Sumber: Konfrontasi Peristiwa Madiun 1948 - Peristiwa Sumatera 1956, D.N. Aidit. Cetakan ke-3. Djakarta: Jajasan "PEMBARUAN", 1964. Scan PDF Brosur "Konfrontasi Peristiwa Madiun 1948 - Peristiwa Sumatera 1956"
Dalam Peristiwa Madiun kaum Komunis adalah pendakwa
Hatta bertanggung jawab atas pembunuhan, penculikan, dan perang saudara tahun 1948
Hatta ingin berkuasa sewenang-wenang lagi
Kabinet Ali-Idham berpuluh-puluh kali lebih bijaksana daripada Kabinet Hatta
LAMPIRAN
Pengakuan Mayor Zainul Sabaruddin, komandan Batalyon 38 TNI mengenai pembunuhan terhadap Sidik Aslan
Penjelasan mengenai pengakuan Mayor Zainul Sabaruddin
----------------------------------------------
Tulisan ini adalah pidato Kawan D. N. Aidit di dalam Sidang DPR tanggal 11 Februari 1957 menjawab keterangan anggota DPR Udin Syamsudin (Masyumi) yang mencoba menutupi maksud-maksud kontra-revolusioner dari “dewan-dewan partikelir” di Sumatera dengan menyinggung-nyinggung soal Peristiwa Madiun.
Dengan pidato Kawan D. N. Aidit ini masyarakat dapat mengetahui dengan lebih jelas lagi hakikat Peristiwa Madiun, suatu provokasi reaksi yang dilancarkan oleh Hatta dan arti pemberontakan kontra-revolusioner gerombolan Simbolon dan Ahmad Husein yang satu tahun kemudian mencapai puncaknya dengan diproklamasikannya “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” di Padang oleh gembong-gembong Masyumi – PSI seperti Syafruddin Prawiranegara dan Sumitro Joyohadikusumo.
Dengan tulisan ini, Rakyat Indonesia sampai sekarang mempunyai 3 dokumen penting tentang Peristiwa Madiun, yaitu: Buku Putih tentang Peristiwa Madiun yang diterbitkan oleh Departemen Agitprop CC PKI, Menggugat Peristiwa Madiun, dan Konfrontasi Peristiwa Madiun (1948) – Peristiwa Sumatera (1956).
Komisi Pilihan Tulisan
D. N. Aidit dari CC PKI
------------------------------------------------------
Terlebih dulu saya ingin menyatakan bahwa Pemerintah Ali-Idham dalam keterangannya pada tanggal 21 Januari dan dalam jawabannya pada pandangan umum babak pertama pada tanggal 4 Februari yang lalu bisa membatasi diri pada persoalannya, yaitu tentang kejadian-kejadian di Sumatera dalam bulan Desember 1956. Hal ini dapat saya hargai dan tentang ini kawan-kawan sefraksi saya sudah menyatakan pendapat Fraksi PKI.
Pada pokoknya pendapat kami mengenai kejadian-kejadian di Sumatera dalam bulan Desember tahun yang lalu adalah sebagai berikut:
Pertama: Kejadian-kejadian di Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan adalah rentetan kejadian yang sengaja ditimbulkan oleh sebuah partai kecil yang kalah dalam pemilihan umum yang lalu, yang berhasil mendalangi sebuah partai besar dan oknum-oknum liar, yang tidak melihat kemungkinan dengan jalan demokratis dapat duduk kembali dalam kekuasaan sentral, dan yang hanya melihat kemungkinan dengan jalan menggunakan saluran partai-partai lain, dengan jalan mempertajam pertentangan antara partai-partai agama dengan PKI dan PNI, dengan bikin-bikinan menimbulkan kemarahan Rakyat di daerah-daerah supaya memberontak terhadap Pemerintah Pusat, dengan jalan mengadu domba suku satu dengan suku lainnya dan dengan jalan menghasut orang-orang militer supaya memberontak kepada atasannya.
Kedua: Kejadian-kejadian tersebut terang sejalan dan berhubungan dengan rencana kaum imperialis, yang dipelopori oleh Amerika Serikat untuk menarik Indonesia ke dalam pakta militer SEATO. Rencana-rencana dari pemberontak di Sumatera untuk memisahkan Sumatera dan Kalimantan dari Pemerintah Pusat dan untuk mendirikan negara sendiri yang mempunyai peralatan sipil dan militer sendiri, yang mempunyai hubungan luar negeri sendiri, adalah sepenuhnya hubungan luar negeri sendiri, adalah sepenuhnya sejalan dengan rencana Amerika Serikat yang diatur oleh Pentagon (Kementerian Pertahanan) dan State Department (Kementerian Luar Negeri) Amerika Serikat, oleh “jenderal-jenderal” DI-TII dan oleh aparat-aparat serta kaki-kaki tangan Amerika Serikat yang ada di Indonesia.
Jadi, persoalannya adalah jelas, yaitu kepentingan vital Rakyat Indonesia di satu pihak berhadapan langsung dengan kepentingan kaum imperialis asing di pihak lain. Dalam hal ini, Pemerintah Ali-Idham menyatukan diri dengan kepentingan Rakyat Indonesia, dan oleh karena itu PKI tidak ragu-ragu berdiri di pihak Pemerintah dan melawan kaum pemberontak serta aktor-aktor intelektualisnya.
Demikianlah, kalau mengenai persoalannya. Jelas di mana kami berdiri, dan jelas pula di mana pihak lain berdiri.
Tetapi, di samping pemerintah dapat membatasi diri pada persoalan yang sedang dihadapi, anggota yang terhormat Udin Syamsudin telah membawa-bawa Peristiwa Madiun, dengan maksud mengaburkan persoalan.
Anggota tersebut telah menyebut-nyebut Peristiwa Madiun dalam hubungan dengan Peristiwa Sumatera, antara lain dikatakannya “pelopor pemberontakan di Indonesia ini setelah Indonesia Merdeka adalah Partai Komunis Indonesia”, selanjutnya “kaum Komunislah yang menjadi mahaguru pemberontakan” dan “bibitnya sudah menular ke seluruh Indonesia”. Maksud pembicara tersebut jelas, yaitu supaya dalam soal pemberontakan Kolonel Simbolon dan Letnan Kolonel Ahmad Husein juga PKI yang disalahkan. Lihatlah, betapa tidak tahu malunya orang mencari kambing hitam, sama dengan tidak tahu malunya mereka menyalahkan PKI dalam hubungan dengan Peristiwa Madiun.
Saya tidak membantah, bahwa baik Peristiwa Madiun maupun Peristiwa Peristiwa Sumatera mempunyai satu sumber dan satu tujuan, yaitu bersumber pada imperialisme Amerika dan Belanda dan bertujuan untuk meletakkan Indonesia sepenuhnya di bawah telapak kaki mereka.
Berhubung dengan sebuah statement Politbiro CC PKI tanggal 13 September 1953, saya pernah dihadapkan ke muka pengadilan. Dalam sidang pengadilan tanggal 27 Januari 1955, dengan berpegang pada ayat 3 pasal 310 KUHP yang ditimpakan pada saya, sudah saya nyatakan kesediaan saya kepada pengadilan untuk membuktikan dengan saksi-saksi bahwa Peristiwa Madiun memang provokasi dan bahwa dalam Peristiwa Madiun tersebut tangan Hatta-Sukiman-Natsir cs. memang berlumuran darah. Dengan ini berarti bahwa Hatta, ketika itu masih wakil Presiden, harus tampil sebagai saksi berhadapan dengan saya. Kesediaan saya ini, yang juga diperkuat oleh advokat saya, Sdr. Mr. Suprapto, tidak mendapat persetujuan pengadilan. Jaksa menyatakan keberatannya akan pembuktian yang mau saya ajukan dengan saksi-saksi. Oleh karena jaksa menolak pembuktian yang mau saya ajukan, maka jaksa terpaksa mencabut tuduhan melanggar pasal 310 dan 311 KUHP. Jelaslah, bahwa ada orang-orang yang khawatir kalau Peristiwa Madiun ini menjadi terang bagi Rakyat.
Jadi, mengenai Peristiwa Madiun, kami sudah lama siap berhadapan di muka pengadilan dengan arsiteknya Mohammad Hatta. Ini saya nyatakan tidak hanya sesudah Hatta berhenti sebagai Wakil Presiden, tetapi seperti di atas sudah saya katakan, juga ketika Hatta masih Wakil Presiden. Saya tidak ingin menantang siapa-siapa, tetapi kapan saja Hatta ingin Peristiwa Madiun dibawa ke pengadilan, kami dari PKI selamanya bersedia menghadapinya. Kami yakin, bahwa jika soal ini dibawa ke pengadilan, bukanlah kami yang akan menjadi terdakwa, tetapi kamilah pendakwa. Kamilah yang akan tampil ke depan sebagai pendakwa atas nama Amir Syarifuddin, putra utama bangsa Indonesia yang berasal dari tanah Batak, atas nama Suripno, Maruto Darusman, Sukarno, Sutrisno, Sarjono, dan beribu-ribu lagi putra Indonesia yang terbaik dari suku Jawa yang menjadi korban keganasan satu pemerintah yang dipimpin oleh borjuis Minangkabau, Mohammad Hatta. Demikian kalau kita mau berbicara dalam istilah kesukuan, sebagaimana sekarang banyak digunakan oleh pembela-pembela kaum pemberontak di Sumatera, hal yang sedapat mungkin ingin kami hindari. Ja, kami juga akan berbicara atas nama perwira-perwira, bintara-bintara, dan prajurit-prajurit TNI yang tewas dalam “membasmi Komunis” atas perintah Hatta, karena mereka juga tidak bersalah dan mereka juga adalah korban perang saudara yang dikobarkan oleh Hatta.
