Kaum Buruh adalah Pembela Dekon yang Gigih

Ceramah di depan para pejabat dan pegawai Departemen Perburuhan pada tanggal 17 Juni 1963

D.N. Aidit (1963)


Sumber: Dekon Dalam Ujian. Yayasan "Pembaruan", Jakarta, 1963. Scan PDF Brosur "Dekon Dalam Ujian"


Pertama-tama saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada pimpinan Departemen Perburuhan, khususnya Yang Mulia Mentri Perburuhan, Sdr. Ahem Erningpradja, yang telah mengundang saya untuk memberi ceramah di hadapan pegawai-pegawai Departemen Perburuhan.

Ini bukan untuk pertama kalinya saya, sebagai Ketua Komite Sentral PKI, memberi ceramah di hadapan pegawai-pegawai negeri atas permintaan departemen yang bersangkutan. Ini sudah menjadi tradisi, ya, sudah menjadi salah satu ciri kepribadian bangsa kita yang dalam segala sepak terjangnya mengutamakan kegotongroyongan nasional berporoskan NASAKOM. Ini telah dimulai dalam tahun 1961 ketika saya diminta oleh Departemen Luar Negeri untuk memberi ceramah di muka Konferensi Diplomat-diplomat RI di Asia, Afrika, dan Australia. Cerama itu kemudian disusul dengan seri ceramah tentang Marxisme, yang saya berikan di muka Latihan Kemiliteran Pegawai Sipil Departemen Luar Negeri. Dan setelah itu, semakin sering permintaan kepada PKI untuk memberi ceramah-ceramah di hadapan pegawai-pegawai dari berbagai departemen. Di samping itu banyak pula permintaan dari berbagai organisasi pemuda, sarjana, veteran, universitas, dan lain-lain, yang semuanya dimaksudkan untuk mendengar pandangan kaum Komunis mengenai hal-hal yang dianggap hangat atau perlu dibahas.

Ini merupakan salah satu bukti dari sekian banyak bukti yang ada, bahwa kehidupan kepartaian yang sehat telah berhasil melawan berbagai usaha untuk merongrongnya dan ingin mematahkannya. Kehidupan kepartaian yang sehat telah berkembang selama beberapa tahun ini dan telah merupakan kemenangan besar bagi Rakyat Indonesia. Ceramah-cerama semacam ini ikut mengkonsolidasikan kemenangan itu.

Saya merasa gembira dapat memberi ceramah di hadapan pegawai-pegawai Departemen Perburuhan. PKI adalah Partainya kelas buruh sehingga dengan sendirinya mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kaum buruh Indonesia. Jika Saudara-saudara sebagai petugas-petugas yang mengurus hal-hal yang berhubungan dengan kaum buruh merasa perlu mendengar pendapat dari Partainya kelas buruh, maka ini adalah tanda baik tentang cara kerja Saudara-saudara sendiri. Memang ada orang yang suka “mengurusi” kaum buruh sedangkan dia sendiri anti-buruh atau buruh-fobi. Apa yang bisa diharapkan oleh kaum buruh dari orang-orang semacam itu? Ya, apa yang dapat diharapkan oleh Republik kita, Republik yang ber-Pancasila, ber-Manipol, dan ber-NASAKOM dari orang-orang semacam itu!

REVOLUSI DAN KAUM BURUH

Saya diminta untuk memberi ceramah mengenai hubungan kaum buruh dengan Dekon. Tema ini memang merupakan tema yang baik sekali untuk dibahas. Dekon adalah program untuk menyelesaikan Revolusi Indonesia di bidang ekonomi pada tahap pertama, yaitu tahap nasional dan demokratis dari pada revolusi kita. Kaum buruh, seperti dikatakan di dalam Manipol, merupakan soko-guru Revolusi Indonesia, di samping kaum tani. Dengan sendirinya, hubungannya sokoguru revolusi atau tenaga pokok revolusi dengan program revolusi adalah erat sekali. Pembahasan-pembahasan tema ini perlu didengar oleh siapa saja yang sungguh-sungguh ingin menjalankan program itu, yang sungguh-sungguh ingin menyelesaikan revolusi kita. Sama sekali tidak mungkin melaksanakan program revolusi dengan mengabaikan kepentingan-kepentingan sokoguru revolusi, apalagi dengan ber-fobi terhadapnya. Berbicara kemak-kemik tentang Revolusi, tentang Manipol, tentang Dekon, dan sebagainya, sambil berbuat yang merugikan kaum buruh atau melanggar hak-hak kaum buruh adalah kemunafikan yang keterlaluan, yang tidak bisa diampuni.

KAUM BURUH DAN DEKON

Sewaktu Dekon diumumkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 28 Maret yang baru lalu, kaum buruh berdiri di barisan paling depan dalam menyambutnya. Bahkan lebih dari itu. Jauh sebelum Dekon diumumkan, berbagai golongan kaum buruh telah aktif membahas dan mengupas kesulitan-kesulitan ekonomi melalui seminar-seminar dan diskusi-diskusi produksi yang diadakan oleh serikat buruh-serikat buruh. Ini semua terjadi terutama sejak pidato Tahun Kemenangan di mana Bung Karno telah menyatakan kesanggupan untuk memberi perhatian khusus kepada persoalan ekonomi.

Melalui seminar-seminar itu, kaum buruh telah mengajukan berbagai usul kongkret tentang cara-cara yang sebaiknya ditempuh untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul selama beberapa tahun belakangan ini, seperti misalnya di bidang pengangkutan, terutama kereta api, di bidang perkebunan, di bidang pekerjaan umum, dan sebagainya. Melalui seminar-seminar itu, kaum buruh telah juga mengutuh salah urus yang merajalela di mana-mana dan mulai menunjuk hidung dari mereka yang bertanggung jawab. Melalui seminar-seminar itu, kaum buruh secara aktif telah menegakkan pendirian yang kemudian ternyata menjadi pokok pendirian di dalam Dekon, yaitu bahwa soal mempertinggi produksi merupakan kunci dalam mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi dewasa ini.

