Negara dan Revolusi

V.I. Lenin (1917)


BAB I. MASYARAKAT KELAS DAN NEGARA

1. NEGARA – PRODUK DARI TAK TERDAMAIKANNYA ANTAGONISME KELAS

Apa yang kini menimpa teori Marx telah, sepanjang sejarah, berulang kali menimpa teori para pemikir dan pemimpin revolusioner kelas tertindas yang berjuang untuk pembebasan. Selama masa hidup tokoh revolusioner itu, kelas penindas terus memburu mereka, dan menyerang teori mereka dengan kebencian dan kedengkian yang paling brutal, dengan kampanye dusta dan fitnah yang tak mengindahkan moral. Setelah mereka meninggal dunia, berbagai upaya dilakukan untuk mengubah mereka menjadi ikon yang tidak berbahaya, dalam kata lain mengubah mereka menjadi Santo, dan menyucikan nama mereka sampai batasan tertentu guna “menghibur” dan menipu kelas tertindas, sementara pada saat yang sama menghapus substansi dari teori revolusioner mereka, menumpulkannya dan memvulgarkannya. Hari ini, borjuasi dan kaum oportunis dalam gerakan buruh bekerja sama memelintir Marxisme. Mereka menghapus, mengaburkan, atau mendistorsi sisi revolusioner dari teori Marxisme, yaitu jiwa revolusionernya. Mereka menonjolkan dan memuji apa yang dapat diterima atau yang kelihatannya dapat diterima oleh borjuasi. Semua kaum sauvinis-sosial kini telah menjadi “Marxis” (jangan tertawa!). Dan para intelektual borjuis Jerman, yang kemarin adalah ahli dalam membasmi Marxisme, kini semakin sering berbicara mengenai Marx “Jerman Nasional”, yang menurut klaim mereka, telah mendidik serikat-serikat buruh yang terorganisir dengan begitu baik untuk meluncurkan perang predatoris!

Dalam situasi seperti ini, mengingat distorsi atas Marxisme yang begitu luas, maka tugas utama kita adalah menegakkan kembali apa yang sesungguhnya diajarkan Marx mengenai negara. Ini membutuhkan sejumlah kutipan panjang dari karya-karya Marx dan Engels sendiri. Tentu saja, kutipan panjang akan membuat teks ini terlalu panjang dan tidak akan membuatnya mudah dibaca, tetapi kita tidak mungkin menghindarinya. Semua, atau setidaknya seluruh bagian terpenting dari karya Marx dan Engels mengenai negara harus dikutip selengkap mungkin supaya pembaca dapat membentuk opininya sendiri mengenai totalitas gagasan pendiri sosialisme ilmiah, dan evolusi gagasan tersebut, sehingga distorsi yang dilakukan oleh “Kautskyisme” terhadap gagasan mereka dapat terdokumentasi, dibuktikan, dan diungkapkan dengan jelas.

Mari kita mulai dengan karya Engels yang paling populer, Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara,[1] yang edisi keenamnya diterbitkan di Stuttgart pada 1894. Kita terpaksa menerjemahkan kutipan-kutipannya dari aslinya dalam bahasa Jerman, karena versi terjemahan Rusianya, meskipun sangat banyak, sebagian besar tidak lengkap atau sangat tidak memuaskan.

Menyimpulkan analisis sejarahnya, Engels mengatakan:

“Negara oleh karenanya bukanlah sebuah kekuasaan yang dipaksakan pada masyarakat dari luar; seperti halnya negara bukanlah ‘realitas ide etis’, ‘imaji dan realitas nalar’, seperti yang dikemukakan Hegel. Sebaliknya, negara adalah produk masyarakat pada tahapan perkembangan tertentu; negara adalah pengakuan bahwa masyarakat ini telah terjerat dalam kontradiksi yang tak terpecahkan dengan dirinya sendiri, bahwa masyarakat ini telah terpecah belah ke dalam antagonisme-antagonisme tak-terdamaikan yang tak mampu ia singkirkan. Tetapi agar antagonisme-antagonisme ini, yaitu kelas-kelas dengan kepentingan ekonomi yang bertentangan, tidak lantas menghancurkan diri mereka sendiri dan masyarakat dalam perjuangan yang sia-sia, maka diperlukan sebuah kekuasaan, yang tampaknya berdiri di atas masyarakat, untuk melunakkan konflik tersebut dan menjaganya dalam batas-batas ‘ketertiban’, dan kekuasaan ini, yang muncul dari masyarakat, tetapi menempatkan dirinya di atasnya dan semakin mengasingkan dirinya dari masyarakat, inilah negara.” (Hal. 177-78, edisi Jerman keenam)[2]

Kutipan di atas mengekspresikan dengan sangat jelas ide dasar Marxisme mengenai peran historis dan makna negara. Negara adalah produk dan manifestasi dari tak terdamaikannya antagonisme kelas. Negara muncul selama antagonisme kelas secara obyektif tidak dapat didamaikan. Dan, sebaliknya, keberadaan negara membuktikan bahwa antagonisme kelas tidak dapat didamaikan.

Pada titik yang paling penting dan mendasar inilah distorsi terhadap Marxisme dimulai, yang berlangsung seturut dua garis pokok.