Dalam pembelaan saya di muka pengadilan tanggal 24 Februari 1955 telah saya katakan, “bahwa di antara orang-orang yang karena tidak mengertinya telah ikut dalam pengejaran ‘terhadap kaum Komunis’, tidak sedikit sekarang sudah tidak mempunyai purbasangka lagi terhadap PKI dan sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak lagi menjadi alat perang saudara dari kaum imperialis dan kaki tangannya”. Alat-alat negara sipil maupun militer sudah mengerti bahwa dalam Peristiwa Madiun, mereka telah disuruh memerangi saudara-saudara dan teman-temannya sendiri.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa dalam pemilihan umum untuk Parlemen maupun untuk Konstituante lebih 80 % daripada anggota-anggota Angkatan Perang memberikan suaranya kepada partai-partai demokratis, dan 30 % daripada suara yang diberikan anggota Angkatan Perang adalah diberikan kepada PKI. PSI dan Masyumi hanya mendapat kurang dari 20 %, jadi kurang dari suara yang didapat oleh PKI sendiri atau PNI sendiri. PSI yang mempunyai pengaruh di sejumlah opsir tinggi adalah partai kelima di dalam Angkatan Perang, sedangkan Masyumi, karena politik pro DI-nya, adalah partai keenam. Dengan ini, saya hanya hendak membuktikan bahwa memukul PKI dengan menyembur-nyemburkan Peristiwa Madiun adalah tidak merugikan PKI, malahan memberi alasan pada kami untuk berbicara dan menjelas-jelaskan tentang Peristiwa Madiun.
Apalagi sekarang, sesudah terjadi pemberontakan kolonel Simbolon di Sumatera Utara dan pemberontakan “Dewan Banteng” di Sumatera Barat, menggunakan Peristiwa Madiun untuk memukul PKI adalah seperti menepuk air didulang, bukan muka PKI yang kena, tetapi muka Masyumi dan PSI sendiri yang sekarang membela pemberontak-pemberontak di Sumatera itu dengan mati-matian.
Mari, dalam menilai kebijaksanaan pemerintah Ali-Idham sekarang, kita perbandingkan antara kebijaksanaan pemerintah Hatta tahun 1948 mengenai Peristiwa Madiun dengan kebijaksanaan pemerintah Ali-Idham sekarang. Dari hasil penilaian ini, saya akan menentukan sikap saya terhadap kebijaksanaan pemerintah sekarang.
Peristiwa Madiun didahului oleh kejadian-kejadian di Solo, mula-mula dengan pembunuhan atas diri Kolonel Sutarto, Komandan TNI Divisi IV, dan kemudian pada permulaan September 1948 dengan penculikan dan pembunuhan terhadap 5 orang perwira TNI, yaitu Mayor Esmara Sugeng, Kapten Sutarto, Kapten Sapardi, Kapten Suradi, dan Letnan Mulyono. Juga diculik 2 orang anggota PKI, Slamet Wijaya dan Parjiyo. Kenyataan bahwa saudara-saudara yang diculik ini pada tanggal 24 September dimasukkan ke dalam kamp resmi di Danurejan, Yogyakarta, membuktikan bahwa pemerintah Hatta langsung campur tangan dalam soal penculikan-penculikan dan pembunuhan-pembunuhan di atas. Ini tidak bisa diragukan lagi!
Dalam pidatonya tanggal 19 September 1948, Presiden Sukarno mengatakan bahwa Peristiwa Solo dan Peristiwa Madiun tidak berdiri sendiri. Ini sepenuhnya benar! Sesudah penculikan-penculikan dan pembunuhan-pembunuhan di Solo yang diatur dari Yogyakarta, keadaan di Madiun menjadi sangat tegang sehingga terjadilah pertempuran antara pasukan-pasukan dalam Angkatan Darat yang pro- dan yang anti-penculikan-penculikan serta pembunuhan-pembunuhan di Solo, yaitu pertempuran pada tanggal 18 September 1948 malam. Dalam keadaan kacau balau demikian ini, Residen Kepala Daerah tidak ada di Madiun, Wakil Residen tidak mengambil tindakan apa-apa, sedangkan Walikota sedang sakit. Untuk mengatasi keadaan ini, maka Front Demokrasi Rakyat, di mana PKI termasuk di dalamnya, mendesak supaya Kawan Supardi, Wakil Walikota Madiun bertindak untuk sementara sebagai pejabat Residen selama Residen Madiun belum kembali. Wakil Walikota Supardi berani mengambil tanggung jawab ini. Pengangkatan Kawan Supardi sebagai Residen sementara ternyata juga disetujui oleh pembesar-pembesar militer dan pembesar-pembesar sipil lainnya. Tindakan ini segera dilaporkan ke pemerintah pusat dan dimintakan instruksi dari pemerintah pusat tentang apa yang harus dikerjakan selanjutnya.
Nah, tindakan inilah, tindakan mengangkat Wakil Walikota menjadi Residen sementara inilah yang dinamakan oleh pemerintah Hatta tindakan “merobohkan pemerintah Republik Indonesia”, tindakan “mengadakan kudeta”, dan tindakan “mendirikan pemerintah Soviet”.
Kalau dengan mengangkat seorang Wakil Walikota menjadi Residen sementara bisa dinamakan merobohkan pemerintah Republik Indonesia, bisa dinamakan kudeta, dan bisa dinamakan mendirikan pemerintah Soviet, nama apakah lagi yang bisa diberikan kepada tindakan komplotan Simbolon dan “Dewan Banteng” di Sumatera? Selain daripada itu, jika memang demikian halnya, alangkah mudahnya merobohkan pemerintah Republik Indonesia, alangkah mudahnya mengadakan kudeta, dan alangkah mudahnya mendirikan pemerintah Soviet! Jika memang demikian mudahnya, saya kira sekarang sudah tidak ada lagi Republik kita, karena nafsu merobohkan Republik sekarang begitu dikobar-kobarkan dan begitu besarnya di sementara golongan, terutama di kalangan sebuah partai kecil yang kalah dalam pemilihan umum yang lalu. Tetapi saya kira, merobohkan Republik Indonesia tidaklah begitu mudah sebagaimana sudah dibuktikan oleh kegagalan Simbolon dan oleh makin merosotnya pamor “Dewan Banteng”, di samping Republik Indonesia tetap berdiri tegak. Apalagi mendirikan pemerintah Soviet, tidaklah semudah mengangkat seorang Wakil Walikota menjadi Residen sementara. Rakyat Tiongkok dan Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok yang sudah berjuang mati-matian selama berpuluh-puluh tahun di bawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok hingga sekarang belum sampai ke taraf mendirikan pemerintah Soviet, artinya pemerintah sosialis di Tiongkok. Jadi, alangkah bebalnya, atau alangkah mencari-carinya orang-orang yang menuduh PKI merobohkan Republik dan mendirikan pemerintah Soviet di Madiun dengan mengangkat Wakil Walikota Supardi menjadi Residen sementara.
Berdasarkan kejadian pengangkatan Wakil Walikota Supardi menjadi Residen sementara dan atas tanggung jawab sepenuhnya dari pemerintah Hatta, maka pada tanggal 19 September 1948 oleh Presiden Sukarno diadakan pidato yang berisi seruan kepada seluruh Rakyat untuk bersama-sama membasmi “kaum pengacau”, maksudnya membasmi kaum Komunis dan kaum progresif lainnya secara jasmaniah. Saya katakan sepenuhnya tanggung jawab pemerintah Hatta, karena Hattalah yang menjadi Perdana Menteri ketika itu. Tetapi karena Hatta tahu bahwa pengaruhnya sangat kecil di kalangan Angkatan Perang dan alat-alat negara lainnya, apalagi di kalangan masyarakat, maka Hatta menggunakan mulut Sukarno dan meminjam kewibawaan Sukarno untuk membasmi Amir Syarifuddin dan beribu-ribu putra Indonesia asal suku Jawa. Ini, sekali lagi, kalau kita mau berbicara dalam istilah kesukuan yang sekarang banyak dilakukan oleh pembela-pembela kaum pemberontak di Sumatera, sesuatu yang sedapat mungkin ingin kami hindari.
Demikianlah, “kebijaksanaan” Hatta sebagai Perdana Menteri dalam menghadapi persoalan-persoalan masyarakat dan persoalan-persoalan politik yang konkret. Karena kepicikannya dan kesombongannya sebagai borjuis Minang yang ingin melonjak cepat sampai ke angkasa, karena kehausannya akan kekuasaan, karena kepala batunya, karena ketakutannya yang keterlaluan kepada Komunisme, maka Hatta sebagai Perdana Menteri dengan secara gegabah mengerahkan alat-alat kekuasaan negara untuk menculik, membunuh dan mengobarkan perang saudara. Orang sering-sering salah kira dengan menyamakan sifat kepala batu Hatta adalah disebabkan karena sempit pikirannya, dan karena sempit pikirannya, ia tidak bisa bertukar pikiran secara sehat, tidak pandai bermusyawarah, dan tahunya hanya main “ngotot”, “mutung”, “basmi”, dan “tangan besi” Hatta? Beribu-ribu pemuda dan Rakyat dari kedua belah pihak yang berperang mati karenanya. Seluruh Rakyat sudah mengetahui dari pengalamannya sendiri bahwa semua ini dilakukan hanya untuk melapangkan jalan bagi Hatta buat pelaksanaan Konferensi Meja Bundar dengan Belanda yang langsung diawasi oleh Amerika Serikat, untuk membikin perjanjian KMB yang khianat dan yang sudah kita batalkan itu.
Sifat gegabah dari tindakan Hatta lebih tampak lagi ketika dia meminta kekuasaan penuh dari BPKNIP, di mana di dalam pidatonya dinyatakan bahwa, “Tersiar pula berita –entah benar entah tidak— bahwa Musso akan menjadi Presiden Republik rampasan itu dan Mr. Amir Syarifuddin Perdana Menteri”. Lihatlah betapa tidak bertanggungjawabnya tindakan Hatta. Ia bertindak atas dasar berita yang sifatnya “entah benar entah tidak”, bahwa sesuatu “akan” terjadi. Ya, Hatta bertindak atas berita yang masih diragukan tentang akan terjadinya sesuatu. Tetapi, adalah tidak diragukan lagi bahwa tindakan Hatta sudah berakibat dibunuhnya ribuan orang yang tidak berdosa tanpa proses.
Berdasarkan pengalaman dengan Peristiwa Madiun, di mana Hatta menelanjangi dirinya sebagai manusia yang tidak berperikemanusiaan, maka saya seujung rambutpun tidak ragu bahwa Hatta, seperti belum lama berselang dimuat dalam koran-koran, pernah mengucapkan kepada Firdaus A. N., hanya bersedia berkuasa jika tidak bisa dijatuhkan oleh Parlemen. Kalau mau tahu tentang Hatta, inilah dia! Inilah politiknya, inilah moralnya, inilah segala-galanya! Yaitu, seorang yang mau berkuasa secara sewenang-wenang.
