab secara obyektif anti Marxisme berarti membantu kapitalisme sedangkan Marxisme berarti menolak dan mengalahkan kapitalisme dan membangun Sosialisme.

Sebelum saya mengakhiri bagian pertama dari ceramah ini, saya ingin mengupas secara singkat beberapa hal yang berhubungan dengan masalah negara. Hal ini saya anggap penting karena Angkatan Laut R.I., bersama-sama dengan Angkatan Bersenjata lainnya, adalah salah satu dari alat-alat negara, dan bahkan sering dikatakan alat revolusi, Alat-alat negara harus mengerti politik karena alat-alat negara, seperti kita semua, harus dipimpin oleh politik. Tapi tidak hanya itu. Alat-alat negara harus pula mengerti tentang negara karena mereka merupakan sebagian daripada negara.

KEKUASAAN NEGARA HARUS SEPENUHNYA DI TANGAN KAUM REVOLUSIONER

Negara adalah alat daripada golongan yang berkuasa di dalam masyarakat untuk melakukan kekuasaannya itu. Jadi, negara adalah alat kelas. Seperti telah saya jelaskan, revolusi ditujukan untuk mengubah hubungan hubungan produksi, yaitu untuk mengubah susunan masyarakat. Jika kelas atau kelas-kelas (dalam hal negeri kita, seluruh Rakyat yang anti-imperialis) yang sedang berevolusi berhasil memegang kekuasaaan itu, maka negara akan dapat mengabdi sepenuhnya kepada revolusi itu. Hanya jika kekuasaan negara berada didalam tangan kaum revolusioner, baru kita dapat berkata tentang negara sebagai alat revolusi. Tetapi jika negara masih dikuasai oleh kelas-kelas yang menentang revolusi, oleh kaum reaksioner, maka negara menghambat revolusi atau menjadi alat kontra revolusi

Seperti kita sama-sama mengetahui, negara Republik Indonesia lahir dalam perjuangan revolusioner, jadi seharusnya mengabdi kepada revolusi. Tetapi seperti kita sama-sama mengetahui, revolusi Indonesia belum selesai walaupun sudah hampir 18 tahun sejak Proklamasi Negara Republik Indonesia. Pengalam pengalaman kita memang menunjukan bahwa negara kita tidak selalu atau tidak seluruhnya mengabdi kepada revolusi. Seandainya ia selalu atau seluruhnya mengabdi kepada revolusi, sudah tentu revolusi kita sudah lama selesai.

Tetapi sebaliknya, negara kita itu juga tidak selalu atau seluruhnya menghambat revolusi. Sama sekali tidak. Jadi, ada dua segi dalam kekuatan negara Republik kita, yaitu ada segi pro-Rakyat tapi ada juga segi anti-Rakyat. Segi pro-Rakyat mendorong dan mengabdi kepada revolusi sedangkan segi anti-Rakyat menghambat revolusi. Ini berarti bahwa jika kita mau membikin negara Republik kita sepenuhnya dan selalu mengabdi kepada revolusi dan memang itulah yang harus menjadi tujuan setiap orang revolusioner, maka segi anti-Rakyat harus dilenyapkan dan segi pro-Rakyat harus dimenangkan. Ini berarti, kita harus melenyapkan segi kontra-revolusioner dan memenangkan segi revolusioner. Tujuan ini harus dicapai antara lain melalui rituling aparat negara. Dengan demikian rituling adalah salah satu tugas revolusioner, satu keharusan, sesuatu yang mutlak perlu jika revolusi kita mau diselesaikan.

RITULING MUTLAK PERLU UNTUK REVOLUSI KOMPLIT

Seperti dikatakan oleh Bung Karno dalam pidato Jarek (17 Agustus 1960), rituling aparat negara harus ditujukan kepada “orang orang yang otak dan hatinya telah berdaki berkarat tak dapat menyesuaikan diri dengan Manipol-Usdek. Sungguh alat-alat yang lama itu harus kita ritual”, (Tubapi, hal 211). Artinya rituling harus ditunjukan kepada orang-orang yang tak dapat menyesuaikan diri dengan revolusi kita, Rituling yang demikian, kata Bung Karno dalam Jarek, adalah bagian dari “ Revolusi Komplit yang kita lakukan, yaitu Revolusi penuh dari atas dan dari bawah“, Jadi, tanpa rituling aparat negara, Revolusi Indonesia tidak bisa komplit.

Dan apa yang dimaksudkan oleh Bung Karno dengan “ revolusi dari atas dan dari bawah”? Saya kutip lagi dari pidato Jarek itu, sbb:” dari atas, dengan adanya rituling terhadap aparat dan sistim; dari bawah, karena rituling aparat negara dan sistim itu dilakukan sesuai dengan desakan Rakyat dan didukung pula oleh Rakyat. ( Tubapi, hal 241).

Desakan Rakyat Indonesia pada saat ini agar kegotongroyongan nasional yang berporoskan NASAKOM dicapai di semua bidang, termasuk pula di bidang eksekutif, ialah desakan yang sepenuhnya sesuai dengan apa yang dinamakan oleh Bung Karno sebagai rituling yang merupakan bagian mutlak daripada Revolusi Komplit kita.