Di satu sisi, para ideolog borjuis, dan khususnya para ideolog borjuis-kecil, yang terdorong oleh fakta-fakta sejarah yang tak terbantahkan untuk mengakui bahwa negara hanya ada selama ada antagonisme kelas dan perjuangan kelas, “mengoreksi” Marx sedemikian rupa sehingga negara tampak sebagai organ untuk mendamaikan kelas-kelas. Menurut Marx, negara tidak akan dapat lahir ataupun bertahan jika negara mampu mendamaikan kelas-kelas. Dari apa yang dikatakan oleh para profesor dan penulis borjuis-kecil dan filistin, yang cukup sering merujuk pada Marx, tampaknya negara mendamaikan kelas-kelas. Menurut Marx, negara adalah organ kekuasaan kelas, organ penindas satu kelas terhadap kelas yang lain; negara adalah terciptanya “ketertiban”, yang melegalkan dan melanggengkan penindasan ini dengan memoderasi konflik antar kelas. Namun, menurut pendapat para politisi borjuis-kecil, ketertiban berarti perdamaian kelas-kelas, dan bukan penindasan satu kelas terhadap kelas lainnya; melunakkan konflik berarti mendamaikan kelas-kelas dan bukannya merampas sarana dan metode perjuangan tertentu dari kelas tertindas untuk menggulingkan kaum penindas.

Misalnya, ketika, dalam revolusi 1917, masalah mengenai signifikansi dan peran negara muncul sebagai masalah praktis yang menuntut tindakan segera, dan, terutama, tindakan dalam skala massa, semua kaum Sosialis-Revolusioner dan kaum Menshevik segera terjerumus ke dalam teori borjuis-kecil bahwa “negara” “mendamaikan” kelas-kelas. Resolusi-resolusi dan artikel-artikel yang tak terhitung jumlahnya yang ditelurkan oleh para politisi dari kedua partai ini sepenuhnya sarat dengan teori “perdamaian kelas” borjuis-kecil dan filistin ini. Bahwa negara adalah organ kekuasaan suatu kelas tertentu yang tidak dapat didamaikan dengan antipodenya (musuh kelasnya) adalah sesuatu yang tidak akan pernah dapat dipahami oleh kaum demokrat borjuis-kecil. Sikap mereka terhadap negara adalah salah satu manifestasi paling mencolok dari fakta bahwa kaum Sosialis-Revolusioner dan Menshevik kita bukanlah kaum sosialis sama sekali (sebuah poin yang selalu dipertahankan oleh kita, kaum Bolshevik), melainkan kaum demokrat borjuis-kecil yang menggunakan fraseologi yang mirip-mirip sosialis.

Di sisi lain, distorsi “Kautskyis” terhadap Marxisme jauh lebih halus. “Secara teoritis”, tidak dapat dipungkiri bahwa negara adalah organ kekuasaan kelas, atau bahwa antagonisme kelas tidak dapat didamaikan. Namun apa yang diabaikan atau dikaburkan adalah ini: jika negara adalah produk dari tak terdamaikannya antagonisme kelas, jika negara adalah sebuah kekuasaan yang berdiri di atas masyarakat dan “semakin mengasingkan dirinya dari masyarakat”, maka jelaslah bahwa pembebasan kelas tertindas bukan hanya tidak mungkin tercapai tanpa revolusi yang penuh kekerasan, tetapi juga tidak mungkin tanpa penghancuran aparatus kekuasaan negara yang diciptakan oleh kelas penguasa dan yang merupakan perwujudan dari “keterasingan” ini. Seperti yang akan kita lihat nanti, Marx dengan sangat eksplisit menarik kesimpulan teoritis yang jelas-dengan-sendirinya ini berdasarkan kekuatan analisis historis yang konkret mengenai tugas-tugas revolusi. Dan – seperti yang akan kami tunjukkan secara rinci nanti – kesimpulan inilah yang telah “dilupakan” dan didistorsi oleh Kautsky.

2. BADAN KHUSUS ORANG BERSENJATA, PENJARA, DLL.

Engels melanjutkan:

“Berbeda dengan tatanan gens yang lama [suku atau klan], negara, pertama-tama, membagi warganya menurut wilayah....”[3]

Pembagian ini tampak “wajar” bagi kita, namun ini memerlukan perjuangan yang panjang melawan tatanan lama yang berdasarkan gens atau suku.

“Ciri kedua yang membedakan adalah pembentukan kekuasaan publik yang tidak lagi secara langsung sesuai dengan penduduk yang mengorganisir dirinya sebagai kekuatan bersenjata. Kekuasaan publik yang khusus ini diperlukan karena organisasi penduduk bersenjata yang bertindak-sendiri telah menjadi mustahil sejak terpecahnya masyarakat ke dalam kelas-kelas. ... Kekuasaan publik ini eksis di setiap negara; ia tidak hanya terdiri dari orang-orang bersenjata tetapi juga terdiri dari sejumlah bangunan material, penjara, dan berbagai lembaga pemaksa, yang tidak dikenal oleh masyarakat gens (klan) sebelumnya....”[4]

Engels menjelaskan konsep “kekuasaan” yang disebut negara, suatu kekuasaan yang muncul dari masyarakat tetapi menempatkan dirinya di atas masyarakat dan semakin mengasingkan dirinya dari masyarakat. Terdiri dari apakah kekuasaan ini? Kekuasaan ini terutama terdiri dari badan khusus orang-orang bersenjata, yang memiliki penjara, dll., di bawah komando mereka.

Kita dibenarkan berbicara tentang badan khusus orang-orang bersenjata, karena kekuasaan publik yang merupakan ciri setiap negara “tidak secara langsung sesuai” dengan penduduk bersenjata, dengan “organisasi penduduk bersenjata yang bertindak-sendiri”.