Hatta sama sekali tidak menghargai jerih payah Rakyat yang kepanasan dan kehujanan antri untuk memberikan suaranya untuk Parlemen kita sekarang. Lebih daripada itu, ia juga tidak menghargai suaranya sendiri yang diberikannya ketika memilih Parlemen ini. Orang yang tidak menghargai orang lain sering kita temukan di dunia ini. Tetapi orang yang tidak menghargai suaranya sendiri, ini keterlaluan.
Hatta ingin berkuasa kembali tanpa bisa dijatuhkan oleh Parlemen, ia memimpikan masa keemasannya di tahun 1948. Kali ini yang mau dijadikannya mangsa bukan hanya putra-putra Indonesia asal suku Jawa dan Batak, tetapi juga putra-putra suku lain, termasuk putra-putra suku Minangkabau, karena PKI sekarang sudah tersebar di seluruh Indonesia dan di semua suku. Tetapi, sebelum Hatta sampai ke situ, perlu saya peringatkan bahwa dalam tahun 1948 ia hanya berhadapan dengan 10.000 Komunis yang hanya tersebar secara sangat tidak merata di Pulau Jawa dan Sumatera, karena PKI ketika itu dilarang berdiri di daerah pendudukan Belanda. Tetapi sekarang, Hatta harus berhadapan dengan lebih satu juta Komunis yang tersebar di semua pulau dan di semua suku. Saya perlu menyatakan ini, hanya untuk menerangkan betapa besar akibatnya kalau Hatta bermain “tangan besi” lagi. Dan ..... besipun bisa patah!
Saya yakin, bahwa tiap-tiap orang yang mempunyai perasaan tanggung jawab tidak ingin terulang kembali tragedi nasional seperti Peristiwa Madiun itu. Dari pihak Partai Komunis Indonesia, seperti sudah berulang-ulang kami nyatakan, dan sudah menjadi pelajaran di dalam Sekolah-Sekolah dan Kursus-Kursus Partai kami, kami ingin dan kami yakin bisa mencapai tujuan-tujuan politik kami secara parlementer. Kami akan menghindari tiap-tiap perang saudara selama kepada kami dijamin hak-hak politik untuk memperjuangkan cita-cita kami. Tetapi, kalau kepada kami disodorkan ujung bayonet dan didesingkan peluru seperti dalam Peristiwa Madiun, juga seperti selama peristiwa itu, kami tidak akan memberikan dada kami untuk ditembus bayonet dan ditembus peluru kaum kontra-revolusioner.
Kami kaum Komunis tidak ingin mengganggu siapa-siapa selama kami tidak diganggu. Kami ingin bersahabat dengan semua orang, semua golongan, dan semua partai yang mau bersahabat dan bekerja sama dengan kami untuk hari depan yang lebih baik bagi tanah air dan Rakyat Indonesia. Walaupun di hadapan kantor pusat Masyumi di Kramat Raja 45, Jakarta, terpancang dengan jelas papan “Front Anti-Komunis”, jadi anti kami, anti saya dan anti kawan-kawan saya, tetapi kami kaum Komunis tidak akan ikut gila untuk juga memancangkan papan “Front Anti-Masyumi”, apalagi “Front Anti-Islam”. Kami tidak akan membiarkan diri kami terprovokasi oleh pemimpin-pemimpin Masyumi ini. Saya pribadi tidak mau diprovokasi oleh kenalan lama saya, Saudara Mohamad Isa Anshari, pemimpin akbar “Front Anti-Komunis”.
Berangsur-angsur Rakyat Indonesia berdasarkan pengalamannya sendiri menjadi makin yakin bahwa bukanlah kaum Komunis yang anti-agama, tetapi sebaliknya, sejumlah pemimpin-pemimpin partai agamalah yang anti-Komunis dan menghasut anggota-anggotanya supaya anti-Komunis.
Rakyat Indonesia sudah mengetahui bahwa dalam soal pemerintahan, kami menginginkan terbentuknya pemerintah persatuan nasional di mana di dalamnya duduk 4-Besar, jadi termasuk PKI dan Masyumi, bersama-sama dengan partai-partai lain. Ini akan kami perjuangkan terus walaupun sampai ini hari, saya kira Masyumi belum mau, karena masih mengikuti apa yang dikatakan oleh pemimpin Masyumi, Saudara Mohammad Natsir dalam muktamar Masyumi di Bandung bulan Desember 1956. Dalam muktamar tersebut, Saudara Mohammad Natsir mengatakan antara lain bahwa pimpinan partai Masyumi “meletakkan strateginya menghadapi pembentukan kabinet kepada dua pokok pikiran yaitu: (a) Memulihkan kerja sama antara partai-partai Islam; (b) Menggabungkan tenaga-tenaga non-Komunis dalam kabinet, Parlemen, dan masyarakat, serta mengisolir PKI atau para crypto-Komunis dari kabinet”. (Halaman 22 “Laporan Beleid Politik Pimpinan Partai Masyumi”). Cobalah renungkan, bukan persatuan nasional yang mereka ajarkan dan amalkan, tetapi perpecahan nasional. Mengisolasi PKI adalah identik dengan mengisolasi berjuta-juta Rakyat Indonesia. Bagaimana persatuan nasional akan bisa tercapai dengan sikap yang apriori semacam ini. Sikap semacam ini hanya mempertegang keadaan politik di negeri kita, dan yang untung bukan bangsa Indonesia, tetapi kaum imperialis asing, yang memang menginginkan peruncingan keadaan dan perpecahan di dalam tubuh bangsa kita.
Jadi, kapankah semua pemuka bangsa kita akan belajar dari pengalaman Peristiwa Madiun yang tragis itu, supaya tidak lagi mengulangi kesalahan tindakan dan kebijaksanaan agar persatuan bangsa kita terpelihara baik, supaya kita tidak gegabah dalam mengambil tindakan-tindakan, apalagi tindakan-tindakan yang bisa berakibat luas? Saya berusaha dan terus akan berusaha untuk menarik pelajaran sebanyak-banyaknya dari pengalaman sejarah itu.
Dibanding dengan kebijaksanaan pemerintah Hatta dalam menghadapi kejadian di Madiun dalam bulan September 1948, kabinet Ali-Idham sekarang berpuluh-puluh kali lebih bijaksana. Padahal kalau melihat kejadiannya, pengangkatan seorang Wakil Walikota menjadi Residen sementara karena dipaksa oleh keadaan, belumlah apa-apa kalau dibanding dengan pengoperan pimpinan pemerintah daerah Sumatera Tengah oleh orang-orang “Dewan Banteng”, yang terang-terangan direncanakan terlebih dulu dalam reuni ex-divisi Banteng bulan November 1956, dan yang terang-terangan sudah pernah menolak dan menghina perutusan pemerintah pusat yang datang untuk berunding. Apalagi kalau dibanding dengan perbuatan komplotan Kolonel Simbolon pada tanggal 22 Desember 1956, yang terang-terangan menyatakan tidak lagi mengakui pemerintah yang sah sekarang. Apalagi, kalau kita ingat bahwa maksud yang sesungguhnya dari semua tindakan itu ialah untuk memisahkan Sumatera dan Kalimantan dari Pemerintah Pusat, mendirikan negara Sumatera dan Kalimantan, serta mengadakan hubungan luar negeri sendiri. Apalagi kalau diingat bahwa ada maksud-maksud untuk menyerahkan pulau We di Utara Sumatera kepada negara besar tertentu untuk dijadikan pangkalan perang. Apalagi kalau diingat bahwa semua rencana itu sesuai sepenuhnya dengan apa yang direncanakan oleh Pentagon dan State Department Amerika Serikat, oleh “jenderal-jenderal” DI-TII dan aparat-aparat serta kaki-kaki tangan Amerika lainnya yang ada di Indonesia. Jika diingat semuanya ini, maka pengangkatan Wakil Walikota Supardi menjadi Residen sementara Madiun adalah hanya “kinderspel” (permainan kanak-kanak).
Tetapi penamaan apa yang diberikan oleh Hatta kepada kejadian-kejadian di Madiun bulan September 1948 dan penamaan apa pula yang diberikan orang kepada perbuatan-perbuatan kaum pemberontak di Sumatera pada bulan Desember 1956? Peristiwa Madiun dinamakan “merobohkan Republik Indonesia”, dinamakan “kudeta”, tetapi pemberontakan di Sumatera yang sepenuhnya dan secara terang-terangan disokong oleh kaum imperialis asing, terutama kaum imperialis Amerika dan Belanda, mereka namakan “tindakan konstruktif” demi “kepentingan daerah”. Saya bertanya: Konstruktif untuk siapa? Untuk kepentingan daerah mana? Memang konstruktif sekali tindakan kaum pemberontak di Sumatera, konstruktif dalam rangka membangun pangkalan-pangkalan perang SEATO! Memang untuk kepentingan daerah, kepentingan perluasan daerah SEATO! Jadi, sama sekali tidak konstruktif untuk Rakyat Indonesia dan sama sekali bukan untuk kepentingan daerah Indonesia!
Demikianlah, apa sebabnya saya katakan bahwa mengemukakan Peristiwa Madiun dalam keadaan sekarang untuk memukul PKI adalah seperti menepuk air didulang. Bukannya PKI yang kecipratan, tetapi justru si penepuk air yang sial itu. Mengemukakan soal Peristiwa Madiun dalam menghadapi Peristiwa Sumatera sekarang berarti memberi alasan yang kuat untuk mengkonfrontasikan kebijaksanaan yang memang bijaksana dari kabinet Ali-Idham sekarang dengan kebijaksanaan yang tidak bijaksana dari Kabinet Hatta dalam tahun 1948. Jika sudah dikonfrontasikan, maka akan merasa berdosalah orang-orang yang berteriak-teriak ingin melihat naiknya Hatta kembali, kecuali kalau orang-orang itu memang ingin melihat Hatta sekali lagi mempermainkan nyawa umat Indonesia sebagai mempermainkan nyawa anak ayam.
Kebijaksanaan kabinet Ali-Idham dalam menghadapi Peristiwa Sumatera sekarang tidak disebabkan terutama karena Ali Sastroamijoyo seorang Indonesia dari suku Jawa yang toleran, tidak, tetapi karena pimpinan kabinet sekarang terdiri dari orang-orang yang mempunyai perasaan tanggung jawab yang besar. Syukurlah, bahwa ketika terjadi Peristiwa Sumatera, Hatta tidak memegang fungsi dalam pimpinan negara, walaupun saya tidak ragu adanya sangkut paut Hatta dengan kejadian-kejadian itu. Kalau Hatta memegang fungsi penting, apalagi kalau Hatta memegang tampuk pemerintahan, entah berapa banyak lagi korban yang dibikinnya.