Demikianlah, beberapa hal yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini mengenai politik. Saya sengaja membahas masalah ini agak panjang dan member perhatian kepada hal-hal yang bisa dikatakan sangat pokok, hal yang bahkan bersifat elementer dalam kenyataan sering tidak dimengerti atau pura-pura tidak dimengerti, pun oleh orang-orang yang membanggakan dirinya sebagai seorang politikus yang hebat, sehingga akibatnya semua hal yang bersangkutan dengan revolusi menjadi kabur dan meleset. Tidak salah kiranya kalau dari waktu ke waktu kita kembali kepada soal-soal yang elementer itu untuk membikin segar kembali pengertian kita tentang revolusi kita.           

II. BEBERAPA SOAL TENTANG PETAHANAN

            Jika hal hal mengenai politik sudah jelas, tidak akan sulit kiranya untuk mengadakan pembahasan tentang masalah pertahanan. Sama halnya seperti di bidang-bidang lain, juga di bidang pertahanan politik memegang peranan memimpin politik adalah jenderal. Kita harus dipimpin oleh politik. Untuk kita di Indonesia, ini berarti bahwa pertahanan nasional kita harus dipimpin oleh Manifesto Politik karena itulah politik kita politik revolusi kita. Pertahanan yang dijalankan oleh Angkatan bersenjata republik Indonesia mempunyai tugas pokok untuk menyelamatkan dan memenangkan Revolusi. Oleh karena itu, Angkatan Bersenjata RI harus di atas segala-galanya berdiri di pihak Rakyat. Angkatan Bersenjata RI harus konsekwen anti-imperialis dan anti-feodal. Pertahanan nasional RI harus konsekwen anti imperialis dan anti feodal.

DWITUNGGAL ANGKATAN BERSENJATA DAN RAKYAT UNTUK REVOLUSI

            Sudah sejak lama kaum Komunis Indonesia menyerukan dan menjungjung tinggi semboyan : Dwitunggal Angkatan Bersenjata dan Rakyat. Hal ini menggambarkan hakekat daripada hubungan pertahanan dengan politik. Gagasan dwitunggal ini bisa dijelaskan pula sebagai hubungan antara ikan dengan air. Airnya adalah Rakyat. Sudah jelas, ikan tak mungkin hidup di luar air. Tetapi juga di dalam air, jika airnya beracun, ikan tidak bisa hidup. Bagi Angkatan Bersenjata Rakyat yang terpecah-belah adalah bagaikan air beracun bagi ikan. Oleh karena itu semboyan Dwitunggal Angkatan Bersenjata dan Rakyat hanya bisa menjadi realitas jika semua pihak tanpa perkecualian menjaga air itu supaya bersih, bersih dari segala macam racun yang berupa Komunis-phobi, massa-phobi dll.

Semboyan Dwitunggal Angkatan Bersenjata dan Rakyat sebenarnya sudah lama menjadi semboyan itu tidak terlalu  diberi pengertian yang tegas dan benar. Ada orang yang mengira bahwa Dwitunggal angkatan Bersenjata dan Rakyat atau hubungan ikan dengan air bisa diwujudkan jika Angkatan Bersenjata “ hidup ditengah-tengah Rakyat”, Hal ini sudah tentu sangat penting, sebab Angkatan Bersenjata yang menjadi bagian daripada revolusi rakyat benar-benar harus menjadi bagian tak terpisahkan dari rakyat itu. Tetapi jangan kita membatasi hubungan dwitunggal ini kepada sekedar “hidup ditengah-tengah Rakyat”. Maksudnya jauh lebih mendalam lagi yaitu Angkatan Bersenjata harus terdiri dari Rakyat, mengabdi kepda Rakyat dan berjuang untuk Rakyat. Ini tak lain berarti bahwa Angkatan Bersenjata harus mengabdi kepada revolusi dan berjuang untuk revolusi artinya tunduk kepada strategi umum Revolusi Indonesia.

Mengenai Hal ini presiden Sukarno berkata sbb. Dalam pidati Re-so-pim :” Mereka (artinya Angkatan Bersenjata. DNA) adalah alat Revolusi, mereka adalah Angkatan Bersenjatanya Revolusi. Mereka Harus setia kepada sumbernya, yaitu Revolusi. Yaitu Rakyat. Mereka harus mengabdi kepada Rakyat, mendahulukan kepentingan Rakyat daripada kepentingan lain-lain. Mereka tak boleh melukai perasaan Rakyat. Mereka harus menjadi Angkatan Bersenjata yang disukai dan dicintai Rakyat… Bedil di tangan Angkatan Bersenjata harus ibarat bedil di tangan Rakyat, untuk melindungi hak-hak Rakyat dan untuk mempertahankan Negaranya Ranyat dan Revolusinya Rakyat. Dalam Revolusi kita sekarang ini, dan seterusnya, tidak boleh ada pertentangan atau kontradiksi antara Angkatan Bersenjata dan Rakyat!” (Re-so-pim, hal 37-38)

Jadi, ini semua bukan sekedar suatu hubungan yang harus diadakan di antara Angkatan Bersenjata dengan Rakyat. Ini harus menjadi doktrin Angkatan Bersenjata yang menjiwai seluruh aparat pertahanan kita.

Angkatan laut kita yang sudah memainkan peranan yang vital dalam perjuangan untuk menumpas pemberontak PRRI-Permesta dan yang telah secara berani mengambil bagian dalam perjuangan untuk membebaskan Irian Barat dari penjajahan Belanda, telah secara nyata mengabdi kepada Rakyat dan berjuang untuk Rakyat. Prajurit prajurit ALRI tak lain tak bukan adalah anak-anak Rakyat, terutama kaum buruh, kaum tani, kaum miskin kota, dsb. Bintara-bintara dan perwira perwira ALRI juga pada umumnnya berasal dari Rakyat.