Seperti semua pemikir revolusioner besar lainnya, Engels mencoba menarik perhatian kaum buruh yang sadar-kelas pada apa yang dianggap oleh filistinisme sebagai hal yang paling tidak layak untuk diperhatikan, sebagai hal yang paling lazim, yang penuh dengan prasangka-prasangka yang tidak hanya telah mengakar tetapi juga telah membatu. Tentara tetap dan polisi merupakan instrumen utama kekuasaan negara. Tapi bagaimana bisa tidak?

Dari sudut pandang mayoritas besar orang Eropa pada akhir abad ke-19, yang menjadi sasaran tulisan Engels, dan yang belum pernah mengalami atau mengamati secara dekat satupun revolusi besar, tentara tetap dan polisi selalu merupakan instrumen kekuasaan negara. Mereka sama sekali tidak bisa memahami apa itu “organisasi penduduk bersenjata yang bertindak-sendiri”. Ketika ditanya mengapa kita memerlukan badan khusus orang-orang bersenjata yang ditempatkan di atas masyarakat dan mengasingkan dirinya dari masyarakat (polisi dan tentara tetap), kaum filistin Eropa Barat dan Rusia cenderung menjawab dengan beberapa ungkapan yang dipinjam dari Spencer atau Mikhailovsky, yang mengacu pada semakin kompleksnya kehidupan sosial, diferensiasi fungsi, dan sebagainya.

Referensi demikian tampak “ilmiah”, dan secara efektif meninabobokan orang awam dengan mengaburkan fakta yang penting dan mendasar, yaitu terpecahnya masyarakat menjadi kelas-kelas yang antagonistis dan tak terdamaikan.

Jika bukan karena perpecahan ini, maka “organisasi penduduk bersenjata yang bertindak sendiri” akan berbeda dari organisasi primitif sekawanan kera dengan ranting, atau manusia primitif, atau klan, dalam hal kompleksitasnya, dalam hal level tekniknya yang tinggi, dst. Namun “organisasi penduduk bersenjata” demikian masih mungkin ada.

“Organisasi penduduk bersenjata yang bertindak-sendiri” menjadi mustahil karena masyarakat beradab telah terpecah menjadi kelas-kelas yang antagonistis, dan terlebih lagi, kelas-kelas antagonistis yang tidak dapat didamaikan. Bila kelas-kelas ini bersenjata dan “bertindak sendiri”, maka ini akan berujung pada perjuangan bersenjata di antara mereka. Sebuah negara lahir, sebuah kekuasaan khusus diciptakan, badan khusus orang-orang bersenjata, dan setiap revolusi, dengan menghancurkan aparatus negara, menyingkapkan kepada kita perjuangan kelas yang terbuka, dengan jelas menunjukkan kepada kita bagaimana kelas penguasa berupaya memulihkan badan khusus orang-orang bersenjata yang melayaninya, dan bagaimana kelas tertindas berupaya menciptakan sebuah organisasi baru semacam ini, yang mampu melayani kaum terhisap dan bukannya kaum penghisap.

Dalam argumen di atas, Engels secara teoritis mengajukan masalah yang selalu muncul secara praktis, gamblang, dan, terlebih lagi, dalam skala aksi massa di setiap revolusi besar, yaitu, masalah hubungan antara badan “khusus” orang-orang bersenjata dan “organisasi penduduk bersenjata yang bertindak-sendiri”. Kita akan melihat bagaimana masalah ini secara spesifik diilustrasikan oleh pengalaman revolusi di Eropa dan Rusia.

Tapi kembali ke pemaparan Engels.

Ia menunjukkan bahwa kadang-kadang – di beberapa wilayah tertentu di Amerika Utara, misalnya – kekuasaan publik ini lemah (yang ia maksud adalah pengecualian yang jarang dalam masyarakat kapitalis, dan wilayah-wilayah Amerika Utara selama periode pra-imperialismenya, di mana kaum kolonis bebas mendominasi), tetapi pada umumnya kekuasaan publik ini menjadi semakin kuat:

“Namun, ini [kekuasaan publik] menjadi semakin kuat seiring dengan semakin akutnya antagonisme kelas dalam negara, dan seiring bertambah besar dan bertambah banyaknya jumlah penduduk di negara-negara tetangga. Kita hanya perlu melihat Eropa saat ini, di mana perjuangan kelas dan persaingan dalam penjajahan telah memperkuat kekuasaan publik sedemikian rupa sehingga mengancam menelan seluruh masyarakat dan bahkan negara.”[5]

Ini ditulis sebelum awal tahun 1890an. Kata pengantar terakhir Engels ditulisnya pada 16 Juni 1891. Peralihan menuju imperialisme – yang berarti dominasi penuh perusahaan trust, kemahakuasaan bank-bank besar, kebijakan kolonial skala-besar, dan sebagainya – baru saja dimulai di Prancis, dan bahkan lebih lemah di Amerika Utara dan Jerman. Sejak saat itu, “persaingan dalam penjajahan” telah mengambil langkah besar, terlebih lagi karena pada awal dekade kedua abad ke-20 dunia telah sepenuhnya terbagi di antara “negara-negara penjajah yang bersaing”, yaitu di antara Kekuatan-kekuatan Besar yang predatoris. Sejak saat itu, persenjataan militer dan angkatan laut telah berkembang secara luar biasa dan perang predatoris pada 1914-1917 antara Inggris dan Jerman untuk menentukan siapa yang mendominasi dunia, untuk membagi-bagi rampasan perang, telah membuat semua kekuatan masyarakat “ditelan” oleh kekuasaan negara yang rakus, yang telah menyebabkan malapetaka total.