Ini menjadi jelas dari pasal 5 dan 6 Dekon di mana dikatakan sebagai berikut: ”dalam perjuangan untuk menyelesaikan tahap nasional dan demokratis ini, maka sudah tibalah waktunya untuk mengerahkan segenap potensi ... dalam kegiatan ekonomi dan pembangunan untuk meningkatkan produksi dan menambahkan penghasilan Negara. ... Karena itu, yang harus diselenggarakan sekarang ialah memperbesar produksi berdasarkan kekayaan alam yang berlimpah-limpah dan meletakkan dasar-dasar untuk industrialisasi”.

Dengan demikian, jelaslah bahwa sumbangan kaum buruh dalam penyusunan Dekon sungguh besar. Kenyataan ini membuktikan betapa bohong dan keliru anggapan sementara orang bahwa kaum buruh tidak tahu apa-apa, tidak perlu diajak untuk mengatasi kesulitan-kesulitan, dan malahan tidak usah didengar pendapatnya. Justru sebaliknyalah yang benar. Kaum buruh mengetahui banyak sekali dari pengalamannya sehari-hari. Mereka mengikuti dari dekat pengurusan di dalam perusahaan di mana mereka bekerja dan mereka bisa secara tajam dan tepat menelanjangi sebab-sebab pokok dari segala kemacetan. Malahan saya merasa bahwa sebab pokok mengapa kaum buruh tidak diajak, tidak didengar, ialah justru karena mereka mengetahui “terlalu banyak” sehingga dianggap bisa membahayakan kedudukan orang-orang tertentu.

Tak bisa disangkal bahwa kaum buruh dalam kerja sama dengan para ahli dan pegawai-pegawai lainnya mampu mendobrak segala kemacetan yang timbul di bidang industri. Tentang ini sudah banyak buktinya, misalnya di pabrik semen Gersik yang telah berhasil mencatat kenaikan produksi yang terus-menerus sebagai akibat diajaknya kaum buruh serta adanya kerja sama yang baik antara mereka dengan pimpinan manajemen dan dengan para ahli.

Kaum buruh adalah salah satu tenaga produktif yang pokok di dalam ekonomi Indonesia. Dengan demikian, mereka dapat memegang peranan yang besar sekali dalam melaksanakan Dekon khususnya di bidang kenaikan produksi. Tanpa kaum buruh, tidak mungkin bagi negeri kita untuk mencapai tujuan itu.

Jika hal ini sudah disadari, maka kita menghadapi dua konsekuensi dalam pelaksanaan Dekon yang berhubungan dengan kaum buruh: pertama, kepentingan-kepentingan mereka harus diperhatikan, yaitu seperti ditekankan di dalam Dekon, dan kedua, kaum buruh harus diikutsertakan secara aktif dalam pengurusan proses produksi dan bahwa mereka harus diikutsertakan secara terorganisasi, yaitu melalui dewan-dewan perusahaan, dewan-dewan produksi, dewan-dewan pengangkutan, dewan-dewan pertimbangan di departemen-departemen dan jawatan-jawatan, dan sebagainya.

Mari kita mengupas kedua hal ini secara lebih terinci.

PERHATIAN KEPADA KEPENTINGAN-KEPENTINGAN KAUM BURUH DAN RAKYAT PEKERJA PADA UMUMNYA

Dalam menyambut hangat Dekon tempo hari, seluruh lapisan Rakyat termasuk kaum buruh memberi tekanan khusus pada hal pelaksanaan, karena justru itulah yang dinanti-nantikan.

Beberapa minggu yang lalu, Pemerintah telah mengeluarkan “peraturan-peraturan ekonomi 26 Mei 1963”, yang dikatakan sebagai peraturan-peraturan “untuk melaksanakan Dekon”. Tak usah kiranya saya jelaskan di sini betapa peraturan-peraturan yang dikatakan “untuk melaksanakan Dekon” itu telah menimbulkan protes-protes dan celaan-celaan yang luas sekali. Kenaikan-kenaikan tarif dan harga yang terjadi sejak beberapa minggu yang lalu dilakukan “atas nama Dekon”. devaluasi dijalankan “atas nama Dekon”, walaupun semua orang tahu bahwa Dekon menolak devaluasi. Pengendalian harga dilepaskan dan anarki pasar dibiarkan berkuasa penuh, semuanya “atas nama Dekon”. perusahaan-perusahaan Dagang Negara (PDN-PDN) diliberalisasi dan diberi fasilitas-fasilitas dan perlakuan-perlakuan istimewa atau privileges yang keterlaluan “atas nama Dekon. Untung saja, bahwa kesadaran politik Rakyat Indonesia termasuk kaum buruhnya sudah cukup tinggi, pengalaman-pengalam serta pengetahuan ekonomi Rakyat Indonesia sudah lumayan, sehingga mereka dapat segera melihat bahwa tindakan-tindakan ini bertentangan dengan Dekon, meskipun dikatakan “atas nama” Dekon.

Dalam pernyataan yang dikeluarkan oleh Politbiro CC PKI pada tanggal 3 Juni yang baru lalu, telah diuraikan secara terperinci tentang pengaruh-pengaruh peraturan-peraturan 26 Mei terhadap daya beli Rakyat pekerja. Sebagai akibat kenaikan-kenaikan yang tinggi dalam pungutan-pungutan impor dan bea masuk, harga-harga barang impor akan meningkat dengan melonjak-lonjak. Ada barang-barang impor yang mengalami kenaikan sampai 700% atau 900%, termasuk barang-barang esensi atau setengah esensil, atau pun bahan-bahan baku/penolong yang sangat diperlukan industri. Maksud Pemerintah untuk membanjiri pasaran dengan barang-barang impor justru mengingatkan kita pada politik Sumitro yang juga membuka lebar keran impor secara tak terbatas. Politik itu berarti menghambur-hamburkan devisa negeri kita, mematikan industri nasional kita, dan membikin kita semakin tergantung pada kredit luar negeri.

TEROR KENAIKAN HARGA

Penghapusan pengendalian harga barang-barang sudah dan sedang membawa bencana besar bagi Rakyat pekerja dalam bentuk kenaikan harga. Ini betul-betul memberi angin kepada kaum tukang catut dan spekulan untuk dengan kongkalikong bersama kaum kapitalis birokrat leluasa melancarkan teror kenaikan harga terhadap Rakyat.