Pengertian tentan doktrin Angkatan Bersenjata seperti saya kemukakan di atas sudah saya ajukan pula beberapa minggu yang lalu ketika saya berbicara di muka Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD). Memang, menurut pendapat saya, soal doktrin ini adalah sama untuk semua Angkatan Bersenjata kita. Hanya jika semua Angkatan Bersenjata dijiwai oleh satu doktrin dapat kita berbicara tentang adanya satu doktrin pertahanan nasional, tentang adanya pertahanan nasional yang mengabdi kepada revolusi. Ini merupakan satu satunya dasar yang kokoh untuk mencapai kesatuan dan koordinasi yang efektif dan stabil antara keempat Angkatan Bersenjata kita.

Karena letak dan susunan geografisnya, Indonesia memerlukan pertahanan baik di darat, di laut maupun di udara. Kesatuan dan koordinasi yang efektif dan sikap hormat-menghormati antara keempat Angkatan Bersenjata, merupakan hal yang sungguh menentukan sekali. Tak dapat dibenarkan jika terhadap salah satu Angkatan diberikan kedudukan lebih tinggi dan lebih rendah.

YANG PRIMER POLITIK BUKAN GEOGRAFI

Sistim pertahan nasional negeri kita, seperti hanya untuk setiap negeri, sudah dengan sendirinya tidak bisa dilepaskan dari letak dan susunan geografis negeri kita. Hal-hal itu mempunyai konsekwensi-konsekuensi yang penting bagi struktur pertahanan nasional, Negeri kita terletak di persimpangan jalan antara dua samudera, dan seakan-akan menjadi batu loncatan antara daratan Asia dengan Australia. Tapi hal letak ini buka hanya masalah ilmu bumi melainkan pula masalah politik karena kita ketahui negara-negara tetangga kita yang paling dekat atau negeri-negeri yang menguasai lautan yang mengelilingi kita adalah negara-negara yang terikat langsung atau tidak, dengan SEATO, itu pakta agresif imperialis yang didirikan oleh kaum imperialis AS. Karena ini, Indonesia selamanya menghadapai tekanan-tekanan yang sangat kuat untuk mengubah politik luar-negerinya yang tegas anti-imperialis dan untuk menggabungkan diri dengan SEATO.

Susunan geografis negeri kita sebagai negeri kepulauan yang sangat luas juga mempunyai arti yang besar karena mengharuskan kita untuk memberikan tekanan yang istimewa pada kebutuhan memelihara dan memperkuat hubungan-hubungan, baik di laut maupun di udara, antara pulau-pulau seluruh tanah air. Tapi hal bentuk dan luas inipun bukan hanya masalah ilmu bumi, melainkan pula masalah politik, karena kaum reaksi dan kontra revolusi selalu mempergunakan fakta ini untuk maksud-maksud jahat mereka dalam menggerowoti kesatuan negeri kita.

Pandangan yang saya kemukakan ini hendaknya jangan disamakan dengan pandangan geo-politik yang terkutuk itu. Letak dan bentuk geografis negeri kita harus diperhatikan dan dipergunakan dengan sebaik-baiknya dengan tujuan pokok untuk mengabdi kepada revolusi. Jadi yang pertama-tama adalah revolusi, bukan geografis. Pandangan geopolitik sebaliknya mendasarkan segala sesuatu kepada letak dan susunan geografis sesuatu negeri. Pada azasnya, pandangan geopolitik yaitu penggunaan ilmu bumi untuk menentukan strategi dan politik, bertujuan membenarkan expansi bagi negara-negara imperialis dan sebaliknya bagi negara-negara yang menjadi obyek ekspansi imperialis itu geopolitik bertujuan membenarkan kapitulasi atau politik menyerah kepada ekspansi imperialis itu. Karena itu geopolitik sepenuhnya merupakan pandangan yang mengabdi kepada imperialisme.

Salahsatu eksponen utama pandangan geopolitik ini ialah Sir Halford John Mackinder (1861-1947) seorang ahli ilmu bumi Inggris. Menurut teori Mackinder siapa yang berhasil menguasai apa yang dia namakan “bulan sabit luar” (outer crescent) yaitu kepulauan-kepulauan yang berdekatan dengan pantai daratan luas Eropa-asia ( Inggris sendiri, Lautan Tengah, Kepulauan- Kepulauan di lautan Hindia, Kepulauan Indonesia, Filipina sampai Jepang), dari juga dapat menguasai apa yang dinamakan ”bulan sabit dalam“ (inner crescent), yaitu negara-negara yang terletak di tepi daratan luas AsiaEropa itu (termasuk Eropa,TimurTengah,India dan Tiongkok) akan berhasil pula menguasai apa yang dia namakan “daerah poros”, “ daerah jantung” atau “ heart land” yaitu Rusia (sekarang Uni soviet), dan akan juga berhasil menguasai seluruh dunia.

Pandangan geopolitik juga diperkembangkan oleh seorang militeris Jerman. Karl Haushofer (1869-1946) seorang inspirator utama politik expansionisme kaum fasis Jerman. Berdasarkan suatu pembagian dunia yang secara sewenang-wenang  dia mendesak supaya dunia ditempatkan di bawah kekuasaan Jerman dan Jepang.