Seawal tahun 1891, Engels dapat menunjukkan “persaingan dalam penjajahan” sebagai salah satu ciri khas yang paling penting dalam kebijakan luar negeri Kekuatan-kekuatan Besar. Sementara, ketika persaingan yang semakin meruncing ini akhirnya menyebabkan meletusnya perang imperialis, para bajingan sauvinis-sosial justru sejak 1914 menutupi kepentingan predatoris borjuasi “mereka sendiri” dengan slogan “membela tanah air”, “membela republik dan revolusi”, dst.!

3. NEGARA: ALAT UNTUK MENGEKSPLOITASI KELAS TERTINDAS

Pemeliharaan kekuasaan publik khusus yang berdiri di atas masyarakat memerlukan pajak dan pinjaman negara.

“Dengan memiliki kekuasaan publik dan hak untuk memungut pajak,” tulis Engels, “para pejabat kini berdiri, sebagai organ masyarakat, di atas masyarakat. Rasa hormat yang sebelumnya diberikan secara bebas dan sukarela kepada organ masyarakat gens [klan] tidak memuaskan mereka, bahkan jika mereka dapat memperolehnya.” Undang-undang khusus diberlakukan, yang menyatakan kekeramatan dan imunitas para pejabat. “Pegawai polisi yang paling rendah” memiliki lebih banyak “otoritas” dibandingkan perwakilan klan, tetapi bahkan pemimpin militer negara beradab dapat iri pada seorang sesepuh klan yang menikmati “rasa hormat yang diperoleh tanpa paksaan” dari masyarakat.[6]

Kita dihadapkan dengan masalah privilese para pejabat sebagai organ kekuasaan negara. Poin utamanya: apa yang menempatkan mereka di atas masyarakat? Kita akan melihat bagaimana masalah teoritis ini dijawab dalam praktik oleh Komune Paris pada 1871 dan bagaimana masalah ini dikaburkan dari sudut pandang reaksioner oleh Kautsky pada 1912.

“Karena negara muncul dari kebutuhan untuk mengendalikan antagonisme kelas, tetapi pada saat yang sama negara muncul di tengah konflik antar-kelas ini, maka biasanya negara adalah negara dari kelas yang paling kuat, yang dominan secara ekonomi, yang, melalui perantaraan negara, juga menjadi kelas yang dominan secara politik, dan dengan demikian memperoleh cara-cara baru untuk menekan dan mengeksploitasi kelas tertindas....” Negara-negara zaman kuno dan feodal adalah organ untuk mengeksploitasi kaum budak dan hamba; demikian pula, “negara perwakilan modern adalah instrumen eksploitasi buruh upahan oleh kapital. Namun, sebagai pengecualian, terdapat masa-masa di mana kelas-kelas yang bertikai saling menyeimbangkan satu sama lain sedemikian rupa sehingga kekuasaan negara memperoleh, untuk sementara waktu, kemandirian tertentu dari keduanya dan seolah-olah tampil sebagai penengah….” Demikianlah monarki absolut pada abad ke-17 dan ke-18, Bonapartisme Kekaisaran Pertama dan Kedua di Prancis, dan rezim Bismarck di Jerman.[7]

Dapat kita tambahkan, demikianlah pemerintahan republik Kerensky di Rusia, setelah ia mulai mempersekusi proletariat revolusioner tatkala Soviet telah menjadi impoten karena kepemimpinan kaum demokrat borjuis-kecil, sementara borjuasi belum cukup kuat untuk membubarkan Soviet.

Dalam sebuah republik yang demokratik, lanjut Engels, “kekayaan menegakkan kekuasaannya secara tidak langsung, namun lebih pasti”, pertama, melalui “korupsi langsung terhadap para pejabat” (Amerika); kedua, melalui “aliansi antara pemerintah dan Bursa Efek” (Prancis dan Amerika).[8]

Dewasa ini, imperialisme dan dominasi bank telah “mengembangkan” kedua metode tersebut menjadi sebuah seni yang luar biasa untuk mempertahankan dan mewujudkan kemahakuasaan kekayaan dalam beragam pemerintahan republik demokratik. Misalnya, sejak bulan-bulan pertama pemerintahan republik demokratik Rusia, selama bulan madu pernikahan antara kaum “sosialis” S.R. dan Menshevik dengan borjuasi, dalam pemerintahan koalisi. Tn. Palchinsky menghalangi setiap langkah yang dimaksudkan untuk mengekang kaum kapitalis dan praktik perampokan mereka, praktik penjarahan kas negara melalui kontrak perang; dan kemudian, Tn. Palchinsky, setelah mengundurkan diri dari Kabinet (dan, tentu saja, digantikan oleh Palchinsky lainnya yang serupa), “dihadiahi” oleh kaum kapitalis dengan jabatan empuk dengan gaji 120.000 rubel per tahun – ini kita sebut apa? Suap langsung atau tidak langsung? Aliansi antara pemerintah dan perusahaan sindikat, atau “hanya” hubungan persahabatan? Peran apa yang dimainkan oleh orang-orang seperti Chernov, Tsereteli, Avksentyev, dan Skobelev? Apakah mereka sekutu “langsung” atau hanya sekutu tidak langsung para jutawan yang menjarah kas negara?