Ya, demikianlah keadaan di negeri kita pada saat ini. Di satu pihak, teror dilancarkan oleh kontra-revolusi dalam bentuk teror rasial yang sangat merusak aparat ekonomi dan penghidupan Rakyat kita. Di pihak lain, Rakyat menghadapi teror harga yang mengancam seluruh kehidupan ekonomi. Kedua macam teror ini merupakan ancaman besar bagi terlaksananya Dekon. Oleh karena itu, tugas untuk melawan dua macam teror itu merupakan tugas yang mendesak bagi seluruh Rakyat Indonesia, untuk menyelamatkan Dekon.

Serangan langsung terhadap kehidupan Rakyat merupakan satu hal prinsipil jika dihubungkan dengan pelaksanaan Dekon. Tidak ada gunanya untuk mengatakan seperti dikatakan secara resmi dalam konferensi pers Pemerintah pada tanggal 5 Juni yang baru lalu, bahwa Dekon tidak melarang adanya kenaikan tarif dan harga. Apalagi, bersamaan dengan itu dikatakan pula bahwa peraturan-peraturan ekonomi dan kenaikan harga serta tarif memang pahit bagi Rakyat. Apakah Dekon menyuruh membikin penghidupan Rakyat yang sudah pahit menjadi lebih pahit lagi? Saya anggap pendirian ini tidak dapat dipertahankan. Dekon menyatakan dengan tegas: “Sesuai dengan pertumbuhan kesadaran sosial dan kesadaran ekonomi Rakyat Indonesia, maka tiap konsepsi dan tindakan Pemerintah harus dapat dirasakan dan dimengerti oleh Rakyat, bahwa kepentingan mereka diperhatikan”, (Dekon pasal 26). Perlu diperhatikan bahwa kedua perkataan “kepentingan mereka” digarisbawahi. Siapa yang akan membantah bahwa Dekon melarang, dan melarang dengan keras, kenaikan-kenaikan harga dan tarif yang keterlaluan? Siapa yang akan membantah bahwa Dekon melarang Pemerintah membikin kehidupan Rakyat bertambah pahit?

SEPENUHNYA TANGGUNG JAWAB PEMBANTU-PEMBANTU PRESIDEN

Tetapi di samping itu, kalau kita mempelajari penjelasan Pemerintah tentang peraturan-peraturan 26 Mei yang dibacakan oleh Saudara Slamet Sutikno dalam konferensi pers tersebut, di situ dikatakan bahwa “peraturan-peraturan dalam bidang impor (yang dimaksudkan ialah pungutan-pungutan impor yang amat tinggi itu) memang sangat dipengaruhi oleh keperluan keuangan negara”, yaitu untuk “mendapat penghasilan sekadarnya dari impor”. Tentu Sdr. Slamet Sutikno sendiri tidak akan membantah bahwa yang memikul beban pungutan-pungutan impor itu tak lain tak bukan ialah Rakyat sebagai konsumen. Tetapi, apa yang dikatakan di Dekon mengenai hal demikian? Dekon tidak ragu-ragu sedikit pun mengatakan bahwa usaha-usaha untuk mencapai keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran Negara “harus dicapai ... dengan tidak menambah beban Rakyat”, (Dekon pasal 31). Bukankah ini larangan yang sejelas-jelasnya terhadap apa yang disusun oleh konseptor-konseptor peraturan-peraturan 26 Mei?

Konfrontasi-konfrontasi semacam ini membikin saya menjadi ragu apakah para konseptor itu pernah membaca dan mempelajari Dekon sehingga mengerti isinya, apalagi secara sungguh-sungguh mau melaksanakan Dkon kita yang begitu baik itu. Saya memang gigih melawan peraturan ekonomi 26 Mei dankenaikan harga serta tarif, karena saya sebagai anggota MPN (Musyawarah Pimpinan Negara) adalah salah seorang yang ikut aktif menyiapkan Dekon dan saya yakin bahwa Dekon dengan peraturan-peraturan tersebut diciderai. Selain dari pada itu, dalam melawan peraturan-peraturan tersebut saya menunjukkan sasarannya, yaitu konseptor-konseptornya. Jika tidak demikian, kemarahan Rakyat akan ditujukan pada Dekon dan pada Presiden Sukarno. Padahal, Dekon adalah baik dan Presiden Sukarno sendiri sering berkata dengan jujur bahwa beliau “tidak mengerti soal-soal ekonomi”. Jadi, mengenai soal-soal ekonomi di negeri kita sepenuhnya tanggung jawab dari pembantu-pembantu Presiden Sukarno. Jadi, saya bertitik tolak dari satu keyakinan yang tak tergoyakan dalam melawan peraturan-peraturan tersebut.

BERTENTANGAN DENGAN RESOLUSI MPRS

Di samping itu, peraturan-peraturan tersebut bertentangan dengan Resolusi MPRS yang antara lain mengatakan bahwa “Politik harga harus ditujukan untuk mencegah kenaikan harga dan tarif menuju terlaksananya Ketetapan MPRS No. II/1960, Lampiran B, Bab V, ayat 5, yang harus dilaksanakan secara berencana berdasarkan pada tingkat perkembangan produksi dan menjamin peningkatan daya beli Rakyat pekerja, termasuk petani produsen”. (Resolusi MPRS No. I, 1963, pasal 9, ayat 7). Jadi, selain bertentangan dengan Resolusi MPRS, juga bertentangan dengan Ketetapan MPRS No. II/1960, Lampiran B, Bab V, ayat 5.

MPRS adalah lembaga negara tertinggi yang memegang kedaulatan Rakyat. MPRS bukanlah suatu debating club atau warung kopi di mana anggota-anggotanya berkumpul sekadar untuk bertukar pikiran. MPRS adalah lembaga negara yang oleh Undang-Undang Dasar 1945 diserahi tugas menyusun haluan Negara. Pendapat-pendapat yang terdapat di kalangan orang-orang yang bertanggung jawab untuk menganggap enteng MPRS, untuk sama sekali tidak menggubris MPRS, sangat menusuk hati Rakyat dan berlawanan dengan Undang-Undang Dasar.