Kaum militeris Amerika Serikat juga sangat sibuk memperkembangkan pandangan geopolitik, misalnya Nichols Spykman, yang justru banyak mempergunakan teori Mackinder untuk mengilhami politik agresi imperialis Amerika Serikat guna mengepung Uni Sovyet, nergeri Sosialis pertama di dunia, dengan pangkalan-pangkalan perang dan guna berusaha menghancurkan negeri Sosialis itu.

PANDANGAN GEOPOLITIK BERTENTANGAN DENGAN PANDANGAN REVOLUSIONER

Indonesia harus mempunyai strategi dan politik yang tegas didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan revolusi kita. Pandangan pandangan geopolitik samasekali tidak boleh diberi tempat dalam rangka teori pertahanan nasional negeri kita, ataupun dalam menentukan politik luar negeri kita. Kontradiksi yang sangat tajam antara pandangan geopolitik dengan pandangan revolusioner terhadap doktrin pertahanan dapat dirasakan dengan jelas sekali jika kita membaca buku Jenderal Mayor Simatupang, Pelopor Dalam Perang Pelopor Dalam Damai. Jenderal Mayor ini jelas menjadikan dirinya seorang exponent geopolitik dengan mengatakan:” pengaruh faktor ilmu bumi dalam politik suatu negara pada pokoknya adalah lebih kuat daripada factor ideology”, (hal 132). Lebih kuat dari factor ideology tidak bisa lain juga berarti lebih kuat dari faktor politik. Geopolitik bisa sangat membahayakan negara dan revolusi kita karena, berdasarkan pandangan yang demikian, ada saja orang-orang yang berusaha menjiwai politik nasional dan internasional kita dengan sikap menyerah, sikap takut, sikap yang melihat semua perkembangan politik kekuasaan dan oleh karenanya akan menempatkan kita hanya pada satu kemungkinan, yaitu menyesuaikan diri dengan perebutan kekuasaan (“perang dingin”) ini. Dapat kita membaca, misalnya, di dalam bukunya Jenderal Mayor Simatupang itu, bahwa “ dunia masih tetap dikuasai oleh politik kekuasaan, oleh ketakutan utnuk dikepung dan diserang, sehingga semuanya merasa dirinya terpaksa mengadakan persekutuan yang harus mengimbangi bahaya serangan yang dikhawatirkan”. (hal 143). Dari sini jelas sekali bahwa negeri yang menjadi obyek politik ekspansi, seperti Indonesia, geopolitik dipergunakan untuk menimbulkan rasa takut,rasa menyerah, dan lebih dari itu, untuk membenarkan persekutuan persekutuan atau blok-blok militer yang agresif dan bahkan guna membenarkan supaya Indonesia ikut di dalam suatu blok itu.

Secara praktis, sikap ini tentu membawa mereka yang bersikap demikian kepada kesimpulan-kesimpulan tentang politik luar dan dalam negeri yang sangat bertentangan dengan politik kita berdasarkan haluan negara kita, Manifesto Politik. Pandangan geopolitik Jenderal Mayor Simatupang membawanya kepada kesimpulan kesimpulan tentang politik luar negeri kita sbb,:

“Apa yang dapat kita jalankan ialah berusaha agar di antara negara-negara di daratan Asia dan kita sendiri selalu terdapat persahabatan dan agar suasana dalam hubungan negara-negara di daratan Asia itu dengan kita dan di antara mereka jangan sampai diliputi oleh semangat politik kekuasaan, melainkan oleh semangat saling hormat menghormati terhadap kedaulatan masing-masing” (hal149). Politik yang demikian sama sekali memisahkan politik luar negeri kita dari tujuan Revolusi Indonesia. Dasar-dasar politik luar negeri Republik Indonesia sudah terang anti imperialisme, anti neo-kolonialisme dan pro-perdamaian, atau menurut kerangka ketiga Manipol: “persahabatan baik antara Republik Indonesia dan semua negara di dunia, terutama sekali dengan negara-negara Asia Afrika, atas dasar hormat menghormati dan atas dasar bekerja sama membentuk satu Dunia Baru yang bersih dari imperialisme dan kolonialisme, menuju kepada Perdamaian Dunia yang sempurna”. (Tubapi, hal,81).

PANDANGAN GEOPOLITIK MENGEBIRI POLITIK LUARNEGERI KITA YANG ANTI IMPERIALIS

Pandangan geopolitik mengebiri politik luar negeri kita karena meniadakan cirri anti imperialisnya yang merupakan ciri terpokok. Soal menjadi tetangga, demikian pula soal persamaan rasa tau berasal dari satu rumpun bangsa tidak bisa dipergunakan sebagai dasar bukti bagi politik luar negeri kita. Hendaknya hal ini diperhatikan benar dalam menghadapi usaha-usaha yang sedang dilakukan untuk mencapai kerjasama yang berbentuk suatu konfederasi yang dinamakan Maphilindo. Sudah jelas bahayanya ialah bahwa dasar ‘ tetangga’, ‘satu ras’ atau “berasal dari satu rumpun bangsa” berarti mengebiri politik konfrontasi kita terhadap komplotan agresif kaum imperialis dengan kaum reaksioner Malaya yang Neo-kolonialis. Ia juga berarti mengebiri politik dukungan penuh “as a matter of principle” terhadap perjuangan kemerdekaan Rakyat Kalimantan Utara yang telah menyatakan hak menentukan nasib sendiri dengan memproklamasikan Negara Kesatuan Kalimantan Utara pada tanggal 8 Desember 1962. Penegasan kembali oleh Bung Karno beberapa hari yang lalu di dalam resepsi penutupan Kongres Partai Katolik dan kemudian di hadapan para perwira SESKOAD tentang politik kontfrontasi Indonesia terhadap pembentukan Malaysia secara logis berarti bahwa sudah lebih tidak ada dasar untuk melanjutkan KTT Tiga Negara yang direncanakan di Manila tanggal 30 Juli nanti.