Alasan lain mengapa dalam republik demokratik “kekayaan” dapat berkuasa secara mutlak dengan lebih pasti adalah karena ia tidak bergantung pada cacat dalam mesin politik kapitalisme atau pada cangkang politik kapitalisme yang catat. Republik demokratik adalah cangkang politik terbaik bagi kapitalisme; oleh karenanya, setelah kapital telah memperoleh cangkang terbaik ini (melalui orang-orang seperti Palchinsky, Chernov, Tsereteli, dkk.), ia menegakkan kekuasaannya dengan begitu aman, begitu kokoh, sehingga tidak ada perubahan personel, lembaga atau partai dalam republik borjuis-demokratis yang dapat menggoyahkan kekuasaannya.

Kita juga harus mencatat bahwa Engels secara eksplisit menyebut hak pilih universal juga sebagai instrumen kekuasaan borjuis. Hak pilih universal, katanya, tentu saja dengan mempertimbangkan pengalaman panjang Sosial-Demokrasi Jerman, adalah:

“pengukur kedewasaan kelas pekerja. Hak pilih universal tidak bisa dan tidak akan pernah lebih dari itu dalam negara saat ini.”[9]

Kaum demokrat borjuis-kecil, seperti kaum Sosialis-Revolusioner dan Menshevik kita, dan juga saudara kembar mereka, yaitu semua kaum sosial-sauvinis dan kaum oportunis di Eropa Barat, mengharapkan “lebih banyak” dari hak pilih universal. Mereka sendiri percaya pada gagasan keliru bahwa hak pilih universal “dalam negara saat ini” benar-benar mampu mengekspresikan kehendak mayoritas rakyat pekerja dan menjamin realisasinya, dan mereka menanamkan gagasan keliru ini ke dalam benak rakyat.

Di sini, kita hanya dapat mengekspos gagasan yang keliru ini, dengan menunjukkan bagaimana pernyataan Engels yang sangat jelas itu terus didistorsi dalam propaganda dan agitasi partai-partai sosialis “resmi” (yaitu, partai oportunis). Uraian selanjutnya atas pandangan Marx dan Engels mengenai negara “saat ini” akan mengekspos secara rinci kekeliruan gagasan ini, yang telah dibantah oleh Engels di sini.

Engels memberikan ringkasan umum tentang pandangannya dalam karyanya yang paling populer itu dengan kata-kata berikut:

“Jadi, negara tidaklah selamanya ada. Sebelumnya sudah pernah ada masyarakat yang tidak mengenal negara, yang tidak memiliki konsepsi tentang negara dan kekuasaan negara. Pada tahapan tertentu dalam perkembangan ekonomi, yang tidak bisa tidak terkait dengan terpecahnya masyarakat ke dalam kelas-kelas, negara menjadi suatu keharusan karena perpecahan ini. Kita sekarang sedang dengan cepat mendekati suatu tahapan dalam perkembangan produksi di mana keberadaan kelas-kelas ini tidak hanya sudah bukan lagi suatu keharusan, tetapi juga akan menjadi hambatan positif bagi produksi. Kelas-kelas akan runtuh sebagaimana halnya mereka muncul pada tahapan sebelumnya. Dengan runtuhnya kelas-kelas, maka negara niscaya akan runtuh pula. Masyarakat, yang akan mereorganisasi produksi berdasarkan asosiasi produsen yang bebas dan setara, akan mengirim seluruh mesin negara ke tempat yang semestinya: ke dalam museum barang antik, di samping roda pemintal dan kapak perunggu.”[10]

Kita jarang menjumpai kutipan di atas dalam literatur propaganda dan agitasi kaum Sosial-Demokrat hari ini. Bahkan bila kita menjumpainya, ini biasanya dikutip dengan cara seperti seorang yang menyembah patung suci, dalam kata lain ini dilakukan untuk menunjukkan rasa hormat secara resmi kepada Engels. Tidak ada upaya untuk memahami keluasan dan kedalaman revolusi yang tersirat dalam kutipan “mengirim seluruh mesin negara ke museum barang antik”. Dalam kebanyakan kasus, kita bahkan tidak akan menemukan pemahaman mengenai apa yang disebut Engels mesin negara.

4. “MELENYAPNYA” NEGARA DAN REVOLUSI DENGAN KEKERASAN

Gagasan Engels mengenai “melenyapnya” negara begitu dikenal luas, sering dikutip, dan dengan begitu jelas mengungkapkan esensi adaptasi oportunis terhadap Marxisme sehingga kita harus membahasnya secara rinci. Kita akan mengutip seluruh argumen yang mendasarinya.