Dalam usaha menyelesaikan Peristiwa Sumatera, ada orang-orang yang ingin supaya soal Kolonel Simbolon “diselesaikan secara adat”, supaya soal “Dewan Banteng” diselesaikan “secara musyawarah”, secara “potong kerbau”, dan dengan “menggunakan pepatah dan petitih”. Pendeknya, adat, kerbau, serta pepatah dan petitih mau dimobilisasi untuk menyelesaikan soal Kolonel Simbolon dan soal “Dewan Banteng”. Sampai-sampai orang-orang yang tidak beradat juga berbicara tentang “penyelesaian secara adat”.
Tetapi, orang-orang ini pada bungkam semua ketika Amir Syarifuddin dengan tanpa proses ditembus oleh peluru atas perintah Hatta. Ketika Amir Syarifuddin masih ditahan di penjara Yogyakarta sebelum dibawa ke Solo dan digiring ke desa Ngalian untuk ditembak, tidak ada seorang Batak atau siapapun yang tampil ke depan dan mengatakan: “Mari soal Amir Syarifuddin kita selesaikan secara adat tanah Batak”, atau “Mari soal Amir Syarifuddin kita selesaikan secara Kristen”.
Saya hanya ingin bertanya: Apakah Amir Syarifuddin yang bermarga Harahap itu kurang Bataknya daripada Kolonel Simbolon, sehingga adat Batak menjadi tidak berlaku bagi dirinya? Saya kira Amir Syarifuddin tidak kalah Bataknya daripada orang Batak yang mana juapun, malahan ia tidak kalah Kristennya daripada kebanyakan orang Kristen. Amir Syarifuddin meninggal sesudah ia menyanyikan lagu Internasionale, lagu Partainya, lagu kesayangannya, dan ia meninggal dengan Kitab Injil di tangannya. Amir Syarifuddin adalah putra Batak yang baik, yang patriotik, dan karena itu juga ia adalah seorang putra Indonesia yang baik. Jadi tidak sepantasnya adat tanah Batak tidak berlaku baginya.
Bagaimana pula halnya ribuan orang Jawa yang didrel tanpa proses atas perintah Hatta itu? Apakah suku Jawa yang menderita dari abad ke abad tidak mengenal musyawarah dan tidak mengenal pepatah dan petitih sehingga ketika dilancarkan kampanye pembunuhan terhadap orang-orang Jawa selama Peristiwa Madiun tidak ada orang Jawa yang beradat dan tidak ada cerdik pandai Jawa yang tampil ke depan untuk menyelesaikan persoalan ketika itu secara rembugan (musyawarah), secara adat, dan dengan berbicara menggunakan banyak paribasan (peribahasa), dengan potong sapi, potong kerbau, dan dengan mbeleh wedus (potong kambing)? Ataukah karena pulau Jawa sudah kepadatan penduduk, maka pembunuhan atas orang-orang Jawa oleh tangan besi borjuis Minang Mohammad Hatta boleh dibiarkan? PKI tampil ke depan untuk kepentingan “de zwijgende Javanen” (“Orang-Orang Jawa yang Berdiam Diri”) ini, baik mereka Komunis ataupun bukan-Komunis. Ya, jika soal ini dibawa ke pengadilan, PKI juga akan berbicara atas nama prajurit-prajurit, bintara-bintara, dan perwira-perwira dari suku Jawa yang mati karena melakukan tugas “membasmi Komunis” yang diperintahkan oleh Hatta. Prajurit-prajurit, bintara-bintara, dan perwira-perwira yang mati dalam pertempuran melawan Komunis ketika itu adalah tidak bersalah, sama tidak bersalahnya dengan Komunis-Komunis yang mereka tembak. Mereka semuanya adalah korban permainan politik perang saudara Hatta. Tidak hanya kami, sebagai pewaris-pewaris dari pahlawan-pahlawan Komunis dalam Peristiwa Madiun, tetapi juga keluarga para prajurit, bintara, dan perwira TNI yang disuruh “membasmi Komunis” berhak untuk mendakwa Hatta sebagai pembunuh sanak saudara mereka, jika soal ini dibawa ke pengadilan.
Mari sekarang kita lihat bagaimana sikap pemerintah Hatta terhadap perwira yang belum tentu bersalah dalam Peristiwa Madiun, dan bagaimana sikap pemerintah Ali-Idham sekarang terhadap opsir-opsir yang sudah terang bersalah dalam pemberontakan-pemberontakan di Sumatera.
Pemerintah Hatta dengan tanpa memeriksa lebih dulu kesalahan mereka terus saja memecat perwira-perwira, antara lain yang masih hidup sekarang, bekas Jenderal Mayor Ir. Sakirman, bekas Letnan Kolonel Martono, bekas Mayor Pramuji, dan banyak lagi. Padahal perwira-perwira ini belum pernah dipanggil untuk menghadap, apalagi diperiksa; jadi sama sekali tidak ada dasar untuk memecat mereka. Para perwira yang belum tentu bersalah tidak hanya dipecat, tetapi banyak juga yang disiksa di luar perikemanusiaan dan dibunuh tanpa dibuktikan kesalahannya terlebih dahulu.
Sekadar untuk mengetahui bagaimana pembunuhan-pembunuhan kejam oleh alat-alat resmi ketika itu, bersama ini saya lampirkan 3 buah turunan laporan resmi dan pengakuan resmi tentang pembunuhan terhadap diri Sidik Aslan dan kawan-kawan dan terhadap Letnan Kolonel Dachlan dan Mayor Mustoffa. Untuk menghemat waktu, tidak saya bacakan lampiran-lampiran ini. Lampiran-lampiran ini saya sampaikan lepas dari penilaian siapa dan bagaimana Mayor Sabaruddin pembuat pengakuan-pengakuan tersebut. Yang sudah terang, Mayor Sabaruddin bukan simpatisan PKI, apalagi anggota PKI.
Kekejaman pemerintah Hatta selama Peristiwa Madiun adalah berpuluh-puluh kali lebih kejam daripada pemerintah kolonial Belanda ketika menghadapi pemberontakan Rakyat tahun 1926. Pemerintah kolonial Belanda masih memakai alasan-alasan hukum untuk membunuh, memenjarakan, dan mengasingkan kaum pemberontak, tetapi Hatta sepenuhnya mempraktekkan hukum rimba. Semuanya ini mengingatkan saya kembali pada tulisan Hatta yang berkepala “14 Juli”, dimuat dalam harian “Pemandangan” pada 14 Juli 1941 di mana antara lain ia menulis tentang Petain, seorang Prancis boneka Hitler, sebagai “seorang serdadu yang berhati lurus dan jujur”. Hanya serigala mengagumi serigala, hanya fasis mengagumi fasis!
Bandingkanlah sikap pemerintah Hatta terhadap kejadian di Madiun dengan sikap pemerintah sekarang terhadap Kolonel Simbolon yang sudah terang bersalah karena merebut kekuasaan di sebagian wilayah Republik Indonesia, yang sudah terang melanggar disiplin militer atau yang oleh Presiden Sukarno/Panglima Tertinggi, dalam amanatnya tanggal 25 Desember 1956 dirumuskan telah berbuat yang “menggoncangkan sendi-sendi ketentaraan dan kenegaraan kita, dan yang membahayakan keutuhan tentara dan negara kita pula”. Kolonel Simbolon hanya diberhentikan sementara sebagai Panglima Tentara dan Teritorium I. Sedangkan terhadap pemimpin-pemimpin pemberontakan militer di Sumatera Tengah sampai sekarang belum diambil tindakan apa-apa.
Tentu ada orang-orang yang mengatakan: ya, karena Panglima Tertinggi, Pemerintah, dan Gabungan Kepala Staf Angkatan Perang sekarang tidak mempunyai kewibawaan, maka mereka tidak menghukum perwira-perwira tersebut seperti Hatta dulu menghukum perwira-perwira yang disangka tersangkut dalam Peristiwa Madiun.
Istilah “wibawa” pada waktu belakangan ini banyak dipergunakan orang dengan masing-masing mempunyai interpretasinya sendiri-sendiri. Kalau dengan istilah “wibawa” yang dimaksudkan ialah kemampuan pemerintah untuk bertindak, maka terang bahwa pemerintah sekarang sanggup bertindak, sanggup memerintah, artinya mempunyai kewibawaan. Apakah bukan tanda wibawa dari pemerintah sekarang dengan dapatnya digulingkan kerajaan sehari komplotan kolonel Simbolon dalam waktu yang sangat singkat?
Tanggal 22 Desember 1956 pemerintah memutuskan dan mengumumkan pemberhentian sementara Kolonel Simbolon sebagai panglima TT I dan menyerahkan tanggung jawab TT I kepada Letnan Kolonel Jamin Gintings atau Letnan Kolonel A. Wahab Macmour. Dalam waktu hanya empat hari, yaitu pada tanggal 27 Desember 1956 komplotan Kolonel Simbolon sudah dapat diturunkan dari kerajaan seharinya. Ini artinya bahwa seruan pemerintah dipatuhi, ini artinya pemerintah mempunyai kewibawaan.
Tentu ada orang-orang yang berkata lagi: ya, tetapi itu mengenai Sumatera Utara. Mengenai Sumatera Tengah, pemerintah tidak mempunyai kewibawaan. Mengenai ini saya jawab sebagai berikut: Tiap-tiap orang yang tahu imbangan kekuatan di dalam negeri tidak sukar memahamkan, bahwa kalau pemerintah pusat sekarang mau bertindak, apalagi kalau mau bertindak serampangan seperti Hatta, maka dengan pengerahan serentak seluruh kekuatan Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, dengan dibantu oleh massa Rakyat, maka kerajaan “Dewan Banteng” juga hanya akan merupakan kerajaan sehari. Soalnya bukanlah hanya menunjukkan kemampuan menggunakan kekuatan seperti yang pernah dilakukan oleh Hatta, tetapi juga kebijaksanaan. Pada pokoknya kami setuju bahwa pemerintah sekarang mengkombinasi kekuatan riilnya dengan kebijaksanaan. Sikap ini merupakan dasar yang kuat bagi pemerintah, jika pada suatu waktu pemerintah harus bertindak keras, karena jalan perundingan sudah tidak mempan lagi.