Bahwasanya pandangan geopolitik mengakibatkan politik menyerah kepada agresi imperialis dapat pula kita lihat dari kesimpulan berikutnya yang ditarik oleh Jen-Mayor Simatupang dalam bukunya yang telah saya kutip di atas, di mana dia menulis selanjutnya bahwa “sebagai negara maritim harus juga kita usahakan hubungan persahabatan dengan negara-negara yang menguasai lautan sekitar negeri kita”. (hal 149). Kesimpulan ini sungguh suatu kesimpulan yang menimbulkan kemarahan dalam hati tiap-tiap patriot Indonesia. Siapa negara-negara yang menguasai lautan di sekitar negeri kita kalau bukan negara-negara SEATO? Politik macam apa ini yang menetapkan bahwa kita harus bersahabat dengan negara-negara SEATO, dengan alasan bahwa mereka mengelilingi negeri kita? Tak lain, ini politik kapitulasi. Padahal justru karena negara-negara SEATO mengelilingi kita, kita harus menganggap mereka sebagai musuh yang berbahaya. Bukankah sikap kapitulasi ini suatu tantangan tegas terhadap sikap rakyat Indonesia yang sudah sejak dahulu menolak untuk mengadakan persahabatan dengan SEATO, yang menolak dengan tegas untuk diseret ke dalam blok SEATO yang imperialis dan agresif itu?

KONSEPSI MARITIM KITA HARUS TEGAS REVOLUSIONER ANTI IMPERIALIS

Kesimpulan Simatupang ini merupakan persoalan penting, terutama bagi Angkatan Laut kita karena justru menyangkut kedudukan negeri kita sebagai “negeri Maritim”. Apakah karena Indonesia adalah negeri maritim, maka ia harus bersahabat dengan SEATO? Apakah karena Indonesia adalah negara maritim, maka ALRI kita yang anti-imperialis harus mengadakan latihan latihan perang dengan angkatan laut negara-negara SEATO yang imperialis?

Mari kita secara singkat membahas soal kedudukan negeri kita sebagai negeri maritim. Apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan sebutan itu? Bagaimana menginterpretasikan pandangan yang demikian dalam rangka doktrin pertahanan nasional yang harus tunduk kepada strategi umum Revolusi Indonesia? Bagaimana seharusnya konsepsi maritime yang revolusioner?

Memang benar Indonesia adalah negara maritim dan harus menjadi negeri maritim yang kuat. Tradisi ini sudah tertanam sejak berabad-abad yang lalu dengan kepahlawanan Rakyat Indonesia di lautan luas, jauh sebelum kedatangan kaum kolonialis Belanda. Pelaut-pelaut kita dapat membanggakan tradisi nenek moyang kita yang mencapai prestasi yang tinggi dalam memelihara hubungan hubungan laut dengan mengarungi samudera samudera. Dapat kita ketahui pula bahwa zaman-zaman kejayaan dalam sejarah negeri kita justru terjadi pada waktu kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Majapahit yang keduanya mempunyai kekuatan di laut dan dapat memelihara hubungan antar pulau yang baik. Tapi perlu diperhatikan pula bahwa keruntuhan kerajaan Sriwijaya yang akhirnya merosot menjadi terror bajak laut disebabkan karena kekuatan di laut tidak disertai perkembangan hubungan hubungan di daratan.

Sebaliknya, Kaum imperialis Belanda dulu dapat menundukkan negeri kita karena mereka berhasil mematahkan kekuatan kita di laut dan mendesak kerajaan Mataram yang tidak mempunyai kekuatan dilaut.

KONSEPSI MARITIM IMPERIALIS TIDAK COCOK BUAT INDONESIA

Letak dan susunan geografis negeri kita mengharuskan kita untuk menjadikan Republik kita sebagai negara Maritim. Tetapi dalam mengartikan sebutan ini, tidak benar jika kita mencari dasarnya dalam konsepsi-konsepsi maritime dari negara negara imperialis seperti Inggris, Amerika dan Jepang.

Konsepsi maritime biasanya didasarkan kepada teori-teori Alfred Thayer Mahan (1840-1914), seorang Admiral Amerika yang umumnya dianggap sebagai bapaknya konsepsi konsepsi maritime modern Inggris dan Amerika. Mahan berusaha membuktikan bahwa kejayaan di laut mempunyai pengaruh yang bersifat menentukan bagi perkembangan sejarah dan ide-idenya itu mengilhami pembangunan angkatan-angkatan laut AS dan Inggris di zaman Imperialime. Konsepsi yang demikian yang memang seluruhnya diabdikan kepada kepentingan-kepentingan ekspansi imperialis seperti yang terbukti dari perkembangan perkembangan sejarah sejak permulaan abad ke 20 ini. Sudah tentu tidak sesuai sama sekali dengan kepentingan-kepentingan kita, di mana konsepsi negara maritime menjadi bagian integral daripada doktrin pertahanan nasional yang revolusioner dan anti imperialis. Untuk Indonesia, kita wajib menyusun konsepsi negara maritim yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan revolusi kita yang anti-imperialis. Yang ditujukan kepada menggunakan kekuasaan di lautan kita yang sangat luas untuk menyelamatkan Republik kita dari agresi agresi dari luar serta menghancurkan kegiatan-kegiatan kontra-revolusi dan subversi dari dalam.