Proletariat merebut kekuasaan negara dan pertama-tama mengubah alat-alat produksi menjadi milik negara. Namun dengan demikian ia menghapus dirinya sendiri sebagai proletariat, menghapus semua perbedaan kelas dan antagonisme kelas, dan juga menghapus negara sebagai negara. Masyarakat sejauh ini, yang beroperasi di tengah antagonisme kelas, membutuhkan negara, yaitu sebuah organisasi kelas penghisap tertentu, yang diperlukan untuk mempertahankan kondisi produksi eksternalnya, dan, oleh karenanya, terutama untuk memaksa kelas terhisap tetap berada dalam kondisi penindasan yang ditentukan oleh moda produksi tertentu (perbudakan, perhambaan, kerja upahan). Negara adalah perwakilan resmi masyarakat secara keseluruhan, pemusatannya dalam sebuah lembaga yang kasatmata. Namun negara mengambil bentuk demikian selama ini adalah negara kelas yang mewakili masyarakat secara keseluruhan pada masanya: pada zaman kuno, negara pemilik budak; pada Abad Pertengahan, negara bangsawan feodal; pada zaman kita sekarang, negara borjuasi. Ketika akhirnya negara menjadi perwakilan sejati dari seluruh masyarakat, maka negara menjadi tidak lagi diperlukan. Segera setelah tidak ada lagi kelas sosial yang perlu ditindas, segera setelah kita menyingkirkan kekuasaan kelas dan perjuangan eksistensi individu yang berdasarkan pada anarki produksi saat itu, dengan konflik dan ekses yang timbul dari perjuangan ini, maka tidak ada lagi yang perlu ditindas – tidak lagi diperlukan kekuatan pemaksa khusus, yaitu negara. Tindakan pertama yang diambil oleh negara yang benar-benar tampil sebagai perwakilan seluruh masyarakat – yaitu pengambilalihan alat-alat produksi atas nama masyarakat – juga merupakan tindakan independen terakhirnya sebagai sebuah negara. Campur tangan negara dalam relasi-relasi sosial menjadi, dari satu domain ke domain lainnya, tidak lagi diperlukan, dan kemudian menghilang dengan sendirinya. Pemerintahan atas manusia diganti dengan administrasi atas hal-ihwal, dan dengan pengarahan proses produksi. Negara tidak “dihapus”. Negara melenyap. Dari sini kita bisa menilai ungkapan “negara rakyat bebas”, yang di satu sisi dapat dibenarkan penggunaannya dari sudut pandang agitasi namun di sisi lain tidak memadai secara ilmiah; dan juga menilai tuntutan kaum anarkis agar negara dihapus seketika.”[11] (Herr Eugen Dühring’s Revolution in Science [Anti-Dühring], hal. 301-03, edisi Jerman ketiga)

Kita dapat mengatakan, dari argumen Engels ini, yang begitu kaya dengan gagasan, hanya satu poin yang menjadi bagian integral pemikiran sosialis di kalangan partai-partai sosialis modern, yaitu, menurut Marx negara akan “lenyap” – yang berbeda dari doktrin anarkis mengenai “penghapusan negara”. Memangkas Marxisme sedemikian rupa berarti mereduksinya menjadi oportunisme, karena “penafsiran” ini hanya menyisakan gagasan samar tentang perubahan yang perlahan, merata, bertahap, tanpa lompatan dan badai, tanpa revolusi. Konsepsi mengenai “melenyapnya” negara yang kini tersebar luas dan populer jelas berarti mengaburkan, dan bahkan menyangkal, revolusi.

Namun “penafsiran” seperti itu adalah distorsi paling kasar terhadap Marxisme, yang hanya menguntungkan kaum borjuis. Secara teoritis, “penafsiran” ini didasarkan pada pengabaian terhadap keadaan-keadaan dan pertimbangan-pertimbangan paling penting yang dipaparkan oleh argumen Engels yang baru saja kita kutip secara lengkap.

Pertama-tama, di awal argumennya, Engels mengatakan bahwa, dengan merebut kekuasaan negara, proletariat dengan demikian “menghapus negara sebagai negara”. Biasanya orang tidak merenungkan makna kalimat tersebut. Biasanya, ini diabaikan sama sekali, atau dianggap sebagai “kelemahan Hegelian” Engels. Namun pada kenyataannya, kalimat ini secara singkat mengekspresikan pengalaman salah satu revolusi proletarian yang paling megah, yaitu Komune Paris 1871, yang akan kita kupas secara rinci nantinya. Pada kenyataannya, di sini Engels berbicara mengenai revolusi proletar yang “menghapus” negara borjuis, sementara melenyapnya negara mengacu pada sisa-sisa negara proletar setelah revolusi sosialis. Menurut Engels, negara borjuis tidak “melenyap”, tetapi “dihapus” oleh proletariat selama revolusi. Yang melenyap setelah revolusi ini adalah negara atau semi-negara proletar.

Kedua, negara adalah sebuah “kekuatan pemaksa khusus”. Di sini Engels memberikan definisi yang luar biasa dan sangat mendalam dengan sejelas-jelasnya. Dan dari sini dapat disimpulkan bahwa “kekuatan pemaksa khusus” untuk menindas proletariat oleh kaum borjuis, untuk menindas jutaan rakyat pekerja oleh segelintir kaum kaya, harus digantikan dengan “kekuatan pemaksa khusus” untuk menindas kaum borjuis oleh proletariat (kediktatoran proletariat). Inilah yang dimaksud dengan “penghapusan negara sebagai negara”. Inilah “tindakan” pengambilalihan alat-alat produksi atas nama masyarakat. Dan jelas-dengan-sendirinya bahwa penggantian “kekuatan khusus” (borjuis) dengan “kekuatan khusus” lainnya (proletar) tidak mungkin terjadi dalam bentuk “melenyap”.

Ketiga, ketika berbicara tentang negara yang “melenyap”, dan bahkan dengan ungkapan yang lebih gamblang dan ekspresif, yaitu negara yang “mati dengan sendirinya”, Engels merujuk dengan cukup jelas dan pasti pada periode setelah “negara mengambil alih kepemilikan alat-alat produksi atas nama seluruh masyarakat”, yaitu setelah revolusi sosialis. Kita semua tahu bahwa bentuk politik “negara” tersebut pada saat itu adalah demokrasi yang paling utuh. Tetapi, tidak pernah terbayang sekalipun oleh kaum oportunis mana pun, yang tanpa malu-malu mendistorsi Marxisme, bahwa Engels di sini berbicara tentang demokrasi yang “mati dengan sendirinya”, atau “melenyap”. Sepintas ini tampak sangatlah janggal. Tetapi ini “tidak dapat dipahami” hanya bagi mereka yang tidak berpikir bahwa demokrasi juga merupakan negara dan, sebagai konsekuensinya, juga akan lenyap ketika negara lenyap. Revolusi dengan sendirinya dapat “menghapus” negara borjuis. Negara secara umum, yaitu demokrasi yang paling utuh, hanya dapat “melenyap”.