PERATURAN 26 MEI PAHIT BAGI RAKYAT

Mungkin, Saudara-saudara akan tertarik oleh kenyataan bahwa saya dalam membahas soal ini, banyak sekali mengutip bahkan mungkin ada yang merasa terlalu banyak mengutip. Saya sengaja berbuat demikian, karena kalau kita mau membicaraka sesuatu dokumen resmi, apalagi untuk menentukan cara-cara pelaksanaannya, kita harus kongkret, kita harus terus-menerus berpegang kepada jiwa mau pun kepada kata-kata dokumen itu. Konseptor-konseptor “peraturan-peraturan 26 Mei” selalu menekankan bahwa peraturan-peraturan itu ialah untuk “melaksanakan Dekon” tapi tidak pernah menjelaskan pasal Dekon yang mana yang mau dilaksanakan itu. Cara-cara yang demikian adalah sangat berbahaya, apalagi mengingat bahwa nama Dekon sudah demikian dikenal di negeri kita.

Oleh karena itu, kalau berbicara mengenai Dekon, sebagaimana juga mengenai Manipol dan pedoman-pedoman pelaksanaannya, sebaiknya kita menggunakan kutipan-kutipan. Cara ini adalah cara yang paling terjamin. Jika cara yang tepat ini ditempuh, maka mudah membuktikan secara obyektif bahwa peraturan-peraturan ekonomi 26 Mei langsung bertentangan dengan Dekon, sebab Dekon bukan hanya tidak membenarkan devaluasi, liberalisasi perusahaan-perusahaan negara, kenaikan-kenaikan harga dan tarif, tetapi tegas-tegas melarangnya. Demikian pula Resolusi MPRS.

Cara kongkret dalam membahas sesuatu adalah memang cara kaum buruh, para proletar, oleh karena itu cara inilah yang ditempuh oleh PKI.

Dalam keterangan Pemerintah pada tanggal 5 Juni yang baru lalu, antara lain dikatakan bahwa peraturan-peraturan 26 Mei 1963 adalah pahit bagi Rakyat. Juga dikatakan bahwa ”pembangunan semesta memang memerlukan pengorbanan yang tidak ringan”. Jadi, diusahakan untuk membenarkan kenaikan-kenaikan harga dan tarif karena, katanya, kita harus “berkorban”! Mungkin penjelasan ini diberikan berhubung dengan pasal 26 Dekon di mana perkataan “pengorbanan” dipergunakan. Tetapi kalau kita meneliti pasal Dekon itu, menjadi jelas bahwa maksud Dekon berlainan sekali. Sebaiknya kalau saya memberikan kutipan yang secukupnya:

Sesuai dengan pertumbuhan kesadaran sosial dan kesadaran ekonomi Rakyat Indonesia, maka tiap konsepsi dan tindakan Pemerintah harus dapat dirasakan dan dimengerti oleh Rakyat bahwa kepentingan mereka diperhatikan. Ini berarti bahwa tindakan Pemerintah harus dapat sambutan baik dari Rakyat, baik dalam arti menambahkan keperluan material atau membangkitkan perasaan patriotisme dan pengorbanan seperlunya”, (Dekon pasal 26).

TENTANG PATRIOTISME DAN PENGORBANAN

Dari kutipan ini jelas sekali bahwa Dekon mengharuskan supaya kepentingan Rakyat diperhatikan justru oleh karena dengan demikian perasaan patriotisme dan pengorbanan akan dapat dibangkitkan. Saya anggap sikap ini memang santa tepat. Keharusan untuk memperhatikan kepentingan-kepentingan Rakyat dengan demikian mempunyai satu tujuan nasional yang sangat penting, yaitu untuk menggerakkan segenap potensi dan kekuatan “Rakyat” (Dekon pasal 13).

Tidak ada Rakyat di mana pun di dunia yang bersedia berkorban kalau mereka belum yakin bahwa kepentingan-kepentingan mereka diperhatikan. Rakyat Indonesia, termasuk kaum buruhnya tidak menolak untuk berkorban. Bahkan mereka telah lama berkorban. Setiap kemerosotan dalam penghasilan real tak bisa diartikan lain dari pada pengorbanan, dan justru inilah nasibnya kaum buruh, pegawai, dan seluruh Rakyat pekerja sejak tahun 1950 dan terutama selama beberapa tahun ini.

Rakyat pekerja memang selamanya siap untuk berkorban tapi janganlah hendaknya hal ini disalahgunakan untuk keuntungankaum kapitalis birokrat, komprador, dan tuan tanah. Yang dimaksudkan Dekon tentang pengorbanan ialah bekerja keras untuk menaikkan produksi. Kesanggupan ini sudah dinyatakan dengan tegas di dalam Panca Program Fron Nasional, di mana kaum buruh memegang peranan yang aktif, yaitu: “Menanggulangi kesulitan-kesulitan ekonomi dengan mengutamakan kenaikan produksi”. Sedangkan Panca Program Fron Nasional telah ditetapkan sebagai bagian integral pula dari pada Dekon (lihat Dekon pasal 34).

Ini adalah kesanggupan berkorban yang bersifat menentukan, dan jika dipimpin dengan baik dapat membuka kemungkinan bagi negeri kita untuk mengatasi krisis ekonomi yang sedang merajalela. Maka dari itu, lebih-lebih diperlukan tindakan-tindakan dari Pemerintah yang “memperhatikan kepentingan Rakyat”, agar dengan demikian mendapat kepercayaan Rakyat. Kepercayaan Rakyat akan lenyap, jika Pemerintah mengadakan tindakan-tindakan yang justru tidak memperhatikan atau mengabaikan kepentingan-kepentingan mereka, yang justru bertentangan dengan Dekon.

PENGIKUTSERTAAN KAUM BURUH DALAM PENGURUSAN EKONOMI

Hal yang kedua yang saya sebutkan di atas yang harus dijadikan pegangan dalam melaksanakan Dekon dalam hubungannya dengan kaum buruh, ialah mengenai pengikutsertaan kaum buruh dalam mengawasi manajemen atau pengurusan perusahaan. Hal ini ditegaskan di dalam Dekon (pasal 34), di mana dikatakan supaya “diadakan penegasan tentang tugas-tugas Dewan Perusahaan sebagai alat social support dan social control. Ini dikembangkan lebih lanjut di dalam Resolusi MPRS No. I, 1963 di mana dikatakan sebagai berikut: “Hak dan tugas Dewan-dewan tersebut harus kongkret, yaitu memusyawarahkan jatah produksi, rehabilitasi alat-alat produksi, masalah-masalah bahan baku/penolong serta spare parts, ongkos produksi, penegakan mau pun retooling organisasi, personalia dan mental, pencegahan salah urus/pencolengan/manipulasi, dan lain-lain untuk manajemen yang baik dan peningkatan produksi”, (pasal 8, ayat 5).

