Hasil dan Prospek

Leon Trotsky (1906)


Pengantar Untuk Edisi Kedua (2013)

Oleh Ted Sprague

 

Empat tahun yang lalu, karya ini diterbitkan untuk pertama kalinya di Indonesia dan mendapatkan sambutan yang hangat dari insan-insan yang tertarik pada masalah revolusi, tidak hanya di Rusia tetapi juga di Indonesia. Untuk terus memenuhi permintaan akan buku ini, maka buku ini dicetak ulang kembali. Sang penerjemah telah melakukan sejumlah revisi pada terjemahan edisi kedua ini untuk meningkatkan kualitas terjemahan agar gagasan-gagasan yang ingin disampaikan oleh Leon Trotsky dapat tersampaikan dengan lebih baik dan jernih kepada para pembaca.

Kebuntuan dalam masyarakat Indonesia telah melempar jutaan rakyat ke lembah kemiskinan dan penderitaan, dan tidak heran kalau revolusi lantas menjadi secercah harapan bagi banyak kaum muda dan buruh yang resah. Karya “Revolusi Permanen” ini, yang ditulis oleh pemimpin Revolusi Oktober di Rusia dan pendiri Tentara Merah pertama di dunia, menyentuh masalah revolusi tidak secara akademis dan kaku, tetapi dengan pengalaman dari seorang yang terlibat langsung di dalamnya, dan oleh karenanya lebih relevan dan berguna bagi mereka-mereka yang sungguh ingin mengetahui apa itu revolusi – dan bahkan bagaimana mengobarkannya. Tidak bisa dipungkiri kalau sejarah Indonesia sangatlah terkait dengan sejarah Revolusi Oktober di Rusia, dimana Trotsky dan teori Revolusi Permanennya memainkan peran sentral. Revolusi Oktober menginspirasi banyak sekali tokoh-tokoh nasionalis awal Indonesia, sebut saja dua Bapak Bangsa kita: Tan Malaka dan Soekarno. Partai Komunis Indonesia lahir pada 1921 karena gelombang revolusi sosialis dari Rusia, dan adalah partai yang pertama kali melakukan perjuangan politik serius untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan Belanda. Lalu pada periode 1950-1965, PKI adalah partai politik utama dalam periode demokrasi Indonesia yang pertama sejak kemerdekaannya, dan penumpasannya yang penuh darah pada 1965-66 adalah pondasi dari kediktatoran Soeharto selama 32 tahun kemudian. Dalam kata lain, kita tidak bisa berbicara mengenai sejarah Indonesia tanpa berbicara mengenai Partai Komunis Indonesia, dan oleh karenanya Revolusi Oktober yang merupakan inspirasi kelahiran Partai Komunis Indonesia, dan tentunya kebijakan-kebijakan politiknya.

Sejak buku ini diterbitkan, tidak sedikit orang yang mencibir gagasan-gagasan yang ada di dalamnya dengan argumentasi bahwa “Indonesia bukan Rusia”, “Indonesia unik”, dan komentar-komentar serupa lainnya. Tetapi orang-orang yang sama tidak keberatan menggunakan teori-teori sosial lainnya yang notabene juga diimpor dari luar. Teori sosial moderen mana yang tidak datang dari luar negeri? Apa mungkin orang-orang ini ingin menggunakan teori sosial dari Babad Jawa untuk menjawab masalah-masalah revolusi Indonesia hari ini? Oleh karenanya, kritik semacam ini sesungguhnya dangkal dan tidak perlu kita gubris. Banyak yang bisa kita pelajari dari Revolusi Rusia, dan menolak untuk belajar adalah sebuah kebodohan. Ketidaktahuan tidak membantu siapapun, begitu kata Marx.

