Revolusi Proletariat dan Kautsky si Pengkhianat

V.I. Lenin (1918)


Pengantar Untuk Edisi Bahasa Indonesia “Revolusi Proletariat dan Kautsky si Pengkhianat”

 

Untuk pertama kalinya karya polemik Lenin dengan Kautsky, yang diberi oleh Lenin satu judul yang teramat tajam: “Revolusi Proletariat dan Kautsky si Pengkhianat”, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Mungkin banyak pembaca yang akan bertanya: apa gunanya membaca karya yang sudah 96 tahun tuanya selain hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu historis atau kepentingan akademis? Namun sesungguhnya karya ini masihlah relevan sampai hari ini untuk perjuangan revolusioner. Di dalamnya termaktub pelajaran-pelajaran yang teramat berharga. Lenin menulis karya ini bukan untuk kepentingan akademis atau intelektual semata, tetapi untuk mempersenjatai kaum buruh secara ideologis, dan begitu juga penerjemahan karya ini yang ditujukan untuk para pejuang revolusioner hari ini di bumi Indonesia.

Sampai pada Perang Dunia Pertama yang meledak pada tahun 1914, Lenin selalu menganggap Kautsky sebagai salah satu gurunya. Tidak hanya Lenin, setelah meninggalnya Marx dan Engels Kautsky selalu dianggap sebagai guru besar Marxisme di Eropa oleh hampir semua kaum sosialis. Otoritasnya tidak terbantahkan. Tulisan-tulisannya menjadi salah satu fondasi Marxisme di Rusia, dan ini diakui oleh Lenin sendiri dalam karyanya Negara dan Revolusi: “Tak diragukan lagi bahwa karya-karya Kautsky telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia jauh lebih banyak dari pada ke dalam bahasa lain manapun. Bukanlah tanpa alasan jika beberapa orang Sosial-Demokrat Jerman bergurau bahwa Kautsky lebih banyak dibaca di Rusia dari pada di Jerman.”

Selama puluhan tahun Kautsky mengajari kaum buruh Eropa untuk mempersiapkan diri mereka untuk revolusi ketika kapitalisme memasuki krisis. Krisis akut ini tiba pada tahun 1914 ketika kekuatan-kekuatan imperialis menenggelamkan Eropa ke dalam kubangan darah. Akan tetapi malangnya Kautsky justru tertangkap basah tidak siap dan berusaha mati-matian menyangkal realitas ini. Kita akan lihat di karya Lenin ini bagaimana dia berkali-kali mengecam Kautsky yang berpaling dari tulisan-tulisannya sendiri.  Leon Trotsky sendiri menulis ini mengenainya:

“Kautsky adalah seperti seorang guru yang menyedihkan hidupnya, yang selama bertahun-tahun mengulang-ulang penjelasan mengenai musim semi kepada murid-muridnya di dalam kungkungan empat tembok kelasnya yang sesak. Ketika di akhir kariernya sebagai seorang guru dia memutuskan untuk keluar menghirup udara segar, dia tidak mengenali musim semi, dan menjadi marah dan mencoba untuk membuktikan bahwa musim semi bukanlah musim semi, tetapi hanyalah sebuah kekacauan alam yang besar yang tidak sesuai dengan hukum-hukum alam.” (Hasil dan Prospek)

Demikianlah adanya, ketika musim semi tiba, yakni Revolusi Oktober, Kautsky malah berusaha sekeras mungkin membuktikan bahwa Revolusi Oktober adalah revolusi yang tidak sesuai dengan hukum-hukum revolusi sebagaimana yang dia percaya. 