Hal ini merupakan hal yang menentukan dalam mengatasi kesulitan-kesulitan dewasa ini dan dalam mencapai kelancaran dalam usaha-usaha pembangunan. Di dalam Resolusinya yang telah beberapa kali saya kutip di sini, MPRS meninjau sebab-sebab dari ketidaklancaran pelaksanaan proyek-proyek pembangunan dan dengan tepat menunjukkan bahwa salah satu sebab ialah: ”Belum cukupnya dilakukan usaha-usaha memperhebat pengerahan segenap potensi nasional (funds and forces), terutama kaum buruh, kaum nelayan, kaum tani, dan potensi daerah sehingga terjamin social participation, social support, dan social control, untuk turut mengambil bagian dalam melaksanakan pembangunan”, (Resolusi MPRS No. 1, 1963, pasal 4, ayat 3h).

Tentu Saudara-saudara akan setuju bahwa penetapan-penetapan ini mempunyai arti yang penting terutama bagi mereka yang bekerja di bidang perburuhan. Kesulitan-kesulitan dalam membentuk Dewan-dewan Perusahaan yang, seperti pernah dikatakan oleh Bung Karno, berjalan seperti keong, serta dalam memberikan kepadanya wewenang yang sesuai harus segera diatasi agar supaya Dekon dan Resolusi MPRS bisa dilaksanakan.

DEKON DAN RESOLUSI MPRS NO. I/1963

Apa yang baru saya kutip ini, di samping mempunyai arti penting dalam rangka pembahasan tema yang menjadi pokok pembicaraan dalam ceramah sekarang ini, juga merupakan contoh yang baik tentang hubungan erat antara Dekon dan Resolusi MPRS No. I, 1963 itu. Kedua dokumen itu memang saling melengkapi. Resolusi MPRS itu harus dijadikan pegangan dalam pelaksanaan Dekon. Resolusi MPRS itu menyuarakan kehendak Rakyat. Hanya jika suara itu didengar dan dilaksanakan, bisa dikatakan bahwa yang menjadi tuan rumah di negeri kita ialah Rakyat dan bukan elemen-elemen yang sama sekali tidak memahami kehendak Rakyat, yang sama sekali menutup telinganya terhadap Amanat Penderitaan Rakyat.

Dekon dan Resolusi MPRS memberi gambaran yang sungguh jelas mengenai cara memobilisasi kaum buruh dalam menjamin manajemen yang baik. Ini juga merupakan kongkretisasi dari apa yang dikatakan di dalam Dekon mengenai “pengintegrasian antara Pemerintah dan Rakyat terorganisasi”, (pasal 34), termasuk pengintegrasian kaum buruh yang terorganisasi di dalam proses produksi dan manajemen.

Dalam hubungan ini, saya ingin menyebut satu gejala yang kita hadapi sekarang dalam dunia perburuhan yang kiranya perlu mendapat perhatian secukupnya terutama dari Saudara-saudara yang bertugas di bidang perburuhan.

SERIKAT BURUH DAN SERIKAT MAJIKAN

Tak usah kiranya saya tekankan kepada Saudara-saudara betapa sejak saat-saat permulaan gerakan kemerdekaan nasional kita, yaitu pada awal abad ini, kaum buruh melalui organisasi-organisasi mereka yaitu serikat buruh-serikat buruh telah memegang peranan aktif dalam melawan kolonialisme Belanda, kemudian dalam melawan pendudukan Jepang, dan kemudian dalam melawan agresi-agresi Belanda dan membela Republik. Kisah kepahlawanan pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda pada akhir tahun 1957 dan permulaan tahun 1958 juga ditulis oleh kaum buruh yang terorganisasi bersama-sama dengan Rakyat pekerja umumnya. Dan pengambilalihan itu dengan sekaligus menumpas kekuasaan Belanda atas ekonomi kita serta memberi dasar bagi penegakan ekonomi nasional. Sejarah memang membuktikan bahwa kaum buruh benar-benar merupakan soko guru Revolusi Indonesia seperti dinyatakan di dalam Manipo. Sumbangan kaum buruh sungguh besar sekali dalam menyediakan dasar-dasar bagi pelaksanaan strategi dasar ekonomi seperti yang ditetapkan dalam Dekon, yaitu membangun susunan ekonomi yang nasional dan demokratis, yang anti-imperialisme, dan anti-feodalisme.

Tetapi dalam alam Manipol dan Dekon, di mana di samping melanjutkan tradisi-tradisi anti-imperialisme yang heroik, kaum buruh juga sanggup memberi sumbangannya untuk lebih memperkuat ekonomi nasional kita dengan peningkatan produksi, kita sekarang menghadapi usaha-usaha kaum reaksioner untuk mencairkan gerakan buruh kita. Kalangan-kalangan tertentu mau menyingkirkan perkataan buruh yang berjalin erat dan tak terpisahkan dengan tradisi-tradisi yang paling militan dalam gerakan kemerdekaan nasional kita. Perkataan itu mau diganti dengan karyawan yang sengaja membikin sama sekali kabur garis pemisah antara peranan buruh dan peranan manajemen. Lebih dari itu. Dengan perkataan karyawan, dengan apa yang dinamakan persatuan-persatuan karyawan atau organisasi-organisasi karyawan, kalangan-kalangan itu ternyata berusaha untuk mematahkan serikat buruh yang merupakan bentuk organisasi militan dari kaum buruh. Mereka berusaha mengobrak-abrik serikat buruh dengan mengintimidasi kaum buruh supaya meninggalkan serikat buruhnya dan memasuki organisasi karyawan. Dengan demikian mereka lebih mendeskreditkan istilah “karyawan” di mata Rakyat.

Gejala ini telah menimbulkan reaksi yang keras dari kaum buruh sendiri yang telah memberi nama “serikat-serikat majikan” kepada bentuk-bentuk organisasi-organisasi karyawan semacam itu. “Serikat-serikat majikan” adalah gejala yang paling dikutuk dan paling dibenci oleh kaum buruh di negeri mana pun, sehingga penamaan itu memang sepatutnya mendapat perhatian dari siapa saja yang bertugas di bidang perburuhan. “Serikat majikan” adalah penjelmaan baru dari “Serikat Hejo” di zaman kolonial dulu.