Pertama, konsepsi maritime negara kita harus ditujukan untuk mempertahankan Negara Kesatuan kita, sesuai dengan kerangka pertama dari tiga kerangka Manipol. Bukanlah menjadi pengalaman kita yang pahit bahwa usaha untuk merongrong Negara Kesatuan kita selalu merupakan tujuan pokok dari kaum kontra revolusi, yaitu dengan gerakan-gerakan separatis, dengan usaha-usaha untuk menguasai pulau-pulau tertentu, dengan memutuskan hubungan-hubungan antara Rakyat di satu pulau dengan Rakyat di pulau lain dan dengan mempertentangkan “ pusat” dengan” daerah daerah” ? Menjaga keutuhan wilayah merupakan tugas vital dalam menghadapi kaum separatis, seperti telah dibuktikan oleh pengalaman-pengalaman kita sewaktu pemberontakan PRRI-Permesta. Untuk itu pula, ALRI harus juga menguasai kemahiran mendaratkan pasukan-pasukan di wilayah musuh dan menjamin logistik yang terus-menerus.

Tidak kalah penting pula usaha-usaha ALRI untuk menjaga keselamatan armada niaga kita yang mempunyai tugas penting dalam memperbaiki keadaan ekonomi dan melancarkan roda-roda perekonomian kita. Demikian pula lautan-lautan kita harus terus-menerus dijaga agar bersih dari penyelundupan yang sangat merugikan itu. Tugas-tugas ini semua perlu diberi tempat dalam konsepsi maritime kita.

Kedua, konsepsi maritime negara kita harus bertujuan memperkuat politik  luarnegeri yang anti-imperialis, yaitu untuk menjaga perbatasan-perbatasan kita yang sedemikian panjang itu terhadap serangan fihak imperialis dan dengan tegas menghadapi blok imperialis SEATO dll, yang mengelilingi negeri kita serta memperkuat hubungan-hubungan dengan negara-negara the new emergecing forces. Perkembangan-perkembangan pada waktu akhir ini membuktikan bahwa kaum imperialis yang dikepalai oleh imperialis AS sedang memperhebat usaha-usahanya untuk membangun serangkaian pangkalan-pangkalan di sekitar kepulauan Indonesia. Maksud AS mendirikan pangkalan-pangkalan Angkatan Laut di Australia Barat Daya dan membantu India mendirikan pangkalan-pangkalan di kepulauan Andaman dan Nikobar harus diperhatikan benar-benar sebagai ancaman baru terhadap kemerdekaan nasional kita, sebagai usaha untuk “ mengepung” gerakan kemerdekaan nasional di Asia Tenggara.

Politik luar negeri Republik Indonesia yang anti-imperialis mendapat perwujudannya dalam gagasan the new emerging forces yang teah diperkembangkan, terutama sejak pidato yang diucapkan oleh Bung Karno di dalam Konferensi Negara negara Non-Aligned dalam tahun 1961. Konfrontasi antara the new emerging forces (NEF) yang terdiri dari negara-negara sosialis, negara-negara baru merdeka yang anti-imperialis dan kekuatan-kekuatan progresif lainya di seluruh dunia, dengan the old established forces (OEF) yang terdiri dari negara-negara imperialis, negara-negara kolonialis, agen-agen mereka dimanapun juga serta kekuatan-kekuatan reaksioner lainnya di seluruh dunia sungguh merupakan suatu tantangan yang tegas terhadap pandagan geopolitik. Geopolitik bertujuan mengabdi kepada politik ekspansi di satu fihak dan untuk mengabdi kepada politik kapitulasi (menyerah) di fihak lain. Politik konfrontasi antara the new emerging forces dan the old established forces bertujuan menghimpun semua kekuatan-kekuatan anti-imperialis untuk menggagalkan agresi dan intervensi imperialis, untuk menyokong perjuangan kemerdekaan, untuk membela kemerdekaan nasional untuk memperkuat negeri negeri sosialis dan untuk mencapai perdamaian dunia.