Salah satu argumen dari Kautsky dalam menentang Revolusi Oktober adalah bahwa tidak ada kondisi revolusioner di Eropa yang membenarkan kaum Bolshevik untuk merebut kekuasaan di Rusia. Dalam memimpin revolusi proletariat di Rusia, kaum Bolshevik melakukan ini dengan pengharapan bahwa revolusi di Rusia akan memercikkan revolusi-revolusi yang serupa di Eropa Barat. Ini karena Lenin dan kaum Bolshevik lainnya paham betul bahwa revolusi bisa dimenangkan di Rusia, yakni sebuah negeri yang terbelakang yang menjadi mata rantai terlemah dalam kapitalisme, tetapi tidak akan bisa dipertahankan kalau tidak diikuti oleh revolusi di negeri-negeri kapitalis maju. Selain itu, pengharapan ini juga berdasarkan kondisi objektif yang ada, yakni Perang Dunia yang meledak telah menciptakan situasi yang revolusioner di seluruh dunia. Inilah prognosis kaum Bolshevik yang dikecam oleh Kautsky, yang ternyata terbukti benar tidak lama setelah Kautsky menulis kritiknya itu. Revolusi Jerman meledak pada November 1918, hanya beberapa bulan setelah pamflet Kautsky terbit di mana dia mempertanyakan prospek revolusi di Jerman dan Eropa secara umum.

Revolusi Jerman ini menemui kegagalan karena pengkhianatan para pemimpin Sosial Demokrat. Partai Sosial Demokrat Jerman bekerja sama dengan tentara dan milisi reaksioner dalam menumpas pemberontakan Spartakus (Partai Komunis Jerman) pada Januari 1919, di mana Rosa Luxemburg dan Karl Leibknecht – pendiri dan pemimpin Partai Komunis Jerman – dibunuh. Kautsky sendiri memainkan peran yang negatif, karena alih-alih mempersiapkan kaum buruh Jerman untuk menyambut revolusi dia malah sibuk meragukan datangnya revolusi Jerman. Keraguannya berbuah kegagalan, karena tidak akan ada revolusi yang pernah menang ketika para partisipannya meragukannya sejak awal. Dosa Kautsky bahkan jauh lebih besar karena dia memiliki pengaruh yang tidak kecil di dalam gerakan buruh Jerman.

Kita bisa melihat bagaimana Kautsky terjerumus ke dalam idealisme ketika dia mengaji Revolusi Oktober. Pertama, dia mengharapkan adanya demokrasi murni yang tidak berkarakter kelas, dengan tidak membedakan antara demokrasi borjuis dan demokrasi proletar.

Kedua, dia menaruh pengharapan yang tidak realistis kepada negara Soviet yang baru saja lahir. Dia mengecam konstitusi Soviet yang katanya tidak rinci dan oleh karenanya rentan digunakan semena-mena. Lenin menepis kritik Kautsky ini sebagai “ocehan dari seorang jurnalis picisan yang dibayar oleh kaum borjuis”. Rakyat pekerja Rusia baru saja membangun sebuah negara Soviet yang baru – dan yang tidak pernah ada sebelumnya – di tengah-tengah Perang Dunia yang berkecamuk dan perang sipil yang baru saja dimulai oleh kaum monarkis Tsar dan borjuasi yang tidak rela kehilangan kekuasaan mereka. Mereka tidak punya sebuah sketsa yang sudah jadi dan siap pakai. Mereka tidak punya ahli-ahli hukum dan pengacara-pengacara yang pintar di tengah-tengah mereka. Kautsky sementara menuntut sebuah konstitusi Soviet yang sempurna dalam waktu beberapa bulan setelah Revolusi Oktober. Kautsky, kata Lenin, “tidak keberatan pada kaum borjuasi Inggris yang membutuhkan beberapa abad untuk menyempurnakan konstitusi borjuis yang baru (baru di Abad Pertengahan). Tetapi dia, karena dia adalah perwakilan kacung borjuasi, tidak memberikan waktu kepada kita, kaum buruh dan tani Rusia. Dia menuntut agar kita segera menyempurnakan konstitusi kita sampai ke huruf yang terakhir dalam beberapa bulan.”