Pada pokoknya, serikat-serikat majikan mempunyai dua maksud, yaitu pertama menutupi penghisapan terhadap kaum buruh, dan kedua, mematahkan serikat-serikat buruh militan yang tugas pokoknya ialah memperkuat kemerdekaan nasional, membela kepentingan kaum buruh dan melawan penghisapan.

PERUSAHAAN NEGARA DAN PENGHISAPAN

Di dalam ekonomi kita sekarang, sudah banyak terdapat perusahaan-perusahaan negara di berbagai bidang, di bidang produksi, pengangkutan, perbankan, perdagangan, dan sebagainya. Apakah dengan adanya perusahaan-perusahaan negara, maka dengan sendirinya bisa disimpulkan bahwa di situ sudah tidak terjadi penghisapan lagi terhadap kaum buruh? Saya kira tidak demikian. Pada saat ini, nilai lebih yang dihasilkan oleh kaum buruh di perusahaan-perusahaan negara pada prinsipnya menjadi milik negara sedangkan kaum buruh sendiri, atau Rakyat pekerja pada umumnya belum mempunyai kedudukan yang bisa menentukan penggunaan dari pada nilai lebih itu. Lebih-lebih, kalau kita menghadapi gejala di mana dalam kenyataan nilai lebih itu malahan tidak menjadi milik negara melainkan masuk kantong kaum kapitalis birokrat, maka tentunya kaum buruh tidak akan merasa bahwa mereka tidak dihisap lagi.

CARA KERJA KAUM BURUH

Jika saya menjelaskan hal ini, bukanlah maksud saya untuk mengatakan bahwa kaum buruh yang bekerja di perusahaan-perusahaan negara akan menghadapi manajemen atau pimpinan perusahaan dengan cara yang sama seperti mereka menghadapi majikan di dalam perusahaan kapitalis yang dimiliki oleh swasta, terutama oleh modal monopoli asing. Kaum buruh Indonesia sepenuhnya dijiwai oleh Manipol dan Dekon dan mereka mencurahkan segenap usaha dan tenaganya kepada tugas memperkuat kemerdekaan nasional dengan ikut membangun ekonomi nasional dan demokratis. Syarat mutlak dalam membangun ekonomi yang demikian ialah bahwa sektor negara harus memegang peranan yang memimpin. Perjuangan untuk memperkuat ekonomi sektor negara yang berkedudukan memimpin adalah perjuangan patriotik. Sesuai dengan pokok pendirian ini, maka perjuanga kaum buruh di perusahaan-perusahaan negara, di samping membela kepentingan-kepentingan kaum buruh sendiri dalam arti seluas-luasnya, harus ditujukan untuk memperkuat ekonomi sektor negara, yang berarti memperkuat Republik Indonesia yang ber-Manipol.

Ini berarti bahwa tugas-tugaskaum buruh, di samping membela kepentingan-kepentingan mereka sendiri ialah: pertama, berusaha melalui Dewan-dewan Perusahaan supaya perusahaan-perusahaan negara dijalankan dengan baik; kedua, menentang pencolengan kekayaan negara oleh kaum kapitalis birokrat; dan ketiga, berusaha melalui lembaga-lembaga negara supaya kekayaan material yang mereka hasilkan benar-benar menjadi modal yang diakumulasi oleh negara dan dipergunakan untuk membangun ekonomi nasional dan demokratis, dipergunakan untuk mengikis habis sisa-sisa imperialis dan feodal. Dekon mengharuskan perjuangan demikian. Selama perjuangan ini belum berhasil sepenuhnya, maka selama itu nilai lebih yang dihasilkan oleh kaum buruh dipergunakan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan kepentingan kaum buruh dan Rakyat pada umumnya, atau malahan dengan cara-cara yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingannya. Dan ini adalah penghisapan dan penghisapan oleh musuh-musuh revolusi.

PERATURAN-PERATURAN 26 MEI LANGKAH MUNDUR

Dalam hubungan ini, perlu saya tegaskan bahwa Perpres No. 7, 1963 tentang PDN-PDN yang termasuk dalam 14 peraturan tanggal 26 Mei 1963 merupakan satu langkah mundur bagi ekonomi sektor negara. Wewenang terlalu luas diberikan kepada PDN-PDN dan boleh dikatakan perusahaan-perusahaan itu sudah berada di luar pengawasan Pemerintah apalagi DPR-GR. Tugas mereka dalam ikut memimpin ekonomi sesuai dengan kebijaksanaan negara dan sesuai dengan perencanaan yang berpusat boleh dikatakan sama sekali dicarikan. Malahan jika kita mempelajari Perpres No. 7 itu, tak bisa lain kita memperoleh kesan yang mendalam bahwa perusahaan-perusahaan diserahkan kepada manjer-nya untuk diurus sesuka hati. Merek diberi kemungkinan, malahan disuruh, bersaing mati-matian di antara mereka sendiri sehingga dapat dibayangkan betapa akan terjadi rebutan pasaran seperti dalam alam “free fight liberalism” yang terkutuk itu. Ini akan menambahkan kesulitan-kesulitan bagi Rakyat sebagai konsumen.

Melihat kenyataan-kenyataan ini semua di samping penghapusan pengendalian harga, siapa akan percaya pada penjelasan Pemerintah yang diberikan dalam konferensi pers tanggal 5 Juni yang baru lalu bahwa peraturan-peraturan itu tidak berarti liberalisme. Siapa yang tidak akan heran melihat usaha itu untuk meyakinkan kepada kita bahwa langkah-langkah itu “memperkembangkan Sosialisme”. Sosialisme yang notabene belum ada, karena memang tugas kita belum untuk membangun Sosialisme.

“EKONOMI PDN”

Wewenang terlalu luas yang diberikan kepada PDN-PDN menimbulkan perasaan cemas di kalangan kaum buurh. Bukankah kaum buruh itu sendiri yang mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut dan, dalam semangat patriotisme yang sangat tinggi, menyerahkannya tanpa ragu-ragu kepada Pemerintah untuk diurus oleh Pemerintah guna kepentingan seluruh Rakyat? Liberalisme yang sedang dijalankan di sektor ekonomi negara benar-benar menyakiti hati kaum buruh yang melihat tindakan ini sebagai pelanggaran yang kasar terhadap strategi dasar ekonomi seperti yang ditetapkan di dalam Dekon. jika ini diteruskan tidak bisa diartikan lain kecuali menghadiahkan milik nasional kepada segenggam kapitalis birokrat, kaum pencoleng, dan tukang catut. Dengan demikian, unsur E (Ekonomi Terpimpin) dalam USDEK menjadi buyar sama sekali.