Walaupun kami kaum Komunis pernah diperlakukan secara kejam oleh pemerintah Hatta selama Peristiwa Madiun, tetapi kami tidak menyetujui jika pemerintah sekarang mencontoh perbuatan Hatta yang gegabah dan tidak bertanggung jawab itu. Kita semua mengetahui bahwa politik “tangan besi” Hatta sepenuhnya menguntungkan kepentingan kaum imperialis asing. Ya, walaupun banyak perwira penganut cita-cita PKI yang dibasmi secara jasmaniah dalam Peristiwa Madiun, tetapi kami tidak menuntut supaya Kolonel Simbolon, Letnan Kolonel Ahmad Husein, dan lain-lain dibasmi secara jasmaniah. Apalagi kami tahu bahwa banyak opsir-opsir yang tersangkut dalam pemberontakan-pemberontakan di Sumatera adalah karena hasutan-hasutan sebuah partai kecil yang keok dalam pemilihan umum yang lalu. Kami tidak menghendaki penumpahan darah yang disebabkan oleh kehampaan kebijaksanaan.
Jadi apakah yang kami inginkan?
Kami hanya ingin, supaya disiplin militer berjalan sebagaimana mestinya, supaya hierarki ketentaraan ditaati dengan patuh, supaya Angkatan Perang tetap setia kepada cita-cita Revolusi Agustus 1945, karena hanya dengan demikian kita dapat membangun Angkatan Perang yang mampu membantu menyelesaikan semua tuntutan Revolusi Agustus 1945. Hanya dengan penegakan tata tertib hukum dalam ketentaraan yang berjiwa Revolusi Agustus 1945, Angkatan Perang kita akan setia kepada sumbernya, yaitu Revolusi dan Rakyat.
Sebagaimana sudah saya katakan di atas, ada sementara orang berteriak supaya diadakan penyelesaian “secara adat”, “dengan potong kerbau”, dan “dengan menggunakan pepatah dan petitih”. Tetapi, jika kita tidak waspada, apakah yang tersembunyi di belakang kata-kata ini semuanya? Tidak lain ialah untuk mencairkan disiplin dalam Angkatan Perang kita, untuk mengacau-balaukan hierarki dan tata tertib hukum di dalam ketentaraan kita. Saya tidak berkeberatan jika juga ditempuh jalan secara adat, kerbau-kerbau dipotongi dan segala macam pepatah dan petitih nenek moyang digali dan dipakai, karena semuanya ini memang warisan dan milik kita sendiri. Tetapi jangan lupa, bahwa semuanya ini hanyalah faktor tambahan. Yang primer bagi orang-orang militer ialah tata tertib hukum di dalam ketentaraan. Kalau tidak demikian, lebih baik perwira-perwira yang bersangkutan menanggalkan epoletnya dan kembali ke kampung. Di sanalah barangkali mereka akan menemukan ketenteraman jiwanya.
Sesudah mengkonfrontasikan Peristiwa Madiun 1948 dengan Peristiwa Sumatera 1956, maka sampailah saya pada kesimpulan, bahwa pemerintah Ali-Idham sekarang berpuluh-puluh kali lebih bijaksana daripada pemerintah Hatta ketika menghadapi kejadian-kejadian di Madiun dalam bulan September 1948. Ini dilihat dari sudut kebijaksanaan. Dilihat dari sudut kewibawaan, pemerintah Ali-Idham mempunyai kewibawaan, dibuktikan oleh ketaatan alat-alatnya pada umumnya. Yang tidak menaati pemerintah sekarang hanya minoritas yang sangat kecil yang sudah diracuni oleh sebuah partai kecil dan oknum-oknum liar yang tidak melihat hari depannya dalam demokrasi, tetapi dalam sesuatu kekuasaan militeris-fasis. Adalah janggal dan tidak bertanggung jawab jika pemerintah Ali-Idham menyerah kepada ambisi partai kecil dan oknum-oknum liar ini.
Selanjutnya dapat pula ditarik kesimpulan, bahwa adalah perbuatan yang tidak bertanggung jawab untuk memberi kans sekali lagi kepada Mohammad Hatta, bapak perang saudara, seorang yang karena haus kekuasaan dan pendek akal telah menewaskan beribu-ribu Rakyat dan pemuda, baik orang-orang sipil maupun orang-orang militer kita yang baik-baik.
Sementara orang tentu akan bertanya: Tetapi bagaimana dengan “dwitunggal”? Pertama-tama perlu saya nyatakan bahwa dwitunggal tidak pernah ada, bahwa dwitunggal hanya ada dalam dunia impian orang-orang yang tidak mengerti seluk-beluk sejarah perjuangan kemerdekaan dan sejarah pencetusan Revolusi Agustus 1945.
Kalau orang mau tenang dan mau mengingat-ingat kembali pada pertentangan pendapat yang sengit antara Sukarno dengan “Partai Indonesia” (Partindo) di satu pihak dan Hatta-Syahrir dengan apa yang dinamakan “Pendidikan Nasional Indonesia” di pihak lain, maka orang akan sependapat bahwa dwitunggal yang sungguh-sungguh memang tidak pernah ada. Untuk pertama kali, pada kesempatan ini ingin saya nyatakan, bahwa saya sudah lama merasa ikut berdosa karena sudah ambil bagian aktif dalam gerakan memaksa Hatta menandatangani Proklamasi 17 Agustus 1945. Hatta sudah sejak semula secara ngotot menentang pencetusan Revolusi Agustus. Ia menggantungkan kemerdekaan Indonesia sepenuhnya pada rahmat Saikoo Sikikan (Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Indonesia) yang tidak kunjung tiba itu.
Saya merasa lebih-lebih ikut berdosa lagi ketika membaca pidato Hatta waktu menerima gelar Dr. HC dari Universitas “Gajah Mada” di mana dengan tegas dikatakannya bahwa revolusi harus dibendung. Kalau saya tidak salah, Universitas “Gajah Mada” sudah tiga kali memberikan gelar kehormatan, pertama kepada Presiden Sukarno, kedua kepada Hatta, dan ketiga kepada Ki Hajar Dewantara. Pemberian yang pertama dan ketiga, menurut pendapat saya, adalah tepat, karena Universitas “Gajah Mada” yang dilahirkan oleh revolusi memberikan gelar kehormatan kepada orang-orang revolusioner, pengabdi-pengabdi revolusi. Tetapi pemberian yang kedua, yaitu pada Hatta, maaf, adalah satu kekeliruan yang mungkin tidak disengaja. Betapa tidak keliru, sebuah universitas yang dilahirkan oleh revolusi memberikan memberikan gelar kehormatan kepada seorang yang ingin membendung revolusi, kepada seorang kontra-revolusioner.
Dwitunggal yang terdiri dari seorang revolusioner dan yang seorang lagi kontra-revolusioner sama sekali bukan dwitunggal. Oleh karena itulah saya katakan, dwitunggal tidak pernah ada, kecuali di dalam dongengan dan impian. Dongengan tentang dwitunggal inilah yang antara lain telah membikin revolusi kita menjadi macet, karena dwitunggal yang dibikin-bikin itu, yang heterogen itu, telah membikin kita terjepit di antara dua kutub, kutub revolusi dan kutub kontra-revolusi. Selama lebih sebelas tahun, Rakyat Indonesia sudah ditipu dengan apa yang dinamakan dwitunggal.
Revolusi kita berjalan terus, semua kekuatan revolusioner harus dipersatukan dan dimobilisasi untuk mengalahkan kekuatan-kekuatan kontra-revolusioner.
Demikianlah, penilaian saya mengenai kebijaksanaan pemerintah sekarang, sesudah saya mengkonfrontasikan kebijaksanaan pemerintah Hatta di tahun 1948. Saya dipaksa untuk memberikan penilaian secara ini, karena ada salah seorang anggota Parlemen kita yang dalam pemandangan umumnya membawa-bawa Peristiwa Madiun.
---------------------------------------------------------
Tentara Nasional Indonesia Divisi I
Batalyon 38.
No : C. S. 1948
Hal : verslag proses verbal
Sifat : rahasia
Sekedar laporan/riwayat
I. Pada tanggal 5 Mei 1948 kami selaku Komandan CPM (Corp Polisi Militer) Pusat Yogyakarta, gedetacheerd Jawa Timur termasuk dalam formasi Regiment TJOKROBIROWO Divisi I, pimpinan langsung di bawah P.T. Mayor Sabarudin.
II. Pada bulan Agustus 1948, kami menjabat sebagai Komandan I. S. Divisi I. NAROTOMO, langsung di bawah pimpinan Plm. Div. I. (G.M.D.T.) dengan mandat No. 176/Plm. Sec. 48 dan merangkap sebagai kepolisian di Detachement CPM 206 mandat No. 70/Pol. 49 dan cdt. C.I.S. dari Batalyon 38 (Sabarudin).
III. Madiun Affair tanggal 19 September 1948, maka kami mendapat tugas sebagai kepolisian disahkan/diketahui oleh Cdt. CPM det. 602/Let. Kol. Surachmad, sehingga pencabutan kembali mandat tersebut dalam bulan November tahun 1948.
Kediri/Madiun Affair:
Pada tanggal 19 September 1948 kami menerima tugas kewajiban dari P. T. Cdt. bat. 38 ialah sebagai C.I.S., dan kepolisian: agar seluruh anggota F.D.R. dan Pesindo Brigade 29, menerima tugas langsung dari Det. CPM. 602/Let. Kol. Surachmad.
a. Menangkap seluruh anggota F.D.R./Pesindo brig. 29 dan wanita Kowani.
b. Seluruh anggota P.K.I. dan Kaum Buruh Gula
Ketegasan:
I. Mengingat kami selaku perintah yang patuh dari pimpinan maka kami mau tidak mau harus menjalankan sebagai semestinya, sehingga mulai perintah tersebut melakukan penangkapan orang-orang tersebut di atas dengan beleid kami sendiri ialah sebagai pelindung.
II. Jumlah penangkapan lebih kurang ada dua puluh orang yang terdiri dari kaum buruh gula Pesantren yaitu: Saudara Sukarno, Saudara Subandijono, Saudara Suminar, dan Letnan II Sunarjo dari pabrik Pesantren.
III. Dalam tempo dua puluh empat jam (sehari semalam) semua anggota tersebut yang kami tahankan di Dandangan kami lepaskan kembali secara teratur serta mendapat pengesahan bebas.