Keempat, setelah merumuskan proposisinya yang terkenal itu bahwa “negara akan melenyap”, Engels langsung menjelaskan secara spesifik bahwa proposisi ini ditujukan untuk melawan kaum oportunis dan kaum anarkis. Dalam melakukan ini, Engels mengedepankan kesimpulan, yang ditarik dari proposisi bahwa “negara akan melenyap”, yang ditujukan untuk melawan kaum oportunis.

Kita dapat bertaruh bahwa dari setiap 10.000 orang yang telah membaca atau mendengar tentang “melenyapnya” negara, 9.990 orang sama sekali tidak menyadari, atau tidak ingat, bahwa Engels mengarahkan kesimpulan dari proposisi tersebut tidak semata untuk menentang kaum anarkis saja. Dan dari 10 orang yang tersisa, mungkin sembilan orang tidak memahami arti dari slogan “negara rakyat yang bebas” atau mengapa serangan terhadap slogan ini berarti serangan terhadap kaum oportunis. Demikianlah sejarah ditulis! Inilah bagaimana sebuah ajaran revolusioner besar dengan diam-diam dipalsukan dan diadaptasi pada filistinisme. Kesimpulan yang ditujukan untuk menentang kaum anarkis telah diulang ribuan kali; kesimpulan ini telah divulgarkan, dan dicekokkan ke kepala orang dalam bentuk yang paling dangkal, dan telah menjadi prasangka, sedangkan kesimpulan yang ditujukan untuk menentang kaum oportunis telah dikaburkan dan “dilupakan”!

“Negara rakyat yang bebas” merupakan tuntutan programatik dan semboyan yang populer di kalangan kaum Sosial-Demokrat Jerman pada tahun tujuh puluhan. Semboyan ini sama sekali tidak mengandung muatan politik, dan hanya melukiskan konsep demokrasi dengan gaya filistin yang muluk-muluk. Sejauh semboyan ini menengarai – dalam cara yang diperbolehkan secara legal – tuntutan untuk republik demokratik, Engels siap untuk “membenarkan” penggunaannya “untuk sementara waktu” dari sudut pandang agitasi. Namun ini merupakan semboyan oportunis, karena semboyan tersebut menuntut tidak lebih dari sekedar mempercantik demokrasi borjuis, dan semboyan tersebut juga gagal memahami kritik sosialis terhadap negara secara umum. Kami mendukung republik demokratik sebagai bentuk negara terbaik bagi proletariat di bawah kapitalisme. Namun kita tidak boleh lupa bahwa perbudakan upahan adalah nasib yang diderita rakyat bahkan di republik borjuis yang paling demokratik sekalipun. Lebih jauh lagi, setiap negara adalah “kekuatan khusus” untuk menindas kelas tertindas. Sebagai konsekuensinya, setiap negara bukanlah “negara yang bebas” dan bukan pula “negara rakyat”. Marx dan Engels menjelaskan ini berulang kali kepada kamerad-kamerad partai mereka pada tahun tujuh puluhan.

Kelima, karya Engels yang sama, yang argumennya tentang melenyapnya negara masih diingat semua orang, juga mengandung argumen mengenai pentingnya revolusi dengan kekerasan. Analisis historis Engels mengenai peran negara sungguh menjadi seruan untuk revolusi dengan kekerasan. Ini dilupakan semua orang. Di dalam partai-partai sosialis modern, tidak ada yang membicarakan atau bahkan memikirkan signifikansi gagasan ini, dan gagasan ini tidak memainkan peran apa pun dalam agitasi dan propaganda sehari-hari mereka di antara rakyat. Namun, gagasan revolusi dengan kekerasan adalah satu kesatuan yang harmonis, yang tak terpisahkan, dengan gagasan “melenyapnya” negara.

Demikian argumen Engels:

“Namun kekerasan memainkan peran lain [selain kekerasan yang jahat] dalam sejarah, yaitu peran revolusioner; bahwa, seperti yang dikatakan Marx, kekerasan adalah bidan dari semua masyarakat lama yang sedang hamil dengan masyarakat baru, bahwa kekerasan adalah instrumen yang digunakan oleh gerakan sosial untuk secara paksa menerobos masuk dan menghancurkan bentuk-bentuk politik yang sudah mati dan membatu – mengenai ini Herr Dühring tidak mengutarakan sepatah kata pun. Hanya dengan menarik nafas panjang dan mengeluh akhirnya dia mengakui kemungkinan bahwa kekerasan barangkali diperlukan untuk menumbangkan ekonomi yang berdasarkan eksploitasi – malangnya, menurutnya, semua orang yang menggunakan kekerasan akan rusak moralnya. Dan ini dia utarakan di Jerman, di mana bentrokan dengan kekerasan – yang bagaimanapun juga akan dipaksakan pada rakyat – setidaknya dapat menyingkirkan jiwa membudak yang telah merasuki kesadaran nasional Jerman menyusul kekalahannya yang memalukan dalam Perang Tiga Puluh Tahun.[12] Dan cara berpikir orang ini [Herr Dühring] – yang tumpul, hambar, dan impoten – berani-beraninya memaksakan dirinya ke dalam partai paling revolusioner dalam sejarah [Partai Buruh Sosial Demokratik Jerman]!”[13] (hal. 193, edisi Jerman ketiga, Bagian II, akhir bab IV)

Bagaimana gagasan mengenai revolusi dengan kekerasan ini, yang dengan gigih terus dikedepankan oleh Engels kepada kaum Sosial-Demokrat Jerman dari 1878 hingga 1894, yaitu hingga dia wafat, dapat dipadukan dengan teori “melenyapnya” negara untuk menjadi satu teori tunggal?