Bagi mereka yang jeli dengan kondisi politik dan ekonomi Indonesia, membaca karya ini akan membuat mereka sadar bahwa tidak banyak yang berubah dalam politik secara fundamental. Masalah-masalah yang dihadapi oleh Trotsky dan kaum Marxis Rusia seratus tahun yang lalu masih terulang lagi dan lagi sampai hari ini. Hukum-hukum dasar ekonomi dan politik tidak mengenal batas waktu dan ruang, dan inilah kekuatan dari metode Marxisme yang mampu menggeneralisasi peristiwa-peristiwa. Membaca “Hasil dan Prospek” yang ditulis Trotsky pada 1905, dimana dia menganalisa perkembangan kapitalisme di Rusia, seperti membaca perkembangan kapitalisme di Indonesia, dimana kapitalisme datang terlambat dan bahkan dicangkokkan dari luar lewat modal asing. Trotsky menggambarkan bagaimana kelas borjuasi Rusia impoten dalam menghadapi rejim absolutisme Tsar, yang tidak berbeda banyak secara fundamental dari keimpotenan kelas borjuasi Indonesia dalam menghadapi rejim kediktatoran Soeharto dan kekuasaan modal asing, karena alasan yang sama: mereka sama sekali tidak tertarik pada demokrasi atau pembebasan nasional. Kalau mereka sekali-kali berbicara mengenai demokrasi dan kedaulatan bangsa, ini hanya ujar-ujaran yang tidak konsisten dengan tindakan dan sejarah mereka.

Ambillah dua tokoh oposisi nasionalis terkemuka hari ini: Surya Paloh dengan Nasdemnya dan Prabowo dengan Gerindranya. Seperti seorang nasionalis dan anti-imperialis tulen, Surya Paloh berujar: “Indonesia haruslah berdaulat di bidang politik dan mandiri di bidang ekonomi … Kita sebenarnya mampu berdikari di bidang ekonomi. Kenyataannya pada hari ini sejujurnya Indonesia tidak lagi mampu berdiri di atas kaki sendiri. Itu karena Indonesia memberikan kesempatan kepada dunia luar untuk membuat Indonesia sendiri tidak mampu berjaya, berdaya, berdiri, berdaulat di bidang ekonomi, maupun di bidang politik.” Inilah Surya Paloh yang sama, pemilik monopoli media Indonesia, yang memberangus serikat pekerja dan yang editorial koran Media Indonesianya baru-baru saja mengecam aksi buruh: “Kita tidak ingin Indonesia menjadi negeri yang ditinggalkan investor. Kita tidak mau negeri ini gagal memberikan kesejahteraan bagi kaum pekerja, tetapi kita juga tidak mau para pekerja justru membaut bangkrut perusahaan.” Pejuang anti-imperialis kita tidak ingin bangsa Indonesia ditinggalkan investor asing. Kedaulatan Indonesia dalam gambarannya tidak mengikutsertakan kedaulatan buruh untuk berserikat dan memperjuangkan kesejahteraan mereka.

Prabowo tidak kalah buruknya. Dia ingin “membangun perekonomian nasional kita secara mandiri, profesional, dan tidak rapuh dari intervensi dan konspirasi internasional.” Tetapi pada saat yang sama, dia dan saudaranya Hashim Djojohadikusumo berencana membentuk kerja sama dengan Rothschild, kapital asing besar dari Inggris, untuk bersaing dengan Bakrie Group dalam mengambil alih perusahaan tambang Bumi Resources – dimana Bakrie dan Rothschild sebelumnya adalah mitra di dalamnya. Lalu, menanggapi gelombang aksi buruh pada akhir 2012, dia mewanti-wanti buruh agar jangan menuntut gaji yang terlalu tinggi karena pengusaha – dan dia mengikutsertakan dirinya dalam kelompok ini – juga bisa rugi, dan pengusaha bisa menutup perusahaannya dan pindah ke luar negeri. Inilah Prabowo, sang borjuasi kita yang konon seorang nasionalis.

Di dalam karya ini, kemandirian politik kaum buruh adalah tema yang terus ditekankan oleh Trotsky, bahwa hanya kediktatoran proletar yang pada akhirnya bisa menyelesaikan semua masalah-masalah bangsa. Buruh tidak boleh bersandar pada kelas borjuasi nasional, yang dalam perjuangan mereka untuk demokrasi dan pembebasan nasional tidak pernah konsisten, penuh keraguan, dan penuh pengkhianatan. Trotsky mengatakan: “ … Apapun kondisinya, kaum proletar harus melihat dengan jelas jalan yang harus ditempuhnya dan menempuhnya dengan sadar. Dan yang terutama sekali, ia harus bebas dari ilusi-ilusi. Dan ilusi terburuk dalam seluruh sejarahnya, yang sampai sekarang masih diderita oleh kaum proletar, adalah ilusi ketergantungan pada orang lain.” (Penekanan oleh penerjemah). Hari ini, dimana rakyat Indonesia tiap harinya hanya jadi komoditi elektoral, satu hari mengayun ke tokoh ini esok hari mengayun ke tokoh lain, pembangunan kemandirian politik adalah persyaratan utama kalau kita ingin berbicara serius mengenai prospek revolusi.