IV. Sedangkan di salah seorang di antaranya ialah Saudara Sukarno kami beri surat mandat/kuasa untuk kembali ke pabrik gula menjabat sebagai kepala dari buruh sebagai sediakala.
Keadaan dalam tahanan CPM Det. 602
Mayor Sujatmo:
Pada tanggal 29 bulan 9-1948, Kapten Sugito dan Let. I Sampurno mengirim surat kepada kami, agar kawan-kawan dari Pesindo/B. 29 (F.D.R. P.K.I.) lebih kurang tujuh orang supaya diambil oleh kepolisian Bat. 38 supaya:
a. Segera mengadakan pembunuhan terhadap dirinya almarhum Sidik Aslan cs.
b. Bertanggung jawab penuh kepada CPM (Kapten Sugito dan Letnan I Sampurno dan disahkan oleh Let.Kol. Surachmad dalam melakukan pembunuhan tersebut).
Kesimpulan:
I. Sebenarnya P.T. Bat. Cdt. 38 dalam perintahnya kepada kami supaya meminta anggota-anggota dari Pesindo/F.D.R. dan B. 29.
II. Guna mempersenjatai lebih lanjut (sesuai dengan pengumuman yang disiarkan oleh Panglima Div. I Kolonel Sungkono) dalam surat kabar “dasar-dasar memperbaiki kembali”.
Ketegasan:
Ketegasan P.T. Kom. Bat. 38, sebagaimana tindakan dan suruhan dari CPM sama sekali tidak mau menjalankan serta menolak akan melakukan pembunuhan tersebut.
Tindakan CPM Det. 602:
I. Lebih kurang pada tanggal 11-10-1948 almarhum Sidik Aslan cs diangkut ke Besuki (Kediri) oleh CPM dengan truk.
II. Mendengar berhubung almarhum Sidik Aslan dibawa ke Besuki, maka Cdt. Bat. 38 ikut mempersaksikan “bagaimana kekejaman CPM terhadap saudara-saudara tersebut”.
III. Pengikut-pengikut dari Cdt. Bat. 38 adalah beberapa orang anggota dari B. 29 sebagai chauffeur, Saudara Djamal dan Saudara Dul.
Pembunuhan:
a. Pembunuhan dilakukan oleh seorang Sersan CPM (yang lupa namanya) dengan secara baris zonder berbaju.
b. Kuburan almarhum Sidik Aslan adalah di Besuki.
c. Segala proses verbaal pembunuhan tersebut adalah di tangan Inspektur Pol. kl. 2 Saudara Saimin dan Let. I. Sampurno.
d. Pembunuhan-pembunuhan tersebut sebagai saksi yang nyata ialah anggota bawahan almarhum Sidik Aslan sendiri yang ikut mempersaksikannya (Saudara Jamal dan Dul) dari B. 29.
e. Selain dari pembunuhan tersebut menurut keterangan Inspektur Polisi kl. 2 Saudara Saimin, juga pembunuhan terhadap dirinya P.T. Kol. Munadji dan beberapa orang lainnya (yang tidak diterangkan kepada kami lebih lanjut).
Sekitar penahanan Pt. Let. Kol. Cdt. Ba. 29 Dahlan dan Mayor Mustoffa:
1. Oleh Pt. Mayor Sabarudin: mengingat kekejaman-kekejaman CPM maka Let. Kol. Dachlan dan Mayor Mustoffa ditetapkan di rumah Let. Kol. Surachmad untuk sementara waktu.
2. Berhubung dari pihak CPM sangat menaruh sentiment kepada B. 29 (Dachlan cs) maka diserobot di rumah Let. Kol. Surachmad serta dianiaya melewati dari batas kemanusiaan, sehingga kepala mereka berdua pecah dan keluar otaknya, dengan tidak sadar akan dirinya lagi. Setelah penganiayaan tersebut dilakukan maka ditempatkan di rumah sakit Semampir Kediri.
3. Beberapa waktu kemudian setelah Dachlan-Mustoffa dibawa ke rumah sakit maka pada malamnya sekira jam tujuh malam Pt. Let. Kol. Dachlan dan Mayor Mustoffa kita bawa ke Ngantang di tempat yang dingin. Beberapa hari kemudian Saudara tersebut dirawat di rumah Pt. Mayor Z. Sabaruddin Kediri, Jalan Weringin 11 sehingga sehat kembali.
4. Setelah sehat maka Mayor Mustoffa mendapat mandat disahkan oleh Komandan Bat. 38 serta berjanji akan mengumpul seluruh anggota Bat. 38 (Z. Sabaruddin).
5. Organisatoris – Administratif Teknis yang bertanggung jawab Pt. Bat. Comd. Sabaruddin.
Anggota Kowani:
1. Seluruh anggota Kowani ditahan di Balai Prajurit, lebih kurang sebanyak 60 orang. Di dalam anggota Kowani termasuk beberapa orang dari CC PKI Madiun yang kini berada Bat. 38 (sebagai saksi).
2. Berhubung dalam tawanan anggota Kowani selalu terganggu oleh CPM pada waktu siang/malam, pula kesehatannya kurang sehat, maka semua anggota Kowani kami lepaskan kembali dengan tidak disetujui oleh CPM.
3. Sedang di antaranya seorang Kowani (Sulastri) bagian masyarakat mendapat mandat sebagai anggota pembantu Bat. 38.
Pengesahan/pengangkatan Bat. 38 (Sabaruddin) pada tanggal 10 November 1948 oleh Panglima Divisi I di Pesantren:
1. Pada tanggal 10 November 1948 jam 10.00 pagi Bat. 38 Divisi I disahkan oleh Panglima Divisi I/Sup. Mil. Jawa Timur serta menyampaikan amanat-amanat kepada seluruh anggota Batalyon, serta ikut pula Let. Kol. Surachmad.
2. Dalam amanat Panglima Divisi I tersebut adalah sebagai berikut:
a. Bat. 38 Divisi I Pimpinan Mayor Sabaruddin kami sahkan, (sesuai dengan perintah Panglima Tertinggi Presiden Republik Indonesia) mulai hari ini tanggal 10 November 1948, serta segala kesalahan-kesalahan dihapuskan. Bat. Sabaruddin adalah sebagai pelopor dari seluruh Bat. di Jawa Timur.
b. Berjuang terus serta mengembalikan jiwa 17 Agustus 1945 serta memelihara semangat 10 November 1945 dan seterusnya.
c. Menjaga/membersihkan segala sifat oportunis atau yang berkepala dua dalam kesatuan 38.
d. Kami selaku Panglima Divisi I/G.M.D.T. mengesahkan Bat. 38 sebagai pelopor seluruh Jawa Timur serta terus berjuang (sesuai dengan jiwa Agustus 1945).
Sentiment dari beberapa kesatuan CPM/Brg. Surachmad:
Setelah selesai beberapa minggu, pengesahan Bat. 38 maka timbul kecurigaan-kecurigaan dari CPM dan Brg. “S” terhadap Bat. 38 (Sabaruddin) termasuk juga dalam F.D.R. berhubung:
a. Melindungi/melepaskan anggota-anggota FDR/PKI, Pesindo dan B. 29.
b. Memperhebat/memperkuat mempersenjatai anggota-anggota B. 29 dan FDR.
c. Tidak mau melakukan pembunuhan terhadap dirinya Almarhum Sidik Aslan cs.
Ayat di atas ini diperkuat pula oleh Let. Kol. Surachmad sehingga makin lama makin jauh di antara Let. Kol. Surachmad dan Bat. 38 sehingga jatuhnya Kediri dalam tempo sesingkat-singkatnya. Kediri jatuh terlebih lagi tuduhan-tuduhan terhadap Bat. 38 bertambah hebat dan sebagainya; sehingga Blimbing Affair selesai.
Demikian laporan/verslag ini dengan sebenarnya.
Demi rakyat, demi Negara Republik Indonesia, kami bersumpah dan membubuh tanda tangan dengan saksi-saksi secukupnya.
NB. Berhubung dengan Blimbing Affair, maka segala proses verbaal kurang lengkap melainkan menurut peringatan kami dan kami perbuat hari ini tanggal 1 November 1949.
Tentara Nasional Indonesia
Batalyon 38/Div. I
Commandant Contra Spionase
_______________
ttd.
H. Maladi alias Idrus.
Mayor Z. Sabaruddin.
Pro. Jth. Btl. Kdt.
1. Untuk diketahui oleh segenap keluarga FDR/Pesindo enz.
2. Arsip sebagai dokumen.
Keterangan tambahan:
1. Untuk lebih jelas kami persilakan kepada P. T. Mayor Z. Sabaruddin selaku Komandan Batalyon 38. Saksi-saksi:
a. Saksi-saksi dari anggota B. 29 Saudara Djamal dan Saudara Dul
b. Inspektur Polisi kl. II. Saudara Saimin.
c. Anggota CC PKI.
d. Segenap anggota Kepolisian Staf C.I.S. Bat. 38.
e. Komandan Brg. Bat. 29 Pt. Let. Kol. Dachlan dan Mayor Mustoffa bagian masyarakat.
f. Wanita Kowani/Saudara Sulastri, Kemasan Gg. II/65 Kediri.
g. Kepala Buruh Gula Sukarno dan Saudara Subandijono Pesantren.
h. Anggota pengawal mobil, Mochamad.
Selesai.
Dengan sebenarnya dengan tiada mengurangi/melebihi menurut sumpah pada waktu menerima jabatan.
Noot: Keterangan lain-lain dari yang bersangkutan.
_________
R I S
Diturun tanggal 3 Januari 1950.
Diturun untuk kedua kalinya tanggal 19 Maret 1955.
--------------------------------------------------------
Tentara Nasional Indonesia Divisi I
Batalyon “38” (SABARUDDIN)
Tanggal 3 Januari 1950
P E N G A K U A N
No. 325/Cdt/49/I.