Tetapi tidak hanya kaum buruh yang cemas melihat perkembangan-perkembangan itu. Perasaan itu terjata juga meliputi semua pihak yang bekerja di sektor-sektor lain terutama sektor produksi, termasuk pula perusahaan-perusahaan negara di sektor produksi, pengangkutan, dan sebagainya. Sudah timbul perasaan secara luas bahwa Dekon disalahgunakan untuk menganakemaskan PDN-PDN dan menganaktirikan sektor-sektor lain.

Peraturan yang saya sebut di atas berarti bahwa PDN-PDN mendapat kedudukan istimewa, baik karena mereka akan bisa secara diam-diam mengumpulkan keuntungan-keuntungan yang berlimpah-limpah, maupun karena mereka justru berkepentingan untuk mempertahankan dan terus-menerus memupuk anarki pasar dan spekulasi. Dekon yang benar-benar produksi sentris “dilaksanakan” dengan peraturan yang seratus persen dagang sentris. Tidak heran bahwa sudah banyak orang suka menamakan ekonomi kita bukan lagi “ekonomi terpimpin” melainkan “ekonomi PDN”.

Sejak detik pertama perusahaan-perusahaan bekas Belanda diserahkan kepada Pemerintah, kaum buruh telah menyatakan perlawanannya terhadap setiap usaha untuk menswastakan perusahaan itu. Gejala yang selalu disinyalir itu ternyata telah mulai mendapat wujud kongkret dalam Perpres No. 7, 1963.

RITUL DAN KOMPETISI PRESTASI

Tidak dapat dibenarkan kalau dikatakan bahwa pengurusan oleh negara menimbulkan kelemahan-kelemahan birokrasi dan administrasi yang berlebihan. Kesalahannya tidak terletak kepada peranan negara melainkan pada orang-orang yang ditugaskan untuk menyelenggarakan peranan negara itu. Di sinilah letak pentingnya tuntutan-tuntutan luas supaya segera diadakan retul yang terutama menjadi tuntutan kaum buruh sendiri. Tuntutan itu sepenuhnya dibenarkan di dalam Dekon pasal 34. Malahan jalan keluar sudah ditunjukkan oleh Dekon pasal 30 yang antara lain menyatakan: “Untuk efisiensi dan peningkatan produksi selanjutnya perlu diadakan sistem kompetisi prestasi antara perusahaan-perusahaan (dagang) Negara, antara bagian-bagian dalam perusahaan dan antara para pekerja, dalam suatu rencana produksi”. Kompetisi prestasi yang diadakan untuk membangun ekonomi nasional yang progresif sama sekali tidak boleh disamakan dengan “free fight competition” atau “free fight liberalism” alias persaingan bebas. Kompetisi prestasi yang dimaksudkan oleh Dekon ialah kompetisi yang berwatak patriotik untuk meningkatkan produksi dan untuk mengabdi kepentingan tanah air dan Rakyat. Jadi, tidak ada hubungannya dengan “free fight competition” atau “free fight liberalism” yang bertujuan mengejar keuntungan perseorangan yang merupakan ciri pokok atau hukum ekonomi pokok dari pada ekonomi kapitalis. “Ekonomi PDN” sekarang ini jauh lebih dekat kepada “free fight liberalism” dari pada kepada kompetisi prestasi seperti yang dimuat dalam Dekon.

Dulu, perusahaan-perusahaan milik modal Belanda, berjalan “baik” dalam arti tidak ada salah urus, pemborosan dan inefficiency sehingga menghasilkan keuntungan yang berlimpah-limpah bagi kaum kapitalis Belanda. Ini adalah oleh karena mereka yang diserahi tugas untuk menjalankan perusahaan-perusahaan itu (para manajernya) memang membela kepentingan-kepentingan pemiliknya, yaitu kaum monopolis Belanda, dan pada umumnya mengabdikan diri kepada kaum monopolis itu. Kalau sekarang, perusahaan-perusahaan negara dihinggapi oleh salah urus, pemborosan yang luar biasa dan inefficiency, ini adalah oleh karena terlalu banyak orang yang memegang pimpinan di situ bukannya membela dan mengabdi kepada kepentingan-kepentingan pemiliknya, yaitu negara, melainkan membela dan mengabdi kepada kepentingan-kepentingan mereka sendiri sehingga mereka sendiri menjadi kapitalis-kapitalis birokrat yang kekayaannya berlimpah-limpah sedangkan negara dan Rakyat tinggal menanggung segala kerugiannya.

SALUT KEPADA ORANG-ORANG PDN YANG BAIK

Saya tidak bermaksud sama sekali memberi kesan seakan-akan semua orang yang bekerja atau memimpin di perusahaan-perusahaan negara berbuat yang demikian. Saya tahu bahwa ada di antara mereka yang memang dijiwai oleh semangat patriotisme, dan saya yakin bahwa mereka sendiri akan paling keras mengutuk “kolega-kolega” mereka yang sangat merugikan kepentingan-kepentingan kita bersama itu. Malahan mungkin mereka itu paling tahu tentang kebobrokan “kolega-kolega” mereka itu. Saya menyampaikan salut kepada orang-orang itu. Yang saya kutuk bukan mereka, tetapi sistem “Ekonomi PDN” yang liberal dan mencoba menggantikan sistem “Ekonomi Terpimpin”. Yang saya kutuk ialah konseptor-konseptor “Ekonomi PDN” dan kaum kapitalis birokrat serta pencoleng-pencoleng dan tukang catut-tukang catut yang menjadi pelaksananya.

Dengan dilancarkannya serangan terhadap susunan ekonomi yang mau kita bangun dalam tahap nasional dan demokratis ini, melalui liberalisasi di sektor ekonomi negara, maka menjadilah tugas bersama dari para pegawai di dalam aparatur Pemerintah dan di sektor ekonomi negara pada umumnya, termasuk para pemimpin perusahaan-perusahaan negara yang patriotik, bersama-sama dengan kaum buruh, untuk melawan kaum kapitalis birokrat, menuntut retul yang sungguh-sungguh dan melawan usaha-usaha untuk meliberalisasi atau mensemiswastakan sektor negara itu.