PERTAHANAN RAKYAT, BUKAN "TERRITORIAL WAR"

Setelah memberikan uraian yang menyeluruh yang menyeluruh tentang beberapa hal yang berhubungan dengan teori pertahanan nasional, saya ingin dalam bagian terakhir ini, menyoroti prinsip-prinsip pokok pertahanan nasional kita seperti telah ditetapkan dalam ketetapan MPRS No. II?1960 serta lampiran lampirannya Ketetapan MPRS, pasal 4, ayat 4 dan 5 berbunyi sbb:

“Politik keamanan/pertahanan Republik Indonesia berlandaskan Manifesto Politik Republik Indonesia beserta perinciannya dan berpangkal kepada kekuatan Rakyat dengan bertujuan menjamin keamanan/pertahanan nasional serta turut mengusahakan terselenggaranya perdamaian dunia”

“Pertahanan Negara Republik Indonesia bersifat defensive-aktif dan bersikap anti-Kolonialisme dan anti-imperialism dan berdasarkan pertahanan Rakyat semesta yang berintikan tentara sukarela dan milisi”

Bab III, ayat (41) dari Lampiran A daripada Ketetapan MPRS  tersebut yang mempunyai kekuatan sebagai penyempurnaan terhadapa Garis garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana karya Depernas berbunyi sbb:

“Sebagai konsekwensi daripada bentuk dan sifat keamanan/pertahanan RI itu, maka Angkatan Perang Republik Indonesia turut serta menyelesaikan tuntutan tuntutan revolusi Nasional, dalam bidangnya masing-masing”.

Selain menetapkan hubungan yang tegas antara sifat dan sikap pertahanan nasional kita dengan dasar-dasar Revolusi serta pokok-pokok politik luar negeri kita yang telah dijelaskan secara lebih terperinci di atas, ketentuan-ketentuan MPRS ini member tekanan yang kuat kepada keharusan supaya politik keamanan pertahanan negeri kita berpangkal kepada kekuatan  Rakyat  serta berdasarkan pertahanan Rakyat semesta. Tekanan-tekanan itu sepenuhnya sesuai dengan tradisi perjuangan bersenjata negara serta Rakyat kita selama tahun 1945 sampai 1948.

Prinsip-prinsip ini berarti bahwa Angkatan Bersenjata kita dibangun untuk dapat pada setiap waktu menyelenggarakan perang bersama-sama dengan Rakyat yaitu pada hakekatnya menyelenggarakan perang Rakyat. Ada teoritikus-teoritikus militer yang menganggap  bahwa “perang Rakyat berpokok kepada kelemahan dari suatu negara” (lihat bukunya Jenderal Mayor Simatupang, hal 173) yaitu mencerminkan keterbelakangan suatu masyarakat  agraris yang tidak mempunyai angkatan-angkatan bersenjata modern. Pandangan ini didasarkan pada tulisan-tulisan Karl von Clausewitz (1780-1831), seorang jenderal Prusia, yang mencerminkan kepanikan kaum junker Prusia terhadap pemberontakan-pemberontakan kaum tani melawan feodalisme di zaman revolusi borjuis. Menurut pandangan yang diajukan oleh Simatupang itu, jika Angkatan Bersenjata telah dapat dibangun secara modern di lapangan ilmu pengetahuan, tehnik dan perindustrian, maka perang Rakyat menjadi hal yang tidak diperlukan lagi. Bahkan dia sependirian dengan Liddell Hart, penulis militer Inggris yang sangat menyesali perkembangan-perkembangan perang gerilya di negeri-negeri Eropa Timur karena telah menjadi dasar kokoh bagi berdirinya negara-negara sosialis disana, yang berpendapat bahwa perang Rakyat harus dielakkan karena “ meninggalkan akibat-akibat yang berat” (Simatupang hal 176).

Pandangan ini, yaitu yang mempertentangkan dasar-dasar kerakyatan daripada sistim pertahanan nasional kita dengan usaha-usaha untuk membangun Angkatan Bersenjata yang modern, tidak dibenarkan oleh Ketetapan MPRS yang baru saya kutip. Pandangan keliru ini didasarkan pada teori pertahanan yang diperkembang di Yugoslavia, terutama oleh seorang Jenderal Yugoslavia, Kveder di dalam tulisannya yang berjudul “Territorial War” dan yang dimuat di dalam majalah Yugoslavia Foreign Affairs, bulan Oktober, 1953. Di dalam tulisan itu, diusahakan untuk menggantikan tradisi-tradisi perlawanan Rakyat Yugoslavia (gerilya atau partisan), di mana Rakyat mengangkat senjata untuk bertempur melawan musuh, dengan suatu sistim pertahanan yang berdasarkan kekuatan bersenjata modern di mana kekuatan-kekuatan Rakyat hanya diberi peranan sekunder dalam keadaan di mana angkatan darat terpaksa mundur dan menjalankan perlawanan di wilayah luas secara terpencar-pencar. Dalam sistem demikian, selanjutnya prinsip bahwa semua Angkatan Bersenjata memegang peranan yang sama penting juga dilanggar karena Angkatan Laut dan Angkatan Udara hanya dapat memegang peranan yang bersifat membantu.

Pembangunan Angkatan Bersenjata RI dengan peralatan yang serba modern seperti telah terjadi selama beberapa tahun ini sangat dibanggakan oleh seluruh Rakyat Indonesia sebab dengan demikian kemungkinan menyelamatkan dan memenangkan revolusi kita sesuai dengan kehendak Rakyat menjadi lebih pasti lagi. Dengan Angkatan Bersenjata yang modern dan dengan sistim pertahanan nasional yang “ berpangkal kepada kekuatan Rakyat… dan berdasarkan pertahanan Rakyat”, seperti dicantumkan dalam Ketetapan MPRS, tidak ada kekuatan di dunia yang akan bisa melawan arus Revolusi Indonesia dan Menghancurkan Republik kita.