Kami Komandan Batalyon 38 dari Tentara Nasional Indonesia Divisi I, Mayor ZAINUL SABARUDDIN:
dengan mengingat akan sumpah selaku:
a. Angkatan Perang Republik Indonesia;
b. Anggota Central Commando Geurilla Pembela Proklamasi;
Pemuda Republik Indonesia;
“DEMI ALLAH, KEPENTINGAN NEGARA, PERJUANGAN, DAN PERSATUAN”
Bahwasanya pembunuhan (Snelrecht) yang dijatuhi terhadap saudara-saudara:
1. Almarhum SIDIK ASLAN;
2. Almarhum MURSID;
3. Almarhum ANWARI;
4. Almarhum MUNADJI;
5. Almarhum ACHLIJAN;
6. Almarhum ISMANGIL.
Nomor 1, 2, 3, 4, 5, dan 6, telah menjalani hukuman tembak (executie) pada tanggal 11 November 1948 di desa Besuki (Modjo) pada jam 15.00 yang dilakukan/dikerjakan oleh;
a. Letnan I. SUDARMO.
b. Letnan I. HARIBOWO.
kedua-duanya dari Corps Polisi Militer Jawa di Kediri yang dipimpin oleh (atas perintah) Mayor SUJATMO, Komandan C.P.M. dan dikuati oleh Komandan Komando Militer Karesidenan Kediri, Letnan Kolonel Raden SURACHMAD.
Pengakuan ini kami lakukan di hadapan yang bersangkutan untuk ditujukan kepada:
a. Siaran kabar bohong yang dikeluarkan di sekitar Wonosalam oleh Saudara Gatot Sugyanto;
b. Memelihara persatuan yang konsekuen mencapai Kemerdekaan sesuainya Proklamasi 17 Agustus 1945;
c. Mencegah perpecahan di antara sesame Patriotten yang tetap meneruskan perjuangan, khusus dari Organisasi PESINDO.
Dengan keterangan bahwa saksi yang pertama mengetahui dan melihat pembunuhan ini adalah Saudara Djamal, bekas chauffeur Cdt. Brigade 29 Let. Kol. DACHLAN, sewaktu itu menjabat chauffeur kami.
Pengakuan ini dibuat dengan sebenarnya dengan tak melebihi atau mengurangi serta mengingat akan hak-hak yang ada pada kami selaku Komandan Batalyon umumnya, warga negara khususnya.
Selesai.
Dikeluar: Mosbat.
Pada tanggal: 4 November 1949
Jam: 10.00
Komandan
(MAYOR ZAINUL SABARUDDIN)
---------------------------------------------------
TENTARA NASIONAL INDONESIA DIVISI I
BATALYON 38 (SABARUDDIN)
Surat Pengakuan
No. 326/Cdt/49/I.
Kami, Komandan Batalyon 38 Tentara Nasional Indonesia Divisi I, Mayor Zainul Sabaruddin dengan mengingat akan sumpah selaku Angkatan Perang Republik Indonesia, pada tanggal 4 November 1949 di hadapan yang bersangkutan memberikan/mengeluarkan sesuatu PENGAKUAN, “DEMI ALLAH, KEPENTINGAN NEGARA, PERJUANGAN, DAN PERSATUAN” atas PEMBUNUHAN (Snelrecht) dalam pembersihan Madiun Affaire terhadap pemuka-pemuka dari Front Demokrasi Rakyat dan Commandanten dari Brigade 29 dengan tujuan dan pengertian khusus untuk:
a. Memelihara dan menjaga persatuan antara sesama Patriot Bangsa dari segala aliran dan partai, untuk menciptakan sesuatu bolwerk kekuatan yang rieel dan compact menuju ke arah Proklamasi 17 Agustus 1945.
b. Menyapu bersih infiltrators dari pihak reaksioneren yang menghendaki perpecahan di antara sesama patriot untuk kepentingan Belanda serta kaki tangannya yang telah bertahta di kalangan kita: sebagai tertera di bawah ini:
SIAPA PEMBUNUH ALM. SIDIK ASLAN, MURSID, MUNADJI, ACHJAN, DAN LAIN-LAIN?
Pada tanggal 11 November 1948 pada jam 15.00 hari itu, saya yang diikuti oleh chauffeur saya, bernama Djamal ialah bekas chauffeur dari Let. Kol. Dachlan, berada di Besuki, oleh karena mengetahui akan adanya eksekusi yang dijalankan oleh C.P.M. Kediri. Tertarik hati saya, oleh karena yakin, bahwa pembunuhan yang dilakukan itu tidak diadakan pengusutan yang teliti oleh pihak C.P.M. sesuainya Negara Hukum, apalagi jika melihat sampai di mana pengertian Recht (hukum) sesuai Negara Demokrasi yang dimengerti oleh C.P.M. itu.
Pada hari itulah tampak oleh saya 7 Pahlawan Revolusi pertama dari Surabaya, ialah almarhum Sidik Aslan, Mursid, Achjan, Anwari, Ismangil, dan dua pemuda yang tak saya kenal, diberdirikan masing-masing di hadapan satu lubang yang akan menjadi penutupan riwayat pahlawan-pahlawan itu.
Pakaian-pakaian dari mereka itu diperintahkan membuka, sehingga mereka hanya bercelana pendek dan kutang saja. Almarhum Mursid yang pada waktu dalam keadaan berpuasa dengan sebuah botol berisi air di tangannya diperintahkan berdiri di muka lubang yang ditetapkan menjadi tempatnya.
Pembunuhan ini dilakukan oleh C.P.M. di bawah pimpinan Letnan I Sudarmo (sekarang Komandan Sektor Tiron, Barat sungai Brantas Kediri) dan Letnan I Haribowo, Cdt. mobil trup C.P.M. beserta anak buahnya satu regu lengkap. Pembunuhan ini dilakukan eigenhandig oleh kedua opsir tersebut di atas. Kenyataan inilah membawa saya ke arah protes terhadap Cdt. CMKKK Let. Kol. Surachmad dan Mayor Sujatmo Cdt. C.P.M. Jawa Timur, bahwa tindakan semacam itu adalah tindakan melewati hak-hak selaku alat Negara dan Pemerintahan yang lahir dari revolusi ini.
Tuntutan saya, saya ajukan kepada Panglima Divisi dengan menuntut pembebasan semua anggota Pesindo dan Brigade 29 yang ditawan di Kediri dan menyerahkan mereka ini pada Batalyon “S” untuk dijadikan anggota dan kedua, betrokken Officieren yang ternyata tersangkut-paut dengan Peristiwa Madiun itulah yang seharusnya dituntut dan dihukum. Yang berhak mengadili mereka yang tersangkut-paut itu ialah, sesuatu komisi yang ditetapkan oleh Panglima Divisi serta segala hukuman mati harus terlebih dahulu disetujui dan diperintahkan oleh Panglima Divisi I selaku Gubernur Militer Jawa Timur. Perlu agaknya saya kemukakan di sini beberapa keterangan yang dapat dimengerti sesama Patriot Bangsa dalam mengadakan kanalisasi lawan dan kawan, Reaksioneren dan Patriotten.
Betul bahwa Madiun-Affaire itu menyeret Batalyon “S” dalam melakukan perang sesama saudara, akan tetapi sesuatu bukti menjadi kenyataan dan sejarahlah kelak dapat mengetahui nanti, bahwa dalam gerakan ini tidak ada SATU orang dari Batalyon “S” yang gugur. Malahan senjata-senjata yang saya dapati di Dungus itu, tertera tulisan-tulisan “Untuk kawan-kawan senasib dari Surabaya”. Pula kembalinya Batalyon 38 dari Madiun itu adalah pada bulan September 1948 sebelum Madiun seluruhnya selesai, oleh karena tujuan saya ke Madiun itu hanya SENJATA. Betul di antara kawan-kawan Patriot Pesindo dan ini hingga kini saya rasai, bahwa mungkin pada diri saya masih tersimpan benih SENTIMEN ATAU DENDAM, akan tetapi saya selaku Pemuda yang mengerti sedalam-dalamnya arti daripada revolusi tetap mempunyai pendirian, bahwa soal tahun 1945 dan tahun 1946 yang menimpa organisasi PTKR tidak menjadi ukuran bagi saya, oleh karena saya yakin dalam alam dan masa pancaroba di waktu itu, tiap-tiap Pemuda itu terdorong oleh perasaan HEROISME yang murni, yang pula berdasarkan ini, dapat dibelokkan ke arah yang salah oleh Pemuda-pemuda politik yang kenamaan yang dalam hakikatnya hanya seorang avonturier dan reaksioner belaka.
Saya kembali ke tuntutan tersebut di atas: Tuntutan ini mendapat tamparan hebat dari Let. Kol. Surachmad dengan mengeluarkan penyelidikan terhadap organisasi Bat. saya dengan motto: Hubungan apa Sabarudin dengan F.D.R.?
Almarhum Achjan. Kawan seperjuangan saya dari Sidoardjo.
Saya kenal ia selaku pegawai S.S., sebagai kawan main bola, dan terutama saya mengetahui dasar dan tujuan perjuangannya. Jika saya ingat sesuatu siasat yang saya rencanakan bersama-sama dengan Let. Kol. Dachlan dan Achjan yang disaksikan dengan Saudara Suroto selaku orang bekas kepala staf Brig. 29 pada bulan Juni dan Juli 1948 untuk menghancurkan STC Kediri yang dipimpin oleh Mayor SUHUD. Suatu bukti kelak dalam sejarah nanti akan membukanya, bahwa sewaktu saya menggoyangkan kota Kediri dengan penyerbuan terhadap CPM dan STC Kediri itu, Brig. 29 memberikan bantuan sepenuhnya pada Bat. 38 berupa moril dan materiil. Ini suatu kenyataan.
Mayor Achjan, pada waktu dirawat di Rumah Sakit Kediri oleh karena siksaan yang dilakukan oleh CPM, telah saya datangi dan saya pesan padanya, sabarlah, satu kesempatan akan saya ambil untuk mengeluarkannya. Hari itu juga ia diambil oleh Mayor Banuredjo Kom. C.M.K.K.K. dan dipindahkan ke markas C.M.K.K.K. Istri almarhum Achjan mendatangi saya untuk meminta pertolongan. Setelah ini saya uruskan dengan Mayor Banu, maka pada malam hari itu juga Saudara Alm. Achjan dipindahkan ke tempatnya yang tak saya ketahui.
Berkenaan dengan Let. Kol. Dachlan dan Mayor Mustoffa (Ex. Syodantyo).