SELAMATKAN DEKON DAN LAKSANAKAN SECARA KONSEKUEN!

Dalam ceramah ini, saya telah banyak mencurahkan perhatian kepada soal-soal yang timbul sejak diumumkannya Dekon, terutama langkah-langkah yang diambil yang dengan jelas sekali melanggar Dekon.

Dalam bagian terakhir ini, saya ingin secara singkat menguraikan pokok-pokok dari pada Dekon terutama untuk menunjukkan apa yang menjadi syarat-syarat mutlak bagi pelaksanaannya secara konsekuen. Saya kira, saya mempunyai otoritas untuk berbicara tentang ini, karena sebagai anggota MPN saya ikut aktif menyusun Dekon.

Dekon terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama menentukan strategi dasar ekonomi Indonesia yang tidak dapat dipisahkan dari strategi umum Revolusi Indonesia seperti ditetapkan di dalam Manipol. Strategi dasar ekonomi Indonesia menetapkan bahwa kita sekarang berada di dalam tahap pertama dari pada revolusi kita, di mana kita harus menciptakan “susunan ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis, yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan bersih dari sisa-sisa feodalisme”. Juga ditetapkan bahwa tahap pertama ini “adalah persiapan untuk tahap kedua, yaitu tahap ekonomi Sosialis Indonesia, ekonomi tanpa penghisapan manusia oleh manusia” (Dekon pasal 3).

Strategi dasar ekonomi ini mempunyai dua konsekuensi yang amat penting, yaitu pertama, bahwa tugas kita dalam tahap pertama memang bukan untuk membangun Sosialisme, dan kedua, bahwa oleh karena perspektif dari pada Revolusi kita adalah Sosialisme, maka tidak boleh terjadi hal-hal dalam tahap pertama yang berlawanan dengan perspektif itu.

Jadi, yang harus kita bangun, sekarang ialah ekonomi progresif, bukan ekonomi reaksioner; ekonomi progresif yang perspektifnya adalah Sosialisme dan bukan kapitalisme.

Bagian kedua dari pada Dekon ialah mengenai kebijaksanaan jangka pendek. Bagian ini pada pokoknya menentukan bahwa harus dilakukan usaha-usaha dalam waktu singkat untuk mencukupi sandang pangan, terutama pangan, serta merehabilitasi sektor industri, pengangkutan, pertanian, dan lain-lain sektor produktif dengan memberi tekanan khusus pada persediaan bahan-bahan baku/penolong dan spare parts. Kebijaksanaan jangka pendek juga menetapkan berbagai hal yang penting sekali dalam hubungan dengan politik perpajakan, politik fiskal, pembiayaan, penyempurnaan pengurusan perusahaan-perusahaan negara, ekspor-impor, transportasi dan komunikasi, dan sebagainya.

Kebijaksanaan jangka pendek tidak dipisahkan dari strategi dasar ekonomi, atau dengan kata lain, kedua bagian ini merupakan satu-kesatuan. Ini berarti bahwa strategi dasar dilaksanakan melalui kebijaksanaan jangka pendek dan bahwa kebijaksanaan jangka pendek harus dilaksanakan dengan cara-cara yang sepenuhnya sesuai dengan strategi dasar itu yang berpokok pada prinsip-prinsip anti-imperialisme dan anti-feodalisme.

Prinsip-prinsip pokok dalam melaksanakan strategi dasar serta kebijaksanaan jangka pendek ialah dengan menggerakkan segenap kekuatan dan potensi Rakyat, dengan bersandar kepada kekuatan kita sendiri, dengan membangun ekonomi yang tegak berdiri di atas dua kaki sendiri.

Bagian ketiga dari pada Dekon adalah bagian mengenai syarat-syarat pelaksanaannya. Di situ ditetapkan bahwa “agar tercapai kegotong-royongan nasional berporoskan NASAKOM untuk menanggulangi kesulitan-kesulitan ekonomi maka perlu diadakan pengintegrasian antara Pemerintah dan Rakyat yang terorganisasi, dalam bidang administratif mau pun eksekutif, di pusat mau pun di daerah-daerah, begitu pula antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah-pemerintah Daerah dengan badan-badan legislatif”. Bagian ini juga menegaskan perlu diintensifkan “retul di segala bidang dan dari Pusat sampai ke Daerah-daerah”, (Dekon pasal 34) yang harus dilakukan di bawah pimpinan Presiden sendiri.

Kalau strategi dasar telah ditetapkan, kalau kebijaksanaan jangka pendek telah digariskan, maka soal yang pokok yang harus diselesaikan ialah untuk menciptakan syarat-syarat pelaksanaannya, dan kunci dari pada syarat-syarat itu, seperti digambarkan dalam pasal 34 dari Dekon ialah menciptakan kegotongroyongan nasional berporoskan NASAKOM  di bidang administratif dan eksekutif di pusat mau pun di daerah-daerah. Pada saat ini, Rakyat pekerja negeri kita, termasuk kaum buruhnya, termasuk kaum taninya, termasuk para pegawainya, termauk semua lapisan Rakyat, menghadapi hal-hal yang pahit sekali dalam hubungan dengan apa yang dinamakan “pelaksanaan Dekon”. Oleh karena itu, lebih-lebih dari sebelumnya, kebutuhan untuk menciptakan syarat-syarat pelaksanaannya sudah menjadi sangat mendesak. Keganjilan dalam “pelaksanaan Dekon” ini dimungkinkan karena alat eksekutif di pusat belum disesuaikan dengan prinsip kegotongroyongan berporoskan Nasakom, sehingga tidak semua pertimbagnan tercakup di dalamnya.

Demikianlah pokok-pokok yang ingin saya sampaikan kepada Saudara-saudara mengenai hubungan kaum buruh dengan Dekon. jelaslah dari uraian di atas, bahwa kaum buruh bukan hanya menyambut Dekon dengan hangat, tetapi juga membelanya dengan gigih dan menuntut pelaksanaannya yang konsekuen.

Mudah-mudahan ceramah ini akan berguna dalam memperkuat kerja sama di antara Saudara-saudara sendiri dan para pegawai pada umumnya dengan kaum buruh dan dengan demikian ikut memperkuat kegotongroyongan nasional dari semua lapisan Rakyat di negeri kita.