JANGAN CAMPURI BIDANG YANG BUKAN BIDANGNYA

Lampiran A daripada Ketetapan MPRS yang telah saya kutip di atas juga menetapkan suatu prinsip yang amat penting, yaitu tentang kedudukan Angkatan Bersenjata di dalam masyarakat di mana dikatakan bahwa “ Angkatan Perang RI turut serta menyelesaikan tuntutan tuntutan revolusi Nasional dalam bidangnya masing masing”. Kalau kita mau berbicara tentang kedudukan Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian Negara sebagai karyawan, maka sudah jelas setiap Angkatan itu sudah semestinya diberikan tempat di berbagai lembaga negara, sampai kepada lembaga-lembaga tertinggi, di bidang legislative maupun eksekutif. Di lembaga-lembaga itu, mereka mewakili bidang mereka masing-masing karena bidang-bidang itu memainkan peranan yang vital bagi penyelesaian Revolusi kita dan sudah barang tentu ini akan memperkuat hubungan-hubungan di antara bidang-bidang itu. Prinsip supaya masing-masing turut serta dala pekerjaan yang luhur ini secara “gotong royong” harus menjadi ciri daripada usaha seluruh masyarakat Indonesia. Sesuai dengan ini, perlu dihindari usaha usaha untuk mencampuri bidang-bidang lain yang bukan bidangnya Angkatan Bersenjata, karena ini  dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan yang merugikan bagi kepentingan-kepentingan nasional kita semua. Maupun bagi nama baik tiap Angkatan Bersenjata kita. Usaha-usaha yang demikian dapat merusak dwitunggal antara Angkatan Bersenjata dan Rakyat.

III. KESIMPULAN-KESIMPULAN

Sebagai akhir kata, ada baiknya kiranya kalau saya secara singkat berusaha menyimpulkan pokok-pokok yang telah saya kemukakan dalam ceramah ini.

Pertama. Angkatan Laut RI seperti halnya setiap Angkatan Bersenjata, harus mengabdikan diri kepada revolusi Indonesia, sesuai dengan tradisi-tradisi kepahlawanan pelaut-pelaut kita, baik di zaman penjajahan Belanda dengan pemberontakan di atas kapal “Zeven Provincien” maupun di zaman perjuangan membela republik kita, sampai kepada perjuangan untuk membebaskan Irian Barat. Untuk tugas ini, maka politik revolusioner harus difahami secara mendalam, karena ALRI bersama-sama dengan angkatan angkatan lainnya harus dipimpin oleh politik revolusioner itu, dipimpin oleh Manipol.

Kedua, ALRI seperti halnya semua Angkatan Bersenjata RI, adalah alat pembela dan penyelamat Revolusi, dan harus membela Rakyat, bersatu dengan Rakyat, dan sependirian dengan Rakyat tak lain karena ALRI kita memang merupakan bagian integral daripada Rakyat, dan terdiri dari Rakyat.

Ketiga, negeri kita berwilayah luas, terdiri dari beribu-ribu pulau, besar dan kecil, dengan pantai yang amat panjang, dengan lautan-lautan luas, dan berpenduduk 100 juta orang. Negeri kita ini masih belum merdeka penuh, yaitu masih terdapat pengaruh pengaruh imperialism dan kolonialisme, dan juga masih semi feodal, dan oleh karena itu ALRI kita harus memupuk terus ciri kepribadiannya yang anti fasis, demkratis, anti imperialis dan bercita cita sosialisme. Hanya dengan demikian akan terdapat dasar yang kokoh untuk turut serta menyelesaikan Revolusi Indonesia yang anti imperialis dan anti feodal dan berhari depan Sosialisme.

Keempat, politik pertahanan nasional kita harus sesuai sepenuhnya dengan revolusi kita. Faktor-faktor seperti letak geografis harus dipergunakan seefektif-efektifnya untuk tujuan-tujuan revolusi kita. Pandangan geopolitik yang bertujuan membenarkan politik ekspansi di satu pihak dan politik menyerah-isme di pihak negeri-negeri yang menjadi obyek kaum ekspansionis imperialis, dengan sendirinya tidak bisa diberi tempat dalam politik pertahanan nasional kita yang harus di atas segala-galanya bersifat revolusioner dan dipimpin oleh politik revolusioner ( Manipol).

Kelima, kepentingan-kepentingan revolusi serta letak dan susunan negeri kita yang bersifat kepulauan berarti, bahwa politik pertahanan kita harus memberi tempat yang sama kepada setiap Angkatan Bersenjata dengan tidak menitikberatkan kepada salah satu Angkatan Pertahanan Nasional hanya bisa kuat dengan tercapainya kordinasi efektif antara keempat Angkatan.

Keenam, ALRI kita yang bertradisi anti-imperialisme harus memegang peranan vital dalam memperkuat politik luar negeri RI yang anti-imperialis, yang membela the new emerging forces dan melawan the old established forces. Tugas ini sangat perlu dijunjung tinggi oleh ALRI kita dimana negeri kita dikelilingi justru oleh negara-negara the old established forces dengan angkatan-angkatan laut mereka yang selalu siap untuk mengepung negeri kita yang berpolitik anti imperialis itu.

Demikian masalah-masalah yang ingin saya kemukakan dalam ceramah ini. Mudah-mudahan, ceramah ini akan bermanfaat, terutama dalam mempererat hubungan antara kita, dan dengan demikian ikut pula merealisasi wejangan Bung Karno mengenai memberantas Komunisto-phobi dan juga merealisasi serta menjunjung tinggi semboyan Dwitunggal Angkatan Bersenjata dan Rakyat.