Sepulang saya dari Madiun, maka terdapat oleh saya bahwa Saudara ini telah berada di rumah sakit, oleh karena pukulan yang diberikan oleh CPM di bawah perintah Sudarmo dengan karabijn, sehingga menyebabkan dua saudara ini mendapatkan lichte hersen-schudding dan otaknya keluar. Seketika itu juga dua saudara itu saya angkut keluar dari rumah sakit dan merawat ia sendiri di rumah saya di Ringinsirah 11, Kediri. Kebebasan untuk menemui keluarganya saya berikan malah rumah saya itu dapat diibaratkan rumah mereka sendiri. Yang berkepentingan dapatlah memajukan pertanyaan-pertanyaan terhadap istri-istri mereka sampai di mana kebenaran keterangan saya ini. Sesuatu niatan yang timbul dari pihak saya ialah: untuk memerdekakan dan memperjuangkan mereka kembali di kalangan-kalangan Batalyon 38. Perlu saya terangkan di sini mengenai kedudukan Let. Kol. Dachlan.
Sewaktu saya dipanggil pemerintah Republik Indonesia di Yogya dan juga oleh Panglima Jawa Kol. Nasution, maka saya didesak oleh pemerintah untuk menyerahkan Dachlan oleh karena ini yang melakukan pengkhianatan sesuainya dekrit Presiden untuk memulai dengan pembersihan di Madiun. Oleh karena saya yakin, bahwa Yogya adalah pusat pemimpin-pemimpin yang birokratis dan haluannya agak ke barat, maka saya memajukan suatu sangsi sanggup menyerahkan Dachlan jika PEMERINTAH MENYERAHKAN AMIR SJARIFUDDIN PADA KAMI ANAK-ANAK JAWA TIMUR. Berdasarkan pemerintah tidak dapat memenuhi sangsi saya itu, maka Dachlan tetaplah berada pada saya.
Pada tanggal 17 Desember 1948 jam 20.00 datanglah perintah dari Gubernur Militer tertanda Let. Kol. Sungkono, untuk menyerahkan Let. Kol. Dachlan pada staf Gubernur Militer dengan ancaman: jika tidak mentaati perintah ini akan diambil tindakan pada diri saya. Saudara Dachlan saya beritahukan dan dia pun mengatakan: Saudara Sabarudin, serahkanlah saya pada Sungkono, agar segala sesuatu dapat saya jelaskan duduk perkara dengan secara jujur dan jantan.
Maka pada malam itu, berpisahlah kita dan saya yakin ke mana Dachlan akan dipergikan.
Saudara Mustoffa, sewaktu tanggal 19 Desember 1948 mulai dengan peperangan, maka kesempatan ini yang tepat sekali bagi saya melepaskan ia dan memberikan mandat pada Mustoffa selaku anggota staf opcratief dengan pangkat Kapiten dari Batalyon 38 dengan tugas tertentu ialah: Bertanggung jawab atas mengkonsolideer semua anggota-anggota Brig. 29 dan mewujudkan satu kekuatan yang riil. Memelihara tetapnya aktivitas gerilya di dalam dan di luar kota Kediri. Senjata-senjata dapat diperoleh dengan jalan melucuti semua bersenjata yang ternyata melarikan atau menjauhkan diri dari pertempuran. Mandat ini sengaja saya berikan untuk dapat dimengerti oleh kawan sesama patriot bahwa bayangan peristiwa PTKR tidak ada lagi pada saya dan mencegah kembali tangkapan dan perlucutan-perlucutan yang pada waktu sudah hendak dilakukan kembali oleh Batalyon Haji Machfud CPM MOB. BRG. Polisi, dan CMKKK di atas perintah Komd. Surachmad. Dengan tugas inilah Saudara Mustoffa dapat tetap in peil houden gerakan-gerakan kita sehingga dapat menguasai posisi yang kuat di sekitar Kediri. Mustoffa memimpin staf operasi Bat. 38 Sektor Kediri, hingga tanggal 19-2-1949 sesuainya peristiwa Belimbing yang terkenal dan yang menimpai kedudukan dan organisasi Bat. 38 dan hancurnya pertahanan kota Kediri, dan memasuki Bat. Munasir di Jombang hingga kini.
Pada Saudara Mustoffa lebihlah jelas lagi yang bersangkutan dapat keterangan untuk memeriksa sampai di mana kebenaran keterangan dan pengakuan saya ini.
Selanjutnya mengenai lain-lain kawan yang masih ditahan oleh CPM di bui Kediri pada bulan Desember 1948, maka saya dapat memberi keterangan yang saya peroleh dari Let. I Sudarmo sendiri di Belimbing pada tanggal 9-2-1949 sebagai berikut:
Pada waktu Belanda memulai doorstootnya pada tanggal 19 Desember 1948, maka CPM melepaskan beberapa orang dari Kediri yang mereka anggap tak bersalah atau barangkali memang tiada waktu untuk memeriksa atau pula karena panik.
Sisa daripada mereka yang tetap ditawan, adalah sejumlah 130. Pengakuan yang saya dapati dari Let. I. Sudarmo tersebut, ialah di antara orang 130 itu terdapat Kolonel Munadji, Komd. Alri Kesatuan 8. Selanjutnya ia menerangkan, bahwa tanggal 20-21 Desember 1948 maka sejumlah 130 orang ini dibasmi dengan eksekusi, juga di daerah Besuki (Modjo) yang turut mengerjakan pembunuhan secara besar-besaran ini terdapat seorang Jepang, anggota CPM bernama: Moh. Djaman.
Saya pikir, dengan pengakuan ini dapatlah kepada kawan-kawan setujuan dijernihkan atau disapu segala infiltrator dari pihak yang memang menghendaki perpecahan, agar tetap terpeliharanya perjuangan kita seterusnya. Keterangan ini atau pengakuan ini saya berikan dengan tidak melebihi atau mengurangi, dengan mengingat sumpah-sumpah selaku pemuda yang bertanggung jawab atas Republik Indonesia dalam perjuangan revolusi kita pada umumnya.
Tetapi sebaliknya ini saya agak merasa menyesal dan kecewa atas pelaporan-pelaporan yang disiarkan secara langsung atau pun tidak langsung pada kawan-kawan seperjuangan dari Pesindo di daerah Wonosalam dan sekitarnya, siaran provokasi mana konon kabarnya disiarkan oleh Saudara Gatot Subjanto, salah satu anggota staf I dari Pesindo yang berani mengakui bahwa pembunuhan Alm. Sidik Aslan cs saya yang melakukan dengan meminumi darah para korban itu.
Kepada organisasi Pesindo dan terutama kepada keluarga mereka yang menjadi korban itu, saya serukan: bahwa siaran ini adalah sesuatu siaran yang sangat berani disiarkan, sehingga melewati batas-batasnya dan bahwa siaran ini mau tidak mau hendaknya dipertanggungjawabkan pula. Sesuatu sangsi yang hendak saya kemukakan, apakah siaran ini tidak dikeluarkan oleh seorang infiltrator dari pihak lawan yang menyelundup di organisasi Pesindo? Karena selama perang ini sebetulnya telah terbentuk dua blok yang kuat dalam pendirian dan perjuangannya. Pihak reaksioner dan pihak konsekuen Radikalen. Masing-masing blok ini mempunyai kekuatan yang agak seimbang. Untuk memecahkan atau menghancurkan blok Radikal, agar tercapai cita-cita negara yang menyimpang dari proklamasi, maka jalan lain tidak ada lagi daripada jalan pemecah-belahan blok itu dengan jalan memasuki infiltrator-infiltratornya. Sebab empat tahun sudah cukup bagi tiap-tiap pemuda yang mengetahui dan mengecapkan perjuangan kita selama itu, bahwa perjuangan atau revolusi kita ini telah dibawa ke arah vaarwater imperialis kapitalis barat dan bangsa sendiri yang bertahta di pemerintah Republik dan berkedok Nasionalis asli. Ingat dan waspadalah Saudara-saudara. Saya selaku anggota Central Komando Gerilya Pembela Proklamasi (GPP) cukup mengetahui sudah pahit-getir perjuangan kita bersama. Dan pengorbanan yang sia-sia itu cukup sudah memperlemah kita secara langsung maupun tidak langsung. Hendaknya pula diingat, bahwa konsekuensi saya dalam memperjuangkan cita-cita bersama, saya tidak terikat pada tucht dari tentara yang ditetapkan dari atasan, tetapi terikat pada tucht Proklamasi 17-8-1945. Belimbing affairs cukup sudah membuka khalayak ramai yang berjiwa asli Republiken, ke mana hendak saya bawa perjuangan Bat. 38 dan ke mana pula hendak saya bawa rakyat pada umumnya.
Saudara yang bertanggung jawab atas organisasi Pesindo!
Lihat dan pelajarilah sedalam-dalamnya peristiwa-peristiwa di Selatan (Lodojo) dan sekitar Ponorogo yang terjadi pada bulan-bulan terakhir ini sesudah gencatan. Gencatan ini membawa akibat menggencet kita sendiri. Pembersihan di daerah selatan Blitar yang aktif dilakukan oleh Mobile Brigade Polisi dengan bantuan penuh dari Batalyon Sikatan yang menyebutkan sekarang namanya Batalyon S (harap awas) dan Batalyon Sobiran dari Tulungagung, yang kesemuanya ini perintah dari Let. Kol. Surachmad dan anjuran dari Cdt. SWK. III di Wonokerto daerah Malang, ialah Mayor Moechlas Rowi, terlihat bayangan-bayangan bahwa yang dimaksudkan “pembersihan” ini adalah mempunyai backing party dan kepentingan Belanda dengan menuduh membersihkan “kaum Merah” (progressief-patriotten). Ketahuilah Saudara-saudara Patih Gunawan, Mayor Natak telah menjadi korban pada bulan September 1949 yang baru lalu ini oleh kaum Si Pembersih! Sesuatu figur yang cakap dan yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan pendirian yang kokoh tegas.
Cukup sudah pengakuan saya tertera di atas, dan bermohon saya dengan sangat dan hormat terhadap organisasi Pesindo, untuk segera membersihkan suasana sekitar pengakuan saya ini. Suatu saksi untuk memperkuat pengakuan saya ini, dapat saya keluarkan secara pampletten op roneo (surat edaran) dengan tanda tangan saya, untuk membuktikan pembunuhnya itu, ialah satu konsekuensi dari pihak Batalyon 38 dengan pasti akan timbulnya persengketaan dan pertikaian ke dalam yang tidak kita inginkan.
Sekian pengakuan saya dan siap-sedia pula untuk satu saat menunjukkan kuburan-kuburan dari pada mereka di Besuki itu.
Sekali Merdeka tetap Merdeka.
Vide et crede. Selesai!
Dikeluarkan : Mosbat
Pada tanggal : 4 November 1949
Jam : 10.00
Commandant
(Mayor Zainul Sabarudin)