Karya ini juga adalah sebuah karya polemik, terutama karya kedua dalam buku ini, “Revolusi Permanen” yang ditulisnya setelah diasingkan dari Uni Soviet oleh musuhnya Stalin. Di dalam karya tersebut Trotsky menjawab semua fitnah yang dilemparkan oleh Stalin dan para kacungnya, yang berusaha memelintir teori Revolusi Permanen dan membuatnya tampak seperti teori reaksioner dan kontra-revolusioner. Bagi Stalin dan kaum birokrasi, Revolusi Permanen adalah duri dalam daging, karena terkandung di dalam teori Revolusi Permanen adalah anti-tesis dari teori-teori kaum birokrasi, yakni teori dua-tahap dan teori sosialisme di satu negeri, yang dalam implementasinya telah membawa begitu banyak bencana bagi gerakan revolusi di banyak negeri.

Teori dua-tahap mengatakan bahwa ada dua tahap yang harus dilalui oleh gerakan rakyat pekerja di negeri-negeri terbelakang: pertama, revolusi borjuis demokratis atau nasional demokratis, yang akan terlebih dahulu membangun kapitalisme yang mapan. Baru setelah kapitalisme telah mapan di negeri-negeri terbelakang ini, maka buruh diperbolehkan masuk ke tahap berikutnya, yakni revolusi sosialis. Sebaliknya, Revolusi Permanen mengatakan bahwa dua tahap ini adalah dua tahap yang tidak terinterupsi karena logika revolusi itu sendiri, yakni hanya kelas buruh yang bisa memimpin revolusi borjuis demokratis dan oleh karenanya ia akan langsung dihadapkan dengan tugas-tugas revolusi sosialis. Dalam kata lain, “sejarah menggabungkan isi utama revolusi borjuis dengan tahapan pertama revolusi proletar”.

Teori dua-tahap sesungguhnya adalah manifestasi dari tendensi reformis di dalam gerakan buruh yang tidak mempercayai kemandirian politik kaum buruh. Trotsky mengatakan bahwa “ilusi terburuk dalam seluruh sejarahnya, yang sampai sekarang masih diderita oleh kaum proletar, adalah ilusi ketergantungan pada orang lain” dan ia tidak keliru. Teori dua-tahap mengatakan bahwa buruh – di negeri-negeri terbelakang – harus bersandar pada kelas borjuasi nasional yang progresif dan membuat front bersamanya, dengan dalih bahwa revolusi hari ini bukanlah revolusi sosialis tetapi revolusi borjuis atau revolusi demokratis, bahwa buruh belum siap untuk sosialisme. Di Indonesia, karena merangkul teori dua-tahap, PKI Aidit bersandar pada Soekarno – pemimpin nasionalis Kiri – dan menolak memimpin buruh untuk revolusi sosialis, yang katanya belumlah saatnya. Menurut Aidit, perjuangan kelas harus ada di bawah perjuangan nasional. PKI menolak mengakui perjuangan kelas, tetapi perjuangan kelas mengakuinya dan menghantamnya pada 1965, yang mengkebiri gerakan buruh untuk 32 tahun mendatang. Tidak ada yang lebih parah daripada menolak merebut kekuasaan; Trotsky, pada tahun 1905, menulis: “… kelas proletar, yang dituntun oleh logika revolusi menuju perebutan kekuasaan, tidak dapat dengan sekehendak-hatinya menunda perebutan kekuasaan, karena dengan menundanya ia akan membuka jalan untuk kontra-revolusi.” 12 tahun kemudian, kaum Menshevik di Rusia juga menolak merebut kekuasaan, dengan alasan bahwa tahapan revolusi sekarang adalah revolusi borjuis. Kalau tidak ada kaum Bolshevik yang lalu memimpin kelas proletar untuk merebut kekuasaan pada Oktober 1917, sudah pasti buruh Rusia diremukkan oleh kontra-revolusi yang berdarah-darah. Sayangnya, bukannya belajar dari pengalaman kaum Bolshevik, 60 tahun kemudian sejak Trotsky menulis peringatan di atas, para pemimpin PKI “dengan sekehendak hati menunda perebutan kekuasaan” karena katanya belumlah waktunya untuk kediktatoran proletariat di Indonesia, dan lantas “membuka jalan untuk kontra-revolusi” atau kudeta Soeharto. Mereka-mereka yang mengatakan bahwa “Indonesia berbeda dari Rusia” sungguh benar: pemimpin Komunis Indonesia, tidak seperti pemimpin Komunis Rusia, menolak memimpin kelas proletar ke kediktatoran proletar; alih-alih kemenangan buruh seperti di Rusia, di Indonesia kita saksikan kemenangan kontra-revolusi di atas mayat jutaan rakyat Indonesia. Yah, Indonesia sungguh berbeda dari Rusia karena kaum revolusioner Indonesia di bawah kepemimpinan Aidit saat itu – dengan dalih “keunikan Indonesia” – mengambil jalan yang berbeda dari kaum revolusioner Rusia di bawah kepemimpinan Lenin dan Trotsky, sehingga akhirnya rakyat Indonesia pun tiba di tempat yang berbeda, yakni tiba di rumah jagal Soeharto dan bukannya kemenangan proletar seperti Uni Soviet.

Teori Stalinis yang kedua adalah teori sosialisme di satu negeri, dimana dikatakan bahwa sosialisme bisa tercapai cukup dengan kekuatan satu negeri saja. Dengan teori ini, kaum birokrasi lalu menghentikan segala usaha serius untuk mengobarkan revolusi sosialis sedunia. Ketika Lenin memimpin Revolusi Oktober di Rusia, dia dan semua kaum Bolshevik saat itu tidak ada yang percaya kalau Rusia bisa mencapai sosialisme dengan sendirinya. Mereka percaya bahwa Revolusi Proletar di Rusia akan menjadi pembukaan untuk revolusi proletar di Eropa Barat. Pada Kongres Komunis Internasional Ketiga pada 1921, ini yang dikatakan oleh Lenin:

“Jelas bagi kita bahwa tanpa dukungan revolusi dunia internasional, kemenangan revolusi proletar [di Rusia] adalah mustahil. Sebelum revolusi dan bahkan setelahnya, kita berpikir bahwa hanya ada dua pilihan: revolusi pecah di negeri-negeri yang lainnya, di negeri-negeri yang secara kapitalis lebih maju, dengan segera atau setidaknya dengan sangat cepat, atau kita akan musnah. Meskipun berkeyakinan seperti itu, kita melakukan semua yang mungkin kita lakukan untuk mempertahankan sistem Soviet di bawah semua kondisi, apapun yang terjadi, karena kita tahu bahwa kita sedang bekerja tidak hanya untuk diri kita sendiri tetapi juga untuk revolusi internasional. Kita mengetahui hal ini, kita berulang kali mengekspresikan keyakinan ini sebelum Revolusi Oktober, tidak lama setelahnya, dan pada saat kita menandatangani Perjanjian Brest-Litovsk.”

Dengan jelas Lenin mengatakan bahwa kemenangan akhir revolusi proletar di Rusia hanya bisa terjamin oleh kemenangan revolusi dunia internasional. Uni Soviet harus dipertahankan sebisa mungkin bukan dengan harapan untuk membangun sosialisme di satu negeri tetapi untuk terus mengobarkan revolusi internasional. Akan tetapi, revolusi-revolusi di Eropa Barat menemui kegagalan, dan Uni Soviet mengalami keterisolasian. Hancur luluh lantak oleh Perang Dunia Pertama (1914-1918) dan disusul oleh Perang Sipil (1918-1921) dimana Uni Soviet digempur oleh Tentara Putih yang dibantu oleh 21 pasukan imperialis, rakyat pekerja Rusia mengalami keletihan secara fisik dan mental. Negara buruh Uni Soviet harus mengambil langkah mundur, dan di momen kemunduran inilah kaum birokrasi menampakkan dirinya.

Sebuah negara buruh yang demokratis menuntut terlibatnya mayoritas rakyat pekerja secara aktif dalam administrasi pemerintah, produksi, pabrik-pabrik, dan semua aspek kehidupan. Ini membutuhkan level kebudayaan dan pendidikan yang relatif tinggi dan merata di antara semua lapisan rakyat pekerja. Akan tetapi inilah yang tidak ada di Rusia, yang saat itu merupakan negara terbelakang dengan mayoritas rakyat buta huruf, bodoh, tidak terdidik, penuh prasangka-prasangka, penuh tahayul, yakni semua peninggalan dari rejim monarki Tsar sebelumnya. Inilah mengapa Lenin dan kaum Bolshevik mengharapkan pecahnya revolusi di Eropa Barat, di negeri-negeri kapitalis maju yang nantinya dapat memberikan bantuan teknik dan sumber daya untuk Rusia. Dengan demikian Rusia bisa mengatasi keterbelakangannya, dan dengan cepat memberantas buta huruf, mendidik tenaga-tenaga kerja terlatih, dan meningkatkan level kebudayaan rakyatnya. Namun revolusi dunia tidak berjalan dalam garis lurus. Uni Soviet yang masih muda terisolasi karena revolusi-revolusi di Eropa Barat menemui kegagalan.

Di Rusia hanya ada segelintir orang saja yang bisa baca tulis, yang terampil, yang berpendidikan. Mereka adalah kaum birokrat, para teknokrat, para insinyur, yakni orang-orang terdidik yang mayoritas dulu bekerja untuk rejim Tsar dan perusahaan-perusahaan kapitalis. Mayoritas dari mereka bukan kaum revolusioner, bahkan tidak sedikit yang menentang Revolusi Oktober. Uni Soviet yang terisolasi terpaksa menggunakan tenaga mereka untuk menjalankan pemerintah dan produksi. Awalnya mereka bekerja di bawah pengawasan kediktatoran proletariat. Akan tetapi, keterisolasian Uni Soviet yang lama akhirnya membuat para birokrat ini menjadi kuat, karena merekalah yang mengontrol pengetahuan dan ketrampilan. Sementara rakyat pekerja luas sudah letih. Ekonomi yang hancur berantakan akibat perang yang berkepanjangan membuat kebanyakan rakyat pekerja – buruh dan tani – hanya memikirkan bagaimana mencari makan. Mereka tidak lagi aktif dalam politik. Pertemuan-pertemuan Soviet semakin lama semakin jarang dihadiri. Semangat revolusi massa bukanlah sesuatu yang bisa terus membara selama bertahun-tahun, apalagi di bawah kondisi kehancuran ekonomi. Orang-orang yang aktif dalam gerakan buruh paham betul kalau massa buruh tidak bisa setiap hari diajak turun ke jalan dan melakukan mogok, apalagi revolusi yang memakan begitu banyak enerji. Ketika buruh menjadi pasif dan menundukkan kepala mereka, para birokrat perlahan-lahan mengambil kendali tuas-tuas negara buruh Uni Soviet. Akan tetapi kaum birokrat tidak bisa serta-merta kembali ke kapitalisme. Revolusi Oktober masih segar dalam ingatan rakyat luas walaupun mereka sudah menjadi pasif. Usaha terbuka untuk kembali ke kapitalisme akan menemui perlawanan langsung dari rakyat pekerja Rusia. Oleh karenanya, kaum birokrat memperkuat kekuasaan dan privilese mereka dengan mengatasnamakan Revolusi Oktober. Justru pada tingkatan tertentu mereka juga takut akan restorasi kapitalisme, karena proses ini bisa membawa badai besar yang dapat merampas privilese-privilese mereka.

Mentalitas kaum birokrat adalah mereka menginginkan kedamaian dan kestabilan yang dapat menjamin privilese mereka. Oleh karenanya, gagasan Bolshevisme sejati yang berjuang demi sosialisme sedunia sangatlah mengusik mereka. Mereka tidak ingin direpotkan dengan mengobarkan revolusi sosialis sedunia karena ini dapat mengancam posisi mereka. Kaum birokrat menginginkan rutinitas, dan inilah mengapa mereka mengedepankan gagasan sosialisme di satu negeri. Dengan gagasan ini, masa depan Negara Buruh Uni Soviet tidak lagi tergantung pada prospek revolusi dunia, tetapi dapat dibangun dengan sendirinya di satu bangsa. Sementara teori Revolusi Permanen, yang sejalan dengan gagasan Lenin, mengatakan bahwa revolusi proletar akan mulai dalam arena nasional dan diselesaikan dalam arena internasional. Inilah karakter permanennya, karakter tak-terinterupsinya.

Inilah mengapa akhirnya Stalin membubarkan Komintern pada 1943, mengapa tidak ada satupun negara-negara “komunis” seperti Uni Soviet (di bawah Stalin), Cina, Vietnam, Korea Utara, dan Kuba – semuanya menganut teori sosialisme di satu negeri – yang serius dalam mengobarkan revolusi sosialis dunia. Kestabilan mereka sendiri-sendiri lebih penting daripada revolusi dunia. Kalau sampai hari ini masih ada yang percaya pada teori sosialisme di satu negeri, mereka hanya perlu melihat nasib dari negara-negara “komunis” di atas, yang sudah bergerak ke arah kapitalisme – beberapa sudah tiba (Cina dan Vietnam), yang lain hanya menunggu waktu (Kuba). Lenin dan Trotsky tidak perlu menunggu bukti kegagalan teori sosialisme di satu negeri. Dengan metode Marxisme, mereka sejak awal sudah bisa melihat kemustahilan membangun sosialisme di tengah lautan kapitalisme. Di sinilah letak keunggulan Marxisme, yakni sebagai metode berpikir yang dapat membantu kita merumuskan perspektif umum revolusi.

Tan Malaka, dengan metode Marxisme, juga mencapai kesimpulan-kesimpulan yang serupa dengan Trotsky, walaupun dia tidak pernah membaca karya-karya Trotsky atau berhubungan dengan Trotsky dan Oposisi Kiri. Dengan pekik dan program Merdeka 100%, dia menghubungkan perjuangan kemerdekaan Indonesia (revolusi nasional) dengan perjuangan sosialisme (revolusi sosialis), yakni “menggabungkan isi utama revolusi borjuis dengan tahapan pertama revolusi proletar”. Ia paham bahwa kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya hanya bisa dicapai dengan perjuangan kelas. Dengan seruan pembentukan ASLIA (Asia-Australia) yang sosialis, dia memahami kemustahilan membangun sosialisme di satu negeri. Tidak heran kalau lantas PKI Stalinis menyebut dia sebagai Trotskis, walau Tan Malaka sendiri tidak pernah mengklaim sebagai pendukung Leon Trotsky.

Kata “Trotskis”, bahkan sampai hari ini di dalam gerakan Indonesia, adalah kata yang kotor. Tidak lama yang lalu, seorang yang dicap “Trotskis” di dalam gerakan akan dijauhi dan dicibir. Walaupun sebenarnya tidak ada yang tahu dengan jelas apa sebenarnya gagasan Trotsky itu, karena sampai kira-kira 5 tahun yang lalu karya-karya utama Trotsky – terutama yang berhubungan dengan teori Revolusi Permanen dan kritiknya terhadap Stalinisme – tidak dapat ditemui sama sekali dalam bahasa Indonesia. Hari ini, dengan diterbitkannya sejumlah karya Trotsky dalam bahasa Indonesia (“Revolusi Permanen”, “Revolusi yang Dikhianati” – yakni kritik terhadap teori Sosialisme di Satu Negeri, dan “Program Transisional”), kaum muda dan buruh revolusioner dapat membaca dengan sendirinya apa yang ditulis oleh Trotsky tanpa harus mengenal gagasan Trotsky dari distorsi-distorsi yang sering kita temui.

Tugas mendesak revolusi Indonesia membutuhkan senjata ideologi revolusioner yang tajam. Penerjemah karya ini yakin kalau gagasan Marxisme masih merupakan senjata ideologi terampuh, terutama gagasan Marxisme yang terus diperjuangkan oleh Leon Trotsky. Walau sudah terkubur lama, kita hanya perlu membacanya kembali untuk menemui relevansinya.

 

Ted Sprague

2 Januari 2013