Ketiga, Kautsky juga menuntut agar rejim Soviet yang baru ini bisa segera membawa kesejahteraan. Dia mengeluh bagaimana “setelah sembilan bulan, Republik Soviet, alih-alih membawa kesejahteraan, harus menjelaskan mengapa masih ada kemiskinan secara umum.” Bagaimana mungkin bisa ada kesejahteraan ketika Perang Dunia masih berkecamuk, Jerman masih menyerang Rusia (sampai ditandatanganinya Perjanjian Brest-Litovsk antara Rusia dan Jerman pada Maret 1918 di mana Soviet terpaksa kehilangan sejumlah daerah yang luas, yang mencakup ¼ populasinya, 9/10 dari tambang batubara, dan pusat-pusat industri), dan pemberontakan-pemberontakan reaksioner mulai meledak di seluruh penjuru Rusia? Kautsky diam saja mengenai kondisi-kondisi yang mencekik rakyat pekerja Rusia ini.

Ini tidak berbeda jauh dengan keluhan-keluhan dari Emma Goldman, pemimpin Anarkis terkenal dari Amerika Serikat, terhadap rejim Soviet. Di dalam karyanya yang paling banyak dibaca oleh kaum Anarkis, “Kekecewaan saya di Rusia” (My Disillusionment in Rusia, 1921), dia menceritakan pengalamannya ketika dia berada di Rusia:

“Melewati Nevsky Prospekt, dekat Jalan Liteiny, saya melihat sekelompok perempuan yang berkerumun untuk menghangatkan diri mereka dari udara dingin. Mereka dikelilingi oleh sejumlah prajurit, yang mengobrol dengan mereka. Perempuan-perempuan ini adalah pelacur yang sedang menjual diri mereka untuk sepotong roti, sabut atau cokelat. Para prajurit adalah satu-satunya yang dapat membeli mereka karena jatah makanan mereka yang lebih. Prostitusi di Rusia Revolusioner. Saya heran. Apa yang sedang dilakukan oleh Pemerintahan Komunis untuk mereka-mereka yang malang ini? Apa yang sedang dilakukan oleh Soviet Buruh dan Tani? ... Ini terlalu mengejutkan, terlalu luar biasa, tetapi begitulah adanya – makhluk-makhluk yang kedinginan yang menjual diri mereka dan para pembeli mereka, yakni para pembela Revolusi. “Para penyerang yang terkutuk itu, blokade – mereka-lah yang menyebabkan ini,” jawab pengantar saya. Ya, kaum kontra-revolusioner dan blokade-lah yang bertanggung jawab. Saya mencoba meyakinkan diri saya. Saya mencoba menghiraukan kerumunan tersebut, tetapi saya tidak bisa melupakannya.”

Emma Goldman mengharapkan prostitusi segera dihapuskan dari tanah Soviet dalam waktu yang singkat, di tengah kepungan Tentara Putih dan pasukan imperialis, di tengah kemiskinan yang mengerikan di Soviet. Dia tidak paham bahwa prostitusi disebabkan oleh kemiskinan dan bukan oleh semacam cacat moral dari “para pembela Revolusi” yang dia kecam tersebut, dan hanya setelah kemiskinan bisa diatasi maka prostitusi akan segera pupus secara signifikan. Dalam hal ini kita bisa melihat bagaimana idealisme borjuis-kecil Kautsky ini tidak berbeda dengan idealisme borjuis-kecil seorang anarkis, yang tidak bisa mengkaji situasi berdasarkan kondisi objektif yang ada.