Biasanya keduanya dipadukan secara eklektik, dengan memilih salahnya satunya secara tidak-prinsipil, sofistik, dan seenaknya, atau hanya untuk memuaskan kelas penguasa; dan dalam 99 dari 100 kasus, jika tidak lebih, biasanya gagasan tentang “melenyapnya” negara yang ditaruh paling depan. Dialektika digantikan oleh eklektisisme – ini adalah praktik yang paling lazim dan paling luas ditemui dalam literatur resmi Sosial-Demokrasi hari ini sehubungan dengan Marxisme. Substitusi semacam ini tentu saja bukan barang baru; ini dapat kita temui bahkan dalam sejarah filsafat Yunani klasik. Dalam memalsukan Marxisme secara oportunis, mengganti dialektika dengan eklektisisme adalah cara termudah untuk mengelabui rakyat. Ini memberikan ilusi rasa puas; tampaknya pendekatan ini mempertimbangkan semua sisi dalam proses, semua tren perkembangan, semua pengaruh yang saling bertentangan, dan sebagainya; namun pada kenyataannya pendekatan ini sama sekali tidak memberi kita konsepsi yang integral dan revolusioner mengenai proses perkembangan sosial.

Seperti yang telah kami katakan di atas, dan akan kami paparkan lebih lengkap nantinya, teori Marx dan Engels tentang keniscayaan revolusi dengan kekerasan mengacu pada negara borjuis. Negara borjuis tidak dapat digantikan oleh negara proletar (kediktatoran proletariat) melalui proses “melenyap”, tetapi, secara umum, hanya melalui revolusi dengan kekerasan. Apa yang telah Engels tulis mengenai gagasan ini, dan yang sepenuhnya sesuai dengan pernyataan Marx di banyak tempat (baca bagian penutup Kemiskinan Filsafat dan Manifesto Partai Komunis, dengan proklamasinya yang terbuka dan bangga mengenai keniscayaan revolusi dengan kekerasan; baca apa yang Marx tulis hampir 30 tahun kemudian, dalam kritiknya terhadap Program Gotha 1875, di mana dia dengan tanpa ampun mengkritik karakter oportunis program tersebut) – ini bukanlah semata-mata “impuls” atau retorika, atau polemik belaka. Perlunya menanamkan pandangan ini secara sistematis kepada massa, yakni pandangan mengenai revolusi dengan kekerasan, merupakan inti sari dari seluruh teori Marx dan Engels. Dengan mengabaikan agitasi dan propaganda mengenai pandangan ini, kaum sauvinis-sosial dan Kautskyis jelas telah mengkhianati teori Marx dan Engels.

Negara borjuis tidak akan mungkin bisa digantikan dengan negara proletar tanpa revolusi dengan kekerasan. Penghapusan negara proletar, dalam kata lain negara secara umum, tidak akan mungkin terjadi kecuali melalui proses “melenyap”.

Elaborasi rinci dan konkret mengenai pandangan-pandangan ini telah disediakan oleh Marx dan Engels ketika mereka mempelajari setiap situasi revolusioner yang partikular, ketika mereka menganalisis pelajaran dari pengalaman setiap revolusi. Sekarang kita akan membahas ini, yang tidak diragukan lagi merupakan bagian paling penting dari teori mereka.


Keterangan:

[1] Engels, Frederick. “The Origin of the Family, Private Property and the State. In the Light of the Researches by Lewis H. Morgan.” Marx & Engels Collected Works, Vol. 26. Lawrence & Wishart, 2010. hal. 129-276.

[2] ibid. hal. 269.

[3] ibid. hal. 269.

[4] ibid. hal. 269-270.

[5] ibid. hal. 270.

[6] ibid. hal. 270.

[7] ibid. hal. 270-271.

[8] ibid. hal. 271.

[9] ibid. hal. 272.

[10] ibid. hal. 272.

[11] Engels, Frederick. “Anti-Dühring”. Marx & Engels Collected Works, Vol. 25. Lawrence & Wishart, 2010. hal. 267-268.

[12] Perang Tiga Puluh Tahun (1618-48), adalah perang Eropa pertama, yang disebabkan oleh antagonisme yang menajam antara berbagai kekuatan Eropa, dan mengambil bentuk perjuangan antara kaum Protestan dan kaum Katolik. Ini dimulai dengan pemberontakan di Bohemia melawan tirani monarki Hapsburg dan serangan reaksioner Katolik. Negara-negara yang kemudian terlibat dalam perang terbagi ke dalam dua kubu. Paus, Hapsburg Spanyol dan Austria, dan para pangeran Katolik di Jerman, yang berdiri di sisi Gereja Katolik. Di kubu Protestan adalah negara Bohemia, Denmark, Swedia, Republik Belanda, dan sejumlah negara bagian Jerman yang telah menerima Reformasi. Negara-negara Protestan didukung oleh raja-raja Prancis, musuhnya Hapsburg. Jerman menjadi medan perang utama, objek penjarahan militer dan klaim predatoris. Perang ini berakhir pada 1648 dengan disetujuinya Pakta Perdamaian Westphalia, yang menuntaskan pemecah-belahan Jerman.

[13] Engels, Anti-Dühring, hal. 171.