Kebijakan-kebijakan luar biasa dan keras yang diambil oleh Soviet di bawah kepemimpinan Lenin dan Trotsky bukanlah sesuatu yang inheren dalam Marxisme dan konsep kediktatoran proletariat, namun adalah reaksi terhadap situasi-situasi sulit yang harus mereka hadapi: revolusi sosialis di negeri terbelakang, perang sipil dan kepungan tentara-tentara imperialis, dan keterlambatan revolusi-revolusi di Eropa Barat dan kegagalan mereka. Kendati kritik-kritik tajam terhadap Bolshevisme yang datang dari semua kaum “sosialis” dan “Marxis” tipe Karl Kautsky, Antonie Pannekoek, Herman Gorter, dll. dan juga kaum anarkis dari berbagai tendensi, sampai hari ini tidak ada satu pun dari mereka yang pernah berhasil dalam merebut kekuasaan dari tangan kelas borjuasi. Sebaliknya, gagasan-gagasan mereka justru melucuti rakyat pekerja dalam memenangkan revolusi.

Karya ini bukanlah karya pertama Lenin dalam berpolemik melawan Kautsky. Dalam “Negara dan Revolusi”, Lenin juga sudah memulai kritik tajamnya terhadap Kautsky dalam perihal karakter Negara borjuasi. Bahkan sebelumnya, dalam karyanya “Imperialisme: Tahapan Tertinggi di dalam Kapitalisme” yang ditulisnya pada 1916 Lenin sudah mengkritik gagasan ultra-imperialisme Kautsky. Kautsky berpendapat bahwa kapitalisme akan bergerak ke arah ultra-imperialisme di mana semua negara kapitalis bersatu dan membagi-bagi dunia secara damai sehingga tidak akan ada lagi peperangan di antara mereka.

Leon Trotsky juga menulis sebuah karya polemik terhadap Kautsky pada 1920, yakni pada puncak Perang Sipil di Rusia di mana Leon Trotsky sedang memimpin Tentara Merah dalam memerangi Tentara Putih, kepungan tentara-tentara imperialis dan usaha-usaha sabotase kaum reaksioner. Pada tahun 1919, Kautsky menerbitkan sebuah pamflet berjudul “Terorisme dan Komunisme” yang mengutuk keras kebijakan-kebijakan “teror” Bolshevik yang dianggapnya kejam dan tidak demokratis. Trotsky, sebagai Komisar Perang yang berdiri memimpin perjuangan hidup-mati untuk mempertahankan Negara Buruh Soviet yang baru saja lahir ini, menjawabnya lewat pamflet dengan judul yang sama, “Terorisme dan Komunisme.”

Pada akhirnya, Kautsky adalah produk dari epos kebangkitan kapitalisme pada 1870-1910. Dalam periode kemajuan kapitalisme tersebut kaum proletariat tumbuh besar. Namun mereka juga tumbuh terbiasa pada reforma-reforma yang dapat diberikan oleh kapitalisme yang sedang berkembang itu. Para pemimpin serikat-serikat buruh dan partai-partai buruh yang tergabung dalam Internasional Kedua mulai bergeser dari Marxisme ke reformisme, bahwa sosialisme dapat dicapai secara bertahap tanpa perlunya revolusi. Mengapa tidak ketika tampaknya kapitalisme bisa terus tumbuh dan memberikan reforma kepada buruh? Kautsky pada awalnya menentang pergeseran ke reformisme ini, tetapi oposisinya tidak tegas dan tidak konsisten karena dia sendiri telah mengasimilasi reformisme ke dalam pemikirannya.

Hari ini, perjuangan melawan reformisme dan oportunisme di dalam gerakan buruh masihlah merupakan perjuangan ideologis yang paling penting. Bahkan dapat dikatakan bahwa kapitalisme tidak akan dapat bertahan barang satu hari pun tanpa reformisme yang membebani kesadaran kelas buruh. Tidak cukup hanya mengkritik kapitalisme. Inilah mengapa karya-karya polemik Lenin terhadap reformisme dalam berbagai bentuknya masih tetap relevan bagi kaum buruh dan kaum muda revolusioner di Indonesia hari ini.

 

Ted Sprague

13